Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Monday, November 6, 2017

MAKIN TUA MAKIN MUDAH OLAH HATI


Dari Delapan Pertemuan

Program Novena Domus Pacis tahun 2017 menghadirkan tema besar untuk membangun dan mengembangkan jiwa gembira atau sukacita di kalangan kaum usia lanjut. Untuk setiap pertemuan judul topik pembicaraan didahului dengan sekitar kata “segar” atau “ceria” atau “gembira” atau “keren”. Sesudah kata-kata itu ada kata “walaupun” mengikutinya. Rumusan beda hanya terjadi pada pertemuan bulan Juni yang berjudul “Kolot ning ora alot” (Kolot tetapi tidak menyulitkan) yang ternyata juga bernuansa keceriaan. Suasana ceria itu diharapkan terjadi ketika mengalami situasi atau kondisi yang tidak enak: keadaan punya penyakit (Maret), keruwetan hidup (April), tidak paham omongan kaum muda (Mei), tidak paham akan kemajuan zaman (Juni), hidup dalam kesendirian (Juli), keadaan harta menyusut (Agustus), tanpa kedudukan sosial (September), ketidak pahaman terhadap perkembangan hidup menggereja (Oktober).

Berhadapan dengan soal-soal yang dibicarakan, agar tetap gembira dan ceria ada beberapa kata kuci yang muncul seperti “jangan takut”, “temukan makna”, “terima sebagai bagian hidup”, “siap berhadapan dengan yang dapat diatasi”, “tidak putus asa”, “berani bilang tidak”, “tak cari enak”, “siap pada yang terbatas”. Kata-kata itu ternyata mendorong kaum usia lanjut untuk mengolah kedalaman batin. Olah kedalaman batin barangkali memang menjadi dinamika diri untuk menjalani amanat Tuhan Yesus “Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah." (Mat 26:41)


Hati Pusat Kehidupan

Tindakan berjaga-jaga sebagai olah kedalaman batin amat lekat dengan soal menata hati, maka disebut per-hati-an. Ada yang memberi informasi bahwa “Kata “hati” adalah salah satu kata yang paling sering dipergunakan dalam Alkitab. Sesungguhnya, kata ini muncul 876 kali di Alkitab .....” (lihat https://www.jba.gr/Bahasa). Yang jelas perintah mengasih kepada Allah amat berkaitan dengan “hati”: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.” (Mat 22:37) Allah memang melihat manusia dalam hatinya sebagaimana firman “Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati." (1 Sam 16:17)

Hati memang menjadi amat sentral dalam kehidupan orang. “Demikian juga “hati rohani” kita (dalam bahasa Indonesia, kata heart secara harfiah berarti jantung, tetapi dalam konteks Alkitab berarti hati. –red). Dalam Alkitab, kata hati mewakili pusat emosi, pikiran, dan nalar kita. Hati adalah “pusat komando” dari hidup kita.” (lihat https://santapanrohani.org/2014/05/06) Bagi orang Kristiani “hati rohani” adalah penghayatan beriman kepada Allah dalam Kristus. Dalam hal ini Bunda Maria adalah model utama untuk beriman. Dalam menghayati imannya, berhadapan dengan berbagai kenyataan hidup, “Maria menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya.” (Luk 2:19) Renungan sebagai usaha memperdalam iman bukanlah sekedar kegiatan otak. Renungan juga terjadi dalam dinamika kegiatan hati. Berhadapan dengan kehidupan sehari-hari orang beriman akan selalu membawa segalanya di dalam hati, karena hati adalah pusat kehidupan.


Skema Olah Hati

Olah hati bukanlah konsep tetapi perbuatan batin. Ini adalah gerak di kedalaman batin. Bagaimanapun juga ini adalah perilaku. Sebagai pengikut Tuhan Yesus Kristus ini adalah perilaku untuk semakin mengikuti Tuhan dalam perkembangan situasi hidup dan budaya setempat. Pusatnya adalah kehendak Allah dalam Yesus. Tetapi yang dilakukan dalam situasi kongkret amat berkaitan dengan budaya setempat. Secara praktis bagi kita, yang berada dalam bentukan budaya Jawa, olah kedalaman batin ini harus memperhitungkan amanat Injil dan perilaku yang ada dalam pola hidup orang Jawa. Upaya olah hati untuk ikut Tuhan Yesus Kristus di tengah kehidupan kongkret sebagai orang Jawa dapat saya ketengahkan dengan gambaran di bawah ini.

