"Sebagai orang-orang yang sudah berusia 60 tahun keatas, apakah yang membuat saya atau kita merasa bermakna dalam hidup ini?" Pertanyaan ini saya lontarkan dalam rekoleksi lansia yang diadakan oleh pengurus dewan Gereja Seyegan. Di dalam rekolesi ini tema yang dibicarakan adalah "Menjadi Lansia yang Bermakna". Ini terjadi pada hari Sabtu sore jam 16.00-18.00 pada tanggal 13 Juli 2019. Para peserta yang berjumlah lebih dari 200 orang saya minta omong-omong dengan kiri-kanan dan muka-belakangnya.
Butir-butir Yang Diomongkan
Sesudah menganggap cukup untuk waktu omong-omong, saya membuka kesempatkan bagi para peserta untuk mengungkapkan hasil pembicaraannya. Dari ungkapan-ungkapan yang muncul, saya mencatat beberapa hal yang dianggap menghadirkan makna hidup sebagai kaum lanjut usia.
- Bisa memberi saran dan pemahaman.
- Bisa menjadi berkat dalam arti hal-hal yang bermanfaat banyak untuk keluarga dan masyarakat.
- Mampu hidup sendiri dalam arti siap tidak dikunjungi oleh anak dan cucu.
- Mudah diminta jasanya dengan siap menjadi pengurus apa saja.
- Ikut kegiatan-kegiatan.
- Tidak membuat perkara atau menjaga kerukunan dengan keluarga dan masyarakat.
- Bisa membantu belajar cucu.
Catatan untuk Istilah Adiyuswa
Beberapa orang yang tampil berbicara kerap mengucapkan kata adiyuswa sebagai istilah untuk kaum lanjut usia. Saya mengatakan ada kelompok-kelompok yang menggunakan istilah adiyuswa untuk kelompok lansia. Bahkan ada yang menentang istilah lansia yang berkonotasi menunjukkan situasi dan kondisi melemahnya golongan usia 60 tahun keatas. Lalu yang dipilih adalah istilah adiyuswa. Ini adalah istilah dari kata jawa adi (indah) dan yuswa (usia). Dengan istilah ini kaum berusia lanjut berada dalam masa indah sehingga sering disebut masa usia emas.
Dalam hal itu saya menunjukkan kenyataan yang sering memunculkan suara-suara miring tentang sikap dan perilaku kaum lanjut usia yang dianggap mengganggu kenyamanan hidup bersama. Beberapa contoh saya ketengahkan seperti suka berceritera tentang kedudukan dan kehebatan masa lalu, merasa lebih tahu dibandingkan dengan kaum muda, suka menegatifir perilaku kaum jaman kini. Dari sini saya mengatakan bahwa adiyuswa adalah cita-cita bagi kaum lansia. Lansia itu realita dan adiyuswa adalah cita-cita. Maka kita berusaha menemukan makna bagi kaum usia 60 tahun keatas agar mampu menghayati masa lansia yang indah.
Realita Kaum Lansia
Berkaitan dengan realita kaum lansia, secara terus terang saya menyatakan bahwa gejala pelemahan amat menonjol. Secara fisik kaum lansia sekalipun tanpa penyakit akan mengalami berbagai pelemahan daya. Barangkali ada sosok lansia yang merasakan kebugaran seperti kala masih muda. Tetapi pada umumnya orang dengan memasuki usia lanjut mengalami penurunan daya panca indranya. Banyak penjelasan biologis menjelaskan tanda-tanda perubahan yang membuat kaum lansia harus siap meninggalkan berbagai aktivitas masa lalunya. Secara jiwani perubahan-perubahan kondisi hidup juga dapat membuat orang mengalami berbagai permasalahan. Apalagi di era global, kaum lansia harus menghadapi amat banyak sekali hal baru yang membuatnya mudah jauh tertinggal dari derap kaum muda.
Terhadap realita seperti itu saya mengatakan bahwa kalau lansia tetap ingin berperan aktif dalam jajaran umum, dia akan mengalami persoalan-persoalan paling tidak secara sosiologis (ketidakditerimaan) dan psikologis (ketidakirasionalan dalam menghadapi kenyataan).
