SABDA BAHAGIA: PANGKAL HARAPAN
INJIL Hari Raya Semua Orang Kudus 1 November 2015 ini diangkat dari
kumpulan “Sabda Bahagia” menurut Injil Matius (Mat 5:1-12a). Di situ
didapati delapan Sabda Bahagia yang ditujukan kepada semua orang (ay.
3-10) serta satu Sabda Bahagia yang khusus diucapkan bagi para murid
(ay. 11) dan dilanjutkan dengan seruan agar mereka tetap bersuka cita
(ay. 12a). Di situ harapan tiap orang dilambungkan jauh-jauh ke depan
tanpa meninggalkan kehidupan yang dialami sehari-hari. Disebutkan dalam
ay. 1-2, ketika Yesus melihat orang banyak, ia naik ke bukit dan
mengajar agar para pendengarnya semakin memahami diri mereka. Sabda
Bahagia juga dapat membantu kita membaca pengalaman kita sekarang ini
juga.
“BERBAHAGIALAH..!”
Tiga Sabda Bahagia (Mat 5:3-5) menegaskan bahwa orang dapat disebut
berbahagia karena tumpuan harapan dalam hidupnya ialah Tuhan sendiri.
Gagasan “miskin” dalam ay. 3 ialah kebersahajaan batin, oleh karenanya
diberi penjelasan “di hadapan Allah”. Dapat dicatat, penjelasan tambahan
itu tidak terdapat di dalam Sabda Bahagia menurut Luk 6:20 karena yang
ditekankan Lukas ialah orang yang betul-betul kekurangan secara
material, orang yang tak bisa mencukupi kebutuhan hidup yang kini
diperhatikan oleh para pengikut Yesus yang bersedia berbagi
keberuntungan dengan mereka. Kemudian ay. 4 menyebut berbahagia orang
yang “berduka cita”, maksudnya orang yang hanya akan dapat terhibur oleh
kesadaran bahwa Tuhan tetap berada di dekat kendati orang mengalami
kesulitan. Termasuk di sini sikap tidak berpihak pada kekerasan yang
terungkap dalam ay. 5 sebagai “lemah lembut”.
Selanjutnya ada dua Sabda Bahagia (Mat 5: 6 dan 8) yang menyebut
keinginan untuk menjalankan kehendak Tuhan sebagai hal yang
membahagiakan, seperti terungkap dalam ay. 6 sebagai yang “lapar dan
haus akan hal yang lurus” dan dalam ay. 8 sebagai yang “berhati bersih”.
Ungkapan terakhir ini dipetik dari gaya bahasa Ibrani (lihat misalnya
Mzm 24:4) dan artinya ialah mampu berpikir secara jernih, berbudi
jernih. Orang yang demikian ini tidak gampang dipengaruhi
keinginan-keinginan yang menjauhkannya dari Tuhan. Jadi bukan sekedar
ajaran agar menjauhi nafsu-nafsu yang biasanya disebut kotor.
Dua Sabda Bahagia yang lain (Mat 5: 7 dan 9) menegaskan bahwa upaya
menghadirkan Tuhan kepada sesama menjadi kegiatan yang mendatangkan
kebahagiaan. Upaya ini ditegaskan dalam ay. 7 sebagai “berbelaskasihan”
dan dalam ay. 9 sebagai “pencinta damai”. Hasrat menghadirkan kebaikan
Tuhan kepada orang lain ini karena orang sadar akan perlunya saling
mendukung dan sikap pendamai.
Tidak disangkal adanya kesulitan, seperti jelas dari Mat 5:10-12.
Orang yang nyata-nyata hidup dalam kerangka di atas sering menderita
dimusuhi, seperti terungkap dalam ay. 10 “dikejar-kejar karena bertindak
lurus”. Kemudian secara khusus kepada murid-muridnya Yesus menambahkan
Sabda Bahagia yang ke sembilan, yakni yang menyangkut pengalaman
dimusuhi orang karena menjadi muridnya (ay. 11). Pengharapan mereka
dibesarkan (ay. 12a “bersuka citalah karena besar pahalamu di surga”).
