Tulisan ini adalah paparan Prof. Dr. Agustinus Supraktiknya ketika menjadi pembicara bagian seminar 2 jam dalam program Novena di Domus Pacis Puren dihadapan para lansia. Proses pembicaraan dipandu oleh Rm. Bambang.
Kuatir,
apa itu?
Kuatir merupakan
jenis perasaan. Perasaan berhubungan erat dengan pikiran. Ada saatnya, pikiran
menimbulkan perasaan. Kalau kita berpikir bahwa orang menjadi miskin karena
malas, maka mungkin kita menjadi merasa benci melihat pengemis menggendong
balita di perempatan. Ada saat lain, perasaan menimbulkan pikiran. Kalau kita mudah
merasa iri hati, mungkin kita berpikir usaha catering tetangga sebelah yang sangat maju itu pasti karena pesugihan. Secara sendiri-sendiri atau
bersama-sama, pikiran dan perasaan memengaruhi tingkah laku kita sehari-hari.
Lantas, apa itu kuatir?
Perasaan kuatir atau cemas memiliki kesamaan sekaligus perbedaan dengan perasaaan takut, fobia, dan paranoia.
Persamaannya, keempatnya menimbulkan rasa tidak nyaman baik fisik maupun
psikis. Secara fisik dan dalam taraf yang berlainan, membuat bulu kuduk
berdiri, mengeluarkan keringat dingin, jantung berdebar-debar, ndrodhog atau
gemetaran bahkan kejang-kejang, terkencing-kencing, tensi darah meningkat,
selera makan hilang, insomnia atau gangguan tidak bisa tidur, weruh-weruhen atau seperti melihat, rungon-rungonen atau seperti mendengar
benda atau orang yang menimbulkan rasa cemas-takut, ketonto atau terbawa dalam mimpi, muncul tics yaitu kebiasaan tertentu yang tidak masuk akal tetapi tidak
kuasa menolak sekaligus terasa melegakan jika sudah melakukannya seperti mematah-matahkan
buku-buku jari tangan, gigit-gigit kuku jari tangan, gedhek, dhehem, garuk-garuk
khususnya bagian tubuh yang tidak semestinya, sampai yang mungkin berisiko
menimbulkan cedera seperti membentur-benturkan kepala ke dinding dan
sebagainya, beserta aneka akibat kelanjutannya.
Secara psikis
dan dalam taraf yang juga berlainan, menimbulkan perasaan tidak nyaman,
gelisah, tegang, tidak mampu memusatkan perhatian, uring-uringan, mudah
tersinggung, mudah marah, pelupa, serta menunjukkan kecenderungan bertingkah
laku mania atau berlebihan seperti
berselera makan yang seperti tak pernah terpuaskan, tidak mengenal rasa kantuk
dan bisa berjaga selama berhari-hari tanpa tidur sekejap pun, agresif atau
mudah menyerang orang lain secara fisik karena alasan yang sepele. Atau
sebaliknya, yaitu menunjukkan kecenderungan bertingkah laku depresif seperti kehilangan semangat
hidup, nglokro, menarik diri dari
pergaulan, bahkan benar-benar terjerumus dalam depresi, yaitu kondisi sedih
mendalam berkepanjangan dan serba kehilangan semangat dan harapan hidup yang secara
ekstrim bisa berakhir dalam bunuh diri.
Lantas apa
bedanya? Pertama, rasa takut adalah perasaan
tidak nyaman bahkan terancam menghadapi benda, binatang atau orang yang objektif
dalam arti benar-benar ada dan benar-benar bisa menimbulkan cedera atau
penderitaan fisik maupun psikis. Misal, takut menyeberang jalan dengan
lalu-lalang kendaraan yang sangat ramai, takut pada binatang buas, atau takut pada
suami atau isteri yang temperamental dan sewenang-wenang sok mau menang sendiri
dan hobi KDRT. Kedua, kuatir atau
cemas adalah perasaan tidak nyaman dalam hati dan/atau pikiran karena penyebab
yang tidak jelas atau karena penyebab yang diciptakan sendiri melalui pemikiran
yang irasional. Misal, ibu mencemaskan anak lelaki yang sudah dewasa dan tinggal
di kota lain karena tugas pekerjaannya tanpa bisa menyebutkan apa yang dicemaskan;
ibu mencemaskan anak perempuan yang belum juga menemukan pasangan hidup,
padahal anak perempuannya sendiri asyik membangun karier di perusahaan besar dan
ditempatkan di kantor pusat regional di Tokyo. Ketiga, fobia merupakan perasaan takut namun berlebihan terhadap
benda atau keadaan yang objektif atau benar-benar ada. Objek yang ditakuti itu
bisa bersifat spesifik, misal takut melihat jarum suntik sampai pingsan; atau
bisa bersifat kompleks, misal sangat grogi tampil di depan umum. Fobia lazim muncul
akibat pernah memiliki pengalaman dengan objek yang ditakuti disertai trauma (luka batin) di masa lalu
khususnya pada masa kanak-kanak. Misal, seorang anak sangat terpukul (trauma)
saat dijadikan sasaran olok-olok teman-teman karena lupa kelanjutan lagu yang
dinyanyikannya dalam penampilan pesta perpisahan sekolah mewakili kelasnya.