Spiritualitas Tak Berguna
Sebenarnya ketika berada di Seyegan saya menggunakan inspirasi iman kepada sesama dari bacaan Injil Minggu 14 Juli 2019 (Luk 10:25-37). Yang pokok lansia tidak mengejar harus diakui masih kuat berperan dengan posisi tertentu. Lansia tidak berambisi masih bisa berguna dapat menjadi tokoh. Yang pokok lansia menjalani kasih dengan kemungkinan yang ada padanya untuk peduli pada kebersamaan. Barangkali kini kepeduliannya lewat tetap mau ikut pertemuan yang dipimpin oleh orang-orang yang jauh lebih muda.
Tetapi untuk tulisan ini saya akan mengetengahkan spritualitas atau gaya sikap batin yang saya ketemukan lewat Injil Lukas 17:7-10. Dalamhal ini saya akan mengutip semua yang pernah saya tulis dalam buku SEJIMPIT BUTIR-BUTIR CATATAN DARI RUMAH TUA hal 50-57.
Luk 17:7-10 :
"Siapa di antara kamu yang
mempunyai seorang hamba yang membajak atau menggembalakan ternak baginya, akan
berkata kepada hamba itu, setelah ia pulang dari ladang: Mari segera makan! Bukankah sebaliknya ia akan
berkata kepada hamba itu: Sediakanlah makananku. Ikatlah pinggangmu dan
layanilah aku sampai selesai aku makan dan minum. Dan sesudah itu engkau boleh
makan dan minum. Adakah ia berterima kasih
kepada hamba itu, karena hamba itu telah melakukan apa yang ditugaskan
kepadanya? Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu
yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang
tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan."
Tentu saja
permenungan saya diwarnai oleh situasi hidup yang sudah masuk dalam golongan
kaum usia lanjut. Hal lain yang cukup mewarnai datang dari pelayanan keagamaan
yang saya jalani, yaitu misa arwah. Dengan dua warna ini permenunganku banyak
mendapatkan cahaya suasana hidup senja menyongsong datangnya suasana
penghayatan tidur enak meninggalkan kesibukan sehari-hari duniawi.
1.
Tuhan Egoistis?
Ketika
membaca Luk 17:7-10 saya tahu bahwa yang terpapar di situ adalah perumpamaan.
Walau ada kata hamba enam kali (yang terakhir “hamba-hamba”) dan tak ada kata
“tuan”, tetapi benak saya mengatakan bahwa itu bicara tentang hubungan antara
“hamba dan tuan”. Ketika benak berkata “hubungan hamba dan tuan”, ternyata hati
mengartikan “hubungan manusia dan Tuhan Allah”. Di sini saya menyadari bahwa
aku, manusia, memang bagian dari karya ciptaan-Nya. Tetapi aku termasuk
gambaran jati diri ilahi (Kej 1:26-27) karena ada anugerah roh ilahi meresap
dalam diri saya (Kej 2:7). Katanya di hadapan Allah manusia adalah makhluk
kudus kesayangan ilahi (Ul 7:6). Apalagi di hadapan Yesus, saya tidak menjadi
hamba dan menjadi salah satu sahabatnya (Yoh 15:15). Kalau ada perintah,
perintah-Nya adalah perintah kasih seperti Dia telah mengasihi saya (Yoh
15:12).
Menimbang
gambaran-gambaran yang membanggakan saya sebagai ciptaan yang punya tempat
khusus di hadapan yang ilahi, maka perumpamaan dalam Luk 17:7-10 menimbulkan
kejutan tidak enak di dalam hati. Di situ tergambar Tuhan Allah yang tak ambil
pusing dengan kondisi orang yang sudah bekerja sesuai tugas yang sudah
diberikan kepadanya. Di situ tergambar Tuhan Allah yang hanya perintah sesuai
kepentingan-Nya sendiri. Dia maunya dilayani lebih dahulu. Bukankah ini
berlawanan dengan kata-kata Yesus “Anak Manusia juga datang bukan untuk
dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi
tebusan bagi banyak orang" (Mrk 10:45)? Kata-kata ayat 9 “Adakah ia berterima kasih kepada
hamba itu, karena hamba itu telah melakukan apa yang ditugaskan kepadanya?”
bagi saya amat bertentangan dengan gambaran Tuhan Allah yang memberikan
penghargaan bagi yang telah bekerja baik (Mat 25:14-30 dan Luk 19:12-27).