Tiap pengalaman di atas dapat dihayati semua orang yang memberi ruang
bagi Yang Ilahi. Dapat pula dikatakan pengalaman ini juga melampaui
batas-batas agama. Mereka yang mendalami makna Sabda Bahagia dapat
semakin mengenali liku-liku kehidupan rohani dan pergulatan di dalamnya.
Hidup yang terarah kepada Yang Ilahi itu membawa kebahagiaan. Di
situlah ditemukan makna “berbahagia”.
SABDA BAHAGIA DALAM INJIL
Sabda Bahagia disampaikan Matius sebagai pembukaan khotbah panjang
Yesus dalam Mat 5-7. Ada lima rangkaian khotbah seperti itu, yakni Mat
5-7 (Khotbah di Bukit); 10 (pedoman hidup bagi pewarta Kerajaan Surga);
13 (penjelasan mengenai Kerajaan Surga); 18 (pengajaran bagi para murid
dalam hidup bersama); 23-25 (uraian di Bukit Zaitun tentang kedatangan
Kerajaan Surga pada akhir zaman). Di antara kumpulan yang satu dengan
yang berikutnya ditaruh kisah mengenai tindakan Yesus, mukjizat dan
peristiwa-peristiwa dalam kehidupan para murid.
Kelima kumpulan itu tersusun dengan cara yang unik. Yang terakhir
berlatarkan pengajaran di bukit Zaitun. Latar ini mengingatkan pada
kumpulan pertama yang berlatarkan sebuah bukit pula. Tentang ini akan
dibicarakan lebih lanjut. Kemudian kumpulan keempat, yakni yang
menyangkut kehidupan para murid, erat berhubungan dengan yang kedua,
yakni pedoman hidup bagi para murid-murid Yesus yang akan meneruskan
menjadi pewarta Kerajaan Surga. Kumpulan ketiga menyoroti Kerajaan
Surga, warta paling pokok yang dibawakan Yesus. Penyusunan secara
“konsentrik” seperti ini dapat menjadi pegangan mendalami masing-masing
kumpulan itu. Demi mudahnya, kumpulan yang pertama (Mat 5-7) sebaiknya
dilihat dalam hubungannya dengan warta pokok, yakni Kerajaan Surga (Mat
13) dan apa kenyataannya yang penuh nanti pada akhir zaman (Mat 23-25).
Dan dengan demikian para murid akan siap menghayati pedoman hidup secara
orang-perorangan (Mat 10) maupun dalam kebersamaan (Mat 18).
Upaya mendalami Sabda Bahagia sebagai pembukaan kumpulan yang pertama
dapat menciptakan hubungan guru-murid dengan Yesus. Dan bila terjadi
orang akan merasa tertuntun mendekat kepada kenyataan hadirnya Yang
Ilahi di antara manusia juga. Hubungan ini akan mendekatkan orang pada
kenyataan Kerajaan Surga di dunia dan kepenuhannya kelak di akhir zaman.
Dengan demikian dapat juga menjadi pangkal berharap ikut menikmati
kenyataan itu.
MENGAJAR DI SEBUAH BUKIT
Injil Matius ditulis bagi orang-orang yang mengenal akrab alam
pikiran Perjanjian Lama. Intinya, yakni diturunkannya Taurat kepada Musa
di Sinai. Bagi umat Perjanjian Lama, Taurat berisi ajaran kehidupan
dalam bentuk pedoman, petunjuk, tatacara ibadat, hukum yang bila
dijalani dengan jujur dan ikhlas akan membuat mereka menjadi dekat pada
Tuhan dan menjadi umat yang dilindungiNya. Dengan latar inilah Matius
mengisyaratkan kepada pembacanya bahwa Yesus kini menjalankan peran
Musa. Yesus membawakan petunjuk, ajaran, kebijaksanaan yang bila
dihayati akan membuat orang menjadi bagian dari umat yang baru pewaris
Kerajaan Surga.
Memang ada beberapa perbedaan mencolok di antara penampilan Musa dan
Yesus. Di Sinai dulu Musa sedemikian jauh. Awan meliputi pucuk gunung
tempat Musa memperoleh Firman ilahi. Tak ada yang berani mendekat karena
kebesaran ilahi sedemikian menggentarkan. Sekarang Yesus tampil sebagai
tokoh yang dekat dengan orang banyak. Matius memang sengaja
menampilkannya sebagai kenyataan dari “Tuhan menyertai kita” – Imanuel.