Sejak peristiwa itu dia fobi tampil di muka umum. Keempat, paranoia atau “parno” adalah perasaan curiga, merasa
dikejar-kejar, merasa terancam dicelakai yang berlebihan. Sumber penyebab
munculnya perasaan ini kompleks, namun sering dipicu oleh peristiwa tertentu
yang menimbulkan rasa bersalah yang berlebihan. Misal, seorang lelaki bujangan
yang tinggal bersama ibunya yang sudah hanya bisa terbaring di atas tempat
tidur keluar rumah untuk begadang dengan teman-teman namun lupa mematikan
kompor gas untuk memasak air. Tabung gas meledak, membakar rumah seisinya dan
menewaskan ibunya. Sempat berurusan dengan polisi, namun dinyatakan tidak
bersalah. Sejak itu, awalnya hanya suka mengalami mimpi buruk dan terbangun
dari tidur di tengah malam namun lama-lama muncul pengalaman merasa
dikejar-kejar dan mulai bersikap curiga terhadap setiap orang.
Cara
membantu orang yang takut, kuatir, fobi atau parno?
Membantu orang
yang merasa takut terhadap sesuatu yang juga bisa dialami oleh semua orang lain
– jadi, objektif – dalam taraf yang
berlainan, relatif mudah. Secara umum ada dua cara. Yang pertama, membantu atau
mendampinginya menghadapi atau mengatasi sesuatu yang menakutkan itu.
Misal, mendampinginya menyeberangi jalan yang ramai dengan lalu lalang
kendaraan itu. Yang kedua, membantunya menjauhkan
diri dari sesuatu yang menakutkan itu. Misal, menampung sementara tetangga
yang sedang ketakutan karena bertengkar dengan suami yang temperamental di
rumah.
Membantu
orang yang mengalami fobia tertentu,
misal zoophobia atau fobia terhadap
hewan seperti ular, tikus; acrophobia atau
fobia berada di tempat ketinggian seperti berdiri di balkon ruangan di lantai
40; achluophobia atau fobia berada
dalam kegelapan; belonephobia atau
fobia melihat jarum suntik; agoraphobia atau
fobia berada dalam ruang terbuka seperti di tengah sawah; claustrophobia atau berada dalam ruang sempit seperti kamar mandi
atau lift; glossophobia atau fobia
berbicara di depan umum, dan sebagainya, bisa dengan cara yang mudah atau yang
lebih sulit. Cara yang mudah seperti membantu mengatasi rasa takut, yaitu
dengan membantu menghadapi atau menghindarinya. Cara yang lebih sulit butuh
latihan, tetapi intinya bisa digolongkan menjadi dua. Pertama, dibantu mengubah
cara berpikir bahwa semua hal itu tidak perlu ditakutkan sambil menghilangkan
luka batin yang melatarinya, jika ada. Kedua, justru ‘dibanjiri’ dengan dibantu
mengalami hal yang ditakuti itu berkali-kali sampai pelan-pelan fobia atau rasa
takutnya hilang.
Membantu
orang yang benar-benar paranoia atau
‘parno’ lebih sulit, sebab gangguan ini sudah masuk kategori gangguan kejiwaan
berat. Orang semacam ini lazim mengalami delusi
yaitu keyakinan subjektif yang tidak berdasar namun sangat kuat terkait
dirinya. Jenis delusi yang secara khas dialami oleh orang yang ‘parno’ adalah deslusi persekusi, yaitu keyakinan bahwa
dirinya menjadi korban dari upaya-upaya jahat orang lain untuk melukai secara
fisik atau menjatuhkan kedudukan atau martabatnya. Orang semacam ini sering
juga mengalami halusinasi atau
pengalaman indera khususnya berupa melihat atau mendengar yang bersifat
subjektif dan tidak berdasar, sesuai delusinya. Misal, orang yang ‘parno’
mengalami halusinasi merasa mendengar suara orang atau benda yang mengancam
keselamatannya. Orang semacam ini perlu dibantu dengan teknik psikoterapi tertentu oleh tenaga ahli,
bisa psikiater atau dokter yang
memiliki keahlian spesialis kedokteran jiwa atau psikolog yaitu ahli psikologi yang memiliki keahlian spesialis psikologi klinis.