 

Pedoman Injil

Secara umum lambang utama ikut Tuhan Yesus adalah salib. Inti dari lambang salib adalah proses kesediaan mengalami susah derita untuk mendapatkan anugrah keselamatan sejati. Dari sini Kitab Injil mencatat: Lalu Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.” (Mat 16:24) Dari ayat ini kita mendapatkan tiga macam sikap:  menyangkal diri, memikul salib, dan barulah mengikut Tuhan.

Konteks kejawen

Di sini saya menggabungkan proses olah rohani dan pokok-pokok yang dilakukan. Proses olah rohani meliputi pola “me-Neng (diam), we-Ning (hening), du-Nung (paham), me-Nang (bertindak)”. Sedang pokok-pokok yang dilakukan terbagi dalam tiga langkah:

  1. ambil jarak: rila (membiarkan keadaan), nrima (menerima), dan sabar (tolerans.
  2. refleksi: tapa atau nglelimbang (pembedaan roh), dan pamudharan (pencerahan).
  3. jadi duta: wajib (menjalani hidup bersama), dan memayu hayuning bawana (menghadirkan budaya kebahagiaan kasih). 

Pembedaan Roh dalam Gerak Kedalaman Batin

Sikap terbuka terhadap bimbingan Roh Kudus agar hidup sesuai dengan kehendak Allah adalah sebuah pilihan. Dari satu sisi iman memang anugrah ilahi. Tetapi iman juga kesediaan orang mau menerima anugrah tersebut. Di sini untuk pengembangan hidup baik dan luhur orang dituntut selalu peka untuk membedakan antara roh baik dan roh jahat.

Perhatian khusus pada indera rasa

Bagi orang timur pada umumnya dan khusus bagi orang Jawa, segi “rasa” menjadi hal yang amat kuat berhadapan dengan berbagai peristiwa. Akan tetapi dalam rangka olah rohani, orang barat juga memusatkan perhatian pada segi “rasa” (bdk Green, Thomas H, S.J., Th. 2000 hal. 20). Karena amat pentingnya perhatian ke “rasa”, peranan hati menjadi amat sentral. Segala hal yang terjadi pada diri orang harus masuk dalam dinamika hati.

Dinamika olah hati

Olah hati untuk semakin mengikuti Tuhan Yesus Kristus sebagai orang yang berada dalam pengaruh pola hidup Jawa berada di sekitar tiga dinamika.

Dinamika penyangkalan diri

Penyangkalan diri dilakukan kalau seseorang mengalami “gejolak perasaan”. Entah menyenangkan entah rasa tidak menyenangkan, kalau itu menjadikan perasaan tidak tenang orang dipanggil untuk me-Neng (diam). Dalam keadaan “gejolak” ada godaan besar yang melanda orang untuk membicarakan yang dirasakan. Kalau tentang hal baik dapat ingin membanggakan dan kalau tidak baik dapat ingin mengungkapkan kekesalan. Dengan me-Neng orang akan mengalami datangnya berbagai pikiran dan keinginan yang makin menggejolakkan perasaan. Pengalaman batin, karena tidak diungkapkan menjadi omongan, ini secara alami akan masuk ke dalam HATI. Di sinilah orang mendapatkan arena untuk membicarakan semua itu dengan hati-nya. Bagi orang beriman ada keyakinan bahwa di situ orang berjumpa dengan Roh Allah, karena hati adalah singgasana ilahi. “Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu?” (1 Kor 3:16) demikian kata Santo Paulus. Dari proses pembicaraan dalam hati, orang akan mengalami suasana we-Ning dalam dirinya. Kata wening atau bening dapat berarti jernih. Dalam air yang jernih orang dapat melihat segala hal di dalamnya. Dalam hati yang jernih orang akan melihat dengan jelas mana pikiran, perasaan, dan keinginan yang baik dan yang buruk. Di sini orang sungguh masuk dalam pembedaan roh. Dengan kejernihan hati maka wening pun menjadi keadaan hati hening. Tetapi tindakan me-Neng sampai masuk dalam suasana we-Ning sungguh dapat terjadi karena orang mengembangkan secara bertahap tiga sikap:

·         Rila. Orang berjuang dalam hati untuk membiarkan hal atau peristiwa yang dihadapi. Dia berusaha merelakan (bahasa Jawa rila berarti rela) yang ada atau yang terjadi sesuai apa adanya. Kalau orang dapat sungguh mampu membiarkan adanya hal atau kejadian yang membuat perasaan bergejolak, dia akan memperoleh sikap berikutnya.
·         Nrima. Kata nrima dalam bahasa Jawa berarti menerima. Orang mampu menerima hal atau kejadian yang tadinya membuat hati bergejolak. Dengan menerima dia mulai tidak terganggu oleh dorongan untuk membicarakan hal atau peristiwa entah yang menyenangkan entah yang tidak menyenangkan. Siap nrima memberikan kemudahan orang mencapai sikap yang ketiga.
·         Sabar. Rasa sabar dalam kehidupan orang Jawa bukanlah sikap tanpa daya kritis. Dengan sikap sabar orang mampu memiliki toleransi, yaitu tetap mau sambung rasa sekalipun tetap tidak cocok atau paling tidak masih tidak atau kurang memuaskan.

Dinamika memikul salib

Bagi Tuhan Yesus peristiwa salib bukan sekedar derita tetapi lebih-lebih menjadi puncak proses melaksanakan kehendak Allah. Yesus memang sadar bahwa salib adalah begitu berat. Tetapi dalam kengerian itu Dia berkata “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." (Mat 26:39) Justru dengan teguh berpegang pada kehendak Allah Yesus akan dipermuliakan dalam kebangkitan. Bagi kita yang berada dalam olah hati, proses dinamika memikul salib menjadi suasana menimbang-nimbang segala hal atau peristiwa dengan terang-terang sabda Tuhan dan pedoman-pedoman iman Kristiani lain. Hal inilah yang akan membawa orang pada keadaan du-Nung (memahami) akan hal dan peristiwa yang dihadapi. Keadaan ini, dalam naungan hubungan mesra dengan kedalaman hati hening, pada saatnya akan membuat orang sadar terhadap anugrah pencerahan rohani. Di dalam olah hati dinamika memikul salib ini terjadi lewat dua peristiwa batin.

·         Tapa. Kata bahasa Jawa tapa di dalam bahasa Indonesia berati samadi. Dengan kehidupan yang diwarnai oleh sikap rila, nrima, dan sabar, orang di dalam  keheningan dapat menjalani samadi. Kerap terjadi samadi digambarkan sebagai tindakan mengundurkan diri dari kehidupan harian dan berada di tempat tertentu untuk secara khusus menjalani doa dan renungan. Di dalam Gereja itu terkenal dengan istilah retret. Akan tetapi di dalam Gereja ada yang disebut contemplatio in actione (kontemplasi dalam kegiatan). Hal ini tentu seperti salah satu jenis samadi dalam tradisi Jawa yang disebut tapa ngramé (samadi di tengah keramaian). Orang dapat menimbang-nimbang hal atau peristiwa yang secara khusus masuk dalam rasa hati. Dalam menimbang-nimbang itu dia dapat mengkaitkannya dengan ajaran-ajaran Gereja seperti Kitab Suci, dokumen-dokumen, bacaan-bacaan suci, khotbah. Tentu saja rujukan Gerejawi itu dapat dilakukan dengan membaca atau cukup lewat ingatan dalam hati. Ini adalah renungan rohani. Selain itu, entah secara khusus atau sambil merenung, doa juga terjadi. Doa batin ini terutama adalah mendialogkan yang muncul dalam pikiran, perasaan, kehendak dengan yang ilahi di dalam hati. Dari proses ini orang dapat mengalami peristiwa kedalaman batin berikut.
·        Pamudharan.  Secara harfiah kata udhar dalam bahasa Jawa berarti lepas dari keadaan morat-marit. Orang menjadi lega penuh keceriaan. Dari sini pamudharan dapat berarti pencerahan. Bagi para murid Kristus pencerahan yang menghadirkan hati lega penuh keceriaan ini terjadi karena orang sungguh terbuka pada karya Roh. Orang terbuka karena mengalami karunia ilahi yang amat besar. Dari segala hal yang dicari dan diupayakan oleh manusia, orang beriman akan menyadari bahwa Roh adalah pemberian ilahi yang paling menentukan hidup. Tuhan Yesus bersabda “Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya." (Luk 11:13) Roh inilah yang akan menjadi daya hidup yang terungkap dan terwujud dalam perilaku harian seseorang.