Mengapa Lukas menjadi satu-satunya penginjil yang menghadirkan gambaran Tuhan
Allah seperti itu. Apakah diam-diam Tuhan Allah itu egoistis?
2.
Tuhan Takut
Tersaingi?
Permenungan saya
makin membuat rasa penasaran karena memperhatikan ayat 10 “Demikian jugalah kamu. Apabila kamu
telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu
berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya
melakukan apa yang kami harus lakukan." Masakan Tuhan memberi nasihat agar
saya jadi “hamba tak berguna”. Padahal dengan tinggal di rumah tua para rama
yang bernama Domus Pacis Puren, saya merasa berguna. Bukankah di antara umat
Katolik sering dijumpai ucapan “Wah, setelah Rama Bambang di Domus Pacis, rumah
itu berubah jadi semarak menyenangkan”? Bukankah saya juga berperan dalam
hadirnya konsumsi makan harian dari para relawan-relawati untuk 93 kali kalau
tanggal dalam bulan mencapai angka 31? Bukankah saya juga berperan untuk
pengembangan pendampingan iman kaum usia lanjut yang mewarnai Domus Pacis?
Bukankah saya ikut berperan membuat Domus Pacis tidak menjadi tempat
terpinggir, sepi, bahkan seperti rumah tahanan?
Dari perasaan memberontak itu, saya
sungguh sulit menerima nasihat Tuhan untuk menjadi hamba yang tidak berguna.
Kalau orang-orang saja ada yang menghargai, mengapa Tuhan menyebut saya sebagai
hamba tidak berguna? Bukankah Allah itu Mahapengasih dan Mahapenyayang?
Bukankah Dia itu Sang Kasih sendiri (1Yoh 4:8)? Apa artinya “TUHAN kiranya
membalas perbuatanmu itu, dan kepadamu kiranya dikaruniakan upahmu sepenuhnya
oleh TUHAN” (Rut 2:12) dan “Kamu tahu, bahwa setiap orang, baik hamba, maupun
orang merdeka, kalau ia telah berbuat sesuatu yang baik, ia akan menerima
balasannya dari Tuhan” (Ef 6:8)? Apakah dengan Luk 17:10 ternyata diam-diam
Tuhan takut mendapatkan saingan?
3.
Lho, Tak Terhitung,
Ta?
Pada suatu hari,
ketika beliau masih tinggal di Domus Pacis, Rm. Agoeng bertanya kepada saya “Pikantuk undangan saking Museum mboten?”
(Dapat undangan dari Museum?). Ternyata beberapa hari kemudian saya membaca
berita-berita FB dari Museum Misi Muntilan yang menayangkan cerita-cerita
singkat hajatan besar disertai gambar-gambar. Rm. Agoeng sebagai ketua Komisi
Komunikasi Sosial Keuskupan diundang dan datang bersama tim kerjanya. Tentu
saja beliau diundang untuk membuat dokumentasi. Jujur saja, ketika Rm. Agoeng
bertanya kepada saya tentang dapat undangan atau tidak, dan ketika saya
menjawab “Mboten” (Tidak), di dalam
hati muncul suara “Wis ra kepetung, kok”
(Sudah tidak masuk hitungan).
Ketika saya
ingat peristiwa sekilas karena pertanyaan Rm. Agoeng, saya menyadari pandangan
saya tentang hubungan kerja bersama dengan orang-orang dekat. Bagaimanapun
kalau sudah pindah tempat, hubungan dekat dengan yang lampau akan selesai.