Kini bukan lagi awan yang menggentarkan, melainkan kemanusiaan Yesus-lah
yang menyelubungi kebesaran ilahi sehingga orang banyak dapat datang
mendekat. Tempat pengajaran diturunkan tidak lagi digambarkan sebagai
gunung yang tinggi yang hanya bisa didaki Musa sendirian. Bukit tempat
menyampaikan pengajarannya terjangkau oleh orang banyak dan bahkan
mereka dapat langsung mendengarkannya. Bagaimanapun juga, tetap
ditegaskan, tempat yang mudah tercapai ini menjadi tempat keramat juga,
seperti puncak Sinai dulu. Namun kekeramatan yang dekat – bukan yang
sulit terjangkau.
Nanti menjelang akhir kehidupannya, Yesus masih memberi pengajaran
kepada murid-muridnya di sebuah bukit pula, di bukit Zaitun. Kita boleh
ingat akan Musa di gunung Nebo, memandang ke barat ke Tanah Terjanji. Ia
sendiri tidak akan memasukinya. Yosua-lah yang akan memimpin umat ke
sana. Peristiwa ini besar maknanya bagi pembaca Injil Matius. Nama Yesus
dalam bentuk Ibraninya sama persis dengan nama Yosua penerus Musa tadi.
Dengan demikian disarankan bahwa Yesus bakal memimpin orang banyak
memasuki negeri baru yang dijanjikan, yakni Kerajaan Surga.
WARTA
Sabda Bahagia dalam Injil menggambarkan apa yang nyata-nyata dialami
dan terjadi di antara orang-orang yang hidup mengikuti Yesus, bukan
mengajarkan hal-hal yang mesti dilakukan. Dengan perkataan lain, Sabda
Bahagia itu sifatnya deskriptif, bukan preskriptif. Beberapa contoh lain
dari Sabda Bahagia selain yang sedang dibicarakan ialah Mzm 1:1;
32:1-2; 144:15; Mat 11:6; 13:16; 16:17; Luk 6:20; 11:28; 12:37; Yoh
20:29; 1 Pet 4:14. Sabda Bahagia bukanlah kata-kata yang memiliki daya
untuk mengadakan sesuatu, seperti “berkat”, juga bukan serangkai resep
hidup bahagia. Sabda Bahagia menunjukkan apa yang terjadi bila orang
berada dalam keadaan yang digambarkan di situ. Pendengar diajak
memikirkan lebih lanjut dan mengambil sikap-sikap baru. Dengan demikian
Sabda Bahagia bukan mengajarkan “yang itu-itu” saja. Sabda itu tetap
menyapa.
Sabda Bahagia sebaiknya juga dibaca dengan menengok ke depan, yakni
ke pengajaran Yesus mengenai Penghakiman Terakhir dalam Mat 25:31-46.
Kedua bahan ini membingkai seluruh pengajaran Yesus. Kedua-duanya
diberikan pada sebuah bukit. Kedua-duanya membicarakan siapa-siapa yang
bakal memiliki Kerajaan Surga, yang dapat memasuki kebahagiaan kekal.
Dalam Mat 25:35-36 ditegaskan bahwa berbuat baik kepada sesama berarti
berbuat baik kepada Tuhan sendiri. Yesus memanusiakan gambaran
Penghakiman Terakhir. Diajarkan bagaimana orang bisa mengerti bahwa yang
dikerjakan bagi sesama nanti dijadikan batu uji masuk surga.
Kebijaksanaan dan akal sehat menjadi penuntun yang baik ke arah
pertanggungjawaban terakhir nanti. Orang dihimbau sejak kini agar nanti
bisa mengatakan kita juga telah memperkaya Tuhan dan telah berbuat baik
kepadaNya. Sabda Bahagia menggambarkan keadaan batin dan sikap hidup
mereka yang nanti pada akhir zaman akan dapat mengatakan bahwa telah
berbuat banyak bagi sesama. Dan Tuhan akan mengatakan itu semua
dikerjakan bagiNya. Mereka yang demikian akan betul-betul dapat disebut
“Berbahagia”! Dan mereka inilah orang-orang kudus yang dirayakan pada
hari Minggu ini.
Salam hangat,
A. Gianto