Dinamika mengikut Yesus

Di dalam Tata Perayaan Ekaristi, kata-kata terakhir untuk imam adalah Ite missa est (Marilah kita pergi, kita diutus). Setiap orang Kristiani memang menjadi utusan iman. Sebelum naik ke sorga Tuhan Yesus Kristus bersabda “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.” (Mrk 16:15). Dalam pamudharan, orang sungguh berada dalam naungan Roh Kudus. Padahal “.....kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi." (Kis 1:8) kata Kristus. Kesatuannya dengan Kristus dalam naungan Roh Kudus membawa orang masuk dalam kancah kehidupan kongkret di tengah-tengah dunia. Dari proses olah hati ini, orang tidak perlu harus takut khawatir kalau harus berhadapan dengan berbagai tantangan dan ancaman karena “pada saat itu juga Roh Kudus akan mengajar kamu apa yang harus kamu katakan." (Luk 12:12) Dengan demikian karena kekuatan Roh orang akan me-Nang (memiliki kemampuan melaksanakan) dalam kehidupan yang dihadapi. Dinamika mengikut Yesus ini terjadi dalam dua langkah.

·         Wajib. Di tengah-tengah perkembangan situasi hidup dan budaya setempat seorang murid Kristus menjalani yang diwajibkan sebagai orang beriman. Dia harus menjalani apapun dalam ketaatan pada hukum kasih: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. ..... Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini." (Mrk 12:30.31) Penghayatan wajib kasih ini terungkap dalam kegiatan-kegiatan keagamaan, dan terwujud dalam kegiatan-kegiatan duniawi yang menyangkut bidang-bidang sosial, ekonomi, dan politik. Perhatian pada yang papa dan menderita serta menjaga pelestarian alam juga menjadi tekanan. Kewajiban ini tidak hanya menjadi gerak individual tetapi juga dihayati dalam kehidupan komunitas-komunitas entah yang Kristiani entah yang manusiawi. Satu hal yang harus dicatat adalah bahwa kelompok-kelompok gerakan sungguh-sungguh menjadi komunitas kehidupan kalau terbuka untuk jaringan-jaringan persekutuan.
·         Memayu hayuning bawana. Kata-kata ini adalah ungkapan panggilan hidup orang untuk ikut serta ambil bagian membuat iklim hidup yang indah diwarnai oleh suasana damai sejahtera. Suasana seperti ini merupakan buah dari gerakan banyak orang yang makin terlibat untuk menumbuh kembangkan budaya kasih sebagai kewajiban hidup.


Perjalanan Menuju Kerajaan Bapa

Sebagai penutup ada hal yang perlu disadari. Proses dinamika penyangkalan diri, memikul salib, dan mengikut Kristus di dalam keseriusan hidup menjadi hal yang harus terjadi berulang-ulang terus menerus. Selama masih berada di dunia fana olah hati itu tak akan sekali jadi. Perkembangan dan perubahan jaman membuat situasi kongkret menjadi selalu baru dan diperbarui. Sebagai orang-orang yang disatukan dalam Kristus, itu menjadi perjalanan ziarah kedalaman batin yang dibimbing oleh Roh Kudus menuju Kerajaan Bapa.

Puren, 14 September 2017

D Bambang Sutrisno, Pr.

0 comments:

Post a Comment