Seorang pastor yang tidak dapat melepas kedekatan hubungan dengan orang atau
orang-orang area kerja yang sudah ditinggalkan, dia akan menjadi sosok
bermasalah. Bagaimanapun juga, orang akan mengalami kewajaran hidup kalau mampu
merasa at home dengan orang-orang
yang biasa muncul dalam kehidupan harian dimana dia tinggal. Ketidakmampuan
menerima realitas ada bersama dengan orang-orang yang sehari-sehari dijumpai,
hal itu akan membuat orang menjadi sosok bermasalah dan membuat masalah.
Tetapi menjadi
orang wajar dan mampu menikmati hidup harian dengan enak membawa konsekuensi
menjadi jauh dan tidak akrab dengan orang-orang yang pernah dekat dan kini
sudah tidak menjadi kebersamaan harian. Memang, dalam momen-momen tertentu
sehingga berjumpa dengan orang dekat masa lampau bisa membuat suasana amat
menyenangkan. Omongan-omongan yang bernuansa nostalgia menggairahkan akan
muncul. Tetapi itu hanya momental sekalipun dapat muncul kata-kata “Saya kangen
sekali”. Momen-momen seperti itu hanya seperti peristiwa piknik melihat alam
lain yang tidak ada dalam kehidupan harian. Sesudah itu semua akan kembali ke
kesibukan harian masing-masing.
Satu hal yang
kemudian muncul dalam kesadaran saya, di dalam hidup harian tak ada orang
berjasa. Memang, orang yang egoistik mau enaknya sendiri akan mendapatkan
celaan. Tetapi orang yang ikut bertindak demi kebaikan bersama juga tidak akan
mendapatkan ucapan “Terima kasih” apalagi sanjungan kecuali pada momen tertentu
seperti ketika diulangtahuni atau mungkin waktu meninggal dunia. Makin ikut
berperan dia, kalau dalam perannya muncul masalah, makin dia dituntut kerja
lebih. Makin kerja karena keprihatinan demi kebaikan bersama, makin mudah
mendapat celaan ketika muncul soal. Di dalam kehidupan harian orang tidak
menghitung apa saja hasil baik dari sosok yang mengerjakan kepentingan bersama.
Sosok seperti ini akan masuk benak kebersamaan ketika muncul soal dan atau
ketidak puasan. Tetapi ketika suasana baik-baik saja “Lho, tak terhitung, ta?”
4.
Bagaimana Dengan
Usia lanjut?
Bagaimanapun
juga dengan masuk golongan usia lanjut dan masuk rumah tua saya tidak ikut lagi
dalam derap kesibukan orang-orang aktif produktif dan yang masih menyandang
dinas resmi. Makin tua dan usia lanjut, saya sadar akan makin masuk dalam suasana
kesendirian. Pada umumnya, sekalipun masih serumah dengan anak cucu, orang yang
sudah usia lanjut akan tidak mudah untuk mengalami kebersamaan duduk dan
omong-omong. Pada umumnya anak dan cucu memiliki kesibukan sendiri-sendiri. Kaum
usia lanjut akan mengalami perhatian khusus kalau tiba-tiba kondisinya
mengkhawatirkan misalnya karena sakit. Dalam keadaan biasa, kalau minta
perhatian khusus dengan minta ini dan itu, dia dapat dicap sebagai yang banyak
merepotkan atau rèwèl. Apalagi kalau
dia kemudian berbicara tentang jasa-jasa masa lampau, model usia lanjut seperti
ini bisa dikatakan masuk golongan penderita post
power syndrom.
Dalam kondisi dan situasi sudah
masuk golongan usia lanjut, berhadapan dengan yang muda hingga kanak-kanak,
saya sadar bahwa sebagai orang beriman barangkali harus menghayati hidup
seperti muncul dalam kata-kata Simeon “Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini
pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang
dari pada-Mu, yang telah Engkau sediakan
di hadapan segala bangsa, yaitu terang
yang menjadi penyataan bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi
umat-Mu, .....” (Luk 2:29-32) Kaum usia lanjut yang sungguh hidup dalam
tuntunan Roh menyadari bahwa peran sosialnya akan bahkan harus makin
menghilang. Dia harus makin menghayati secara mendalam kata-kata “Sesungguhnya
aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Luk 1:38
band Mat 26:39)
0 comments:
Post a Comment