Mulai dengan Januari 2002, ketika masuk imamat tahun ke 21, saya mengalami
kepedihan hati bukan main. Ini berjalan sampai dengan tahun 2004. Saya ditugasi
oleh Uskup untuk menjalankan Museum Misi Muntilan sebagai museum yang hidup. Selain
dengan Dewan Karya Pastoral Keuskupan Agung Semarang (DKP KAS) dan intern teman
kerja sekantor karena upaya memadukan beberapa tugas dalam Komisi Karya
Misioner dan Karya Kepausan Indonesia KAS, pada tahun-tahun itu juga terjadi
perbedaan pemahaman tentang karya permuseuman dengan para pemegang kebijakan
Paroki Muntilan di mana kami berada. Saya sungguh menyadari diri menjadi sumber
berbagai konflik. Akan tetapi yang amat mengejutkan adalah kata-kata seorang
tokoh awam Paroki Muntilan kepada beberapa orang: “Rama Bambang itu di
mana-mana memang mengacau umat”. Kata-kata ini amat menusuk lubuk hati saya
namun mengingatkan berbagai peristiwa sejak imamat tahun-tahun pertama di
Paroki Klaten dan kemudian di Paroki Salam, Wisma Salam, dan sebagai fungsionaris
lembaga misioner. Di Klaten saya mengalami berbagai pertentangan dengan
tokoh-tokoh karena beberapa upaya yang mengubah praktek-praktek yang menurut
saya kurang mengembangkan iman dan keterlibatan umat. Hal ini juga terjadi di
Salam. Di Wisma Salam saya merobah pola menejemen yang membuat almarhum Rama
Mangunwijaya juga berang bukan main. Dalam pelayanan karya misioner pun banyak
teman tim kerja angkatan pertama melihat saya sebagai perusak “kurikulum”.
Bahkan Rama Mariatma SVD dengan berkelakar berkata bahwa pelayanan saya selalu
meninggalkan kebingungan. Saya merasa bahwa sebenarnya saya memperjuangkan
nilai-nilai iman, tetapi saya pun menyadari saya banyak menjadi sumber konflik.
Di sini saya teringat perkataan Rama Scheltingha SY pada tahun 1978 “dengan
caramu itu, banyak orang akan kagum tetapi sedikit yang dekat kamu”. Ini
dikatakan ketika beliau melihat saya kerap bertentangan dengan teman-teman
calon imam. Dan ini terjadi hingga sekarang.
Jujur saja, apabila
pengalaman konflik terjadi, hati saya memang merasa pedih sekali. Akan tetapi
saya tidak pernah dapat melepaskan diri, karena konflik terjadi ketika saya
mempertahankan pandangan dasar hidup. Untunglah, ketika peristiwa berkaitan
dengan karya Museum Misi Muntilan dan saya usul pada Uskup agar membangun
gedung baru di luar kompleks Pastoran Muntilan, saya melihat bahwa konflik juga
dibutuhkan. Provinsial SY berkata “Jangan hancurkan kerjasama Keuskupan dengan
Yesuit!” Dalam hal ini Uskup bertanya “Apakah Anda sudah tidak kuat konflik?”
Kata-kata dua pemimpin ini sungguh meneguhkan saya akan sikap saya dalam
mengemban tugas untuk mempertahankan prinsip-prinsip pertusan. Dalam menghayati
konflik saya hanya mempertahankan dua macam tampilan: 1) Menyimpan dalam hati
dan merenungkan kalau itu hanya mengenai diri saya; 2) Terbuka berbicara bahkan
menentang kalau itu mengenai banyak orang. Bagi saya kata-kata Yesus dalam
Lukas 12:49-53, walaupun ditujukan untuk konflik kehidupan dalam keluarga, menjadikan
landasan penghayatan saya akan konflik dalam menjalankan tugas perutusan
imamat. Konflik adalah perjumpaan kemacamragaman pola sikap dan pola pikir.
Asal dihayati dalam rangka untuk semakin mengikuti Kristus dalam situasi
kongkret, konflik menjadi landasan hidup beriman yang sungguh katolik, yaitu
terbuka pada perjumpaan aneka pikiran dan sikap hidup. Kekatolikan bukanlah
keseragaman tetapi kemacamragaman. Kepada anak-anak dan remaja saya mencoba
ikut mewariskan nilai konflik dalam mengikuti Yesus dengan nyanyian di bawah
ini.
Biar Beda Asal Yesus (bdk 12:51)
1 = D 4/4
__ ____ ____ ____ ____ ____ _
//: 5 | 1
3 5 . . 5 | 6
5 3 . . 1 | 1
2 3 3 2 | 2 1 . 0 ://
Bi - be-bi - be a
- ye-a - ye.
Bi - ar be- da
a- sal Yesus. (2X)
Selesai
__ ____ ____ ____ ____ ____ __
//: 1
| 1 2 3 3 . 3 |
4 3 2 . . 2 | 3
4 5 6 5 | 4 3 . 0 ://
1. Tu-han
Ye-sus sa- ngat
i- ngin se- mangat ki- ta
me- nya-la
2. Bi - ar su- sah dan sengsa-ra
II _
____
__
2 |
3 4 5 i 7 | 6
5 . 0 //
2. na-mun ti-dak pu-tus
a - sa.
Kembali
sampai Selesai
D. Bambang Sutrisno, Pr.
No comments:
Post a Comment