Membantu orang
yang cemas atau kuatir memang bisa dilakukan oleh orang awam biasa, meskipun
gampang-gampang susah. Khususnya rasa cemas atau kuatir yang diakibatkan
pikiran irasional yang diciptakan sendiri lazimnya memiliki akar masalah pada
ego yang rapuh dari orang-orang ‘yang
belum selesai dengan dirinya’. Ego yang rapuh adalah ego yang demi merasa kuat
atau sekadar eksis masih sangat membutuhkan peng-aku-an dari orang lain atau sebaliknya menjadi sangat mudah patah
karena sikap-perilaku yang dipersepsikan mengandung pengabaian-penolakan dari
orang lain. Untuk melindungi ‘ego yang rapuh’, orang pencemas atau penguatir
ini lazim menggunakan apa yang disebut mekanisme
pertahanan ego, yaitu cara bertingkah laku tertentu untuk menutupi rasa
cemas atau kuatir. Sepuluh bentuk atau jenis mekanisme pertahanan ego yang sering
kita jumpai adalah:
- Menyangkal.
Menolak
mengakui realitas atau kebenaran tertentu. Misal, seorang ibu sesungguhnya
iri dengan kecantikan dan kepandaian menantunya. Karena tidak mau
mengakuinya, yang muncul adalah sikap sulit yang cenderung selalu
ditunjukkan setiap kali bertemu dengan menantunya itu.
- Regresi
atau
kembali ke tahap sebelumnya. Setiap kali menghadapi situasi yang
mengancam, tidak disukai, atau menimbulkan rasa cemas, bukan berusaha
mengatasinya melainkan menunjukkan tingkah laku yang lazim dilakukan pada
tahap kehidupan sebelumnya, seperti menangis, kembali mengompol.
- Proyeksi,
yaitu
mengatribusikan atau menuduhkan perasaan tertentu yang menimbulkan
kecemasan terhadap seseorang justru pada orang yang bersangkutan – misal,
seorang ibu merasa benci dengan menantu perempuannya, alih-alih
mengakuinya dia justru menuduh menantu perempuannya itulah yang membenci
dirinya.
- Reaksi
formasi, yaitu justru menunjukkan sikap atau tingkah
laku kebalikan dari apa yang sebenarnya dirasakan. Seorang ayah mertua
yang sesungguhnya membenci menantunya karena mendapatkan anak perempuan
kesayangannya sebagai teman hidup lewat peristiwa ‘kecelakaan’ justru
menunjukkan rasa cinta sedemikian rupa sampai menimbulkan iri pada anak
dan menantu lainnya.
- Konversi,
yaitu
tanpa sadar mengubah kecemasan ke dalam gejala gangguan fisik tertentu
mulai dari yang ringan, seperti seorang mahasiswa yang tiba-tiba pilek atau
gatal-gatal di lengan setiap kali menghadapi ujian, sampai yang berat
seperti seorang perempuan muda yang kehilangan penglihatan sejak
mengetahui bahwa dia dimadu.
- Represi
atau
menekan dalam arti menyembunyikan sesuatu yang membuat cemas ke dalam
ketidak-sadaran. Misal rasa benci pada mertua. Celakanya, apa yang disimpan dalam kesadaran bukan hilang,
tetapi akan muncul dalam tingkah laku tanpa disadari, seperti sering
keliru menyebut nama mertua, sering lupa melakukan apa yang dipesan
mertua.
- Displacement
atau
pengalihan, yaitu mengalihkan objek atau sasaran pikiran atau perasaan
negatif yang menimbulkan kecemasan pada objek lain yang kurang mengancam.
Misal, kejengkelan seorang ibu muda terhadap ibu mertuanya dialihkan
dengan cara menunjukkan sikap kasar terhadap anaknya yang masih balita apalagi
kalau anaknya itu merupakan kesayangan sang ibu mertua.
- Rasionalisasi,
yaitu
berusaha mencari-cari alasan yang seolah-olah rasional atas suatu pikiran,
perasaan atau perbuatan yang menimbulkan rasa cemas karena bersifat
melanggar norma. Contoh, merasa tidak perlu menyumbang saat menghadiri
resepsi perkawinan sebab berpikiran bahwa yang ‘punya gawe’ adalah
keluarga berada.
- Sublimasi,
yaitu
menyalurkan perasaan cemas pada aktivitas yang memiliki nilai kehidupan yang
lebih luhur. Misal, seorang duda tengah baya yang merasa sangat kehilangan
sesudah isterinya wafat namun takut menikah lagi, akhirnya memutuskan
mengabdikan diri menjadi prodiakon yang sangat berdedikasi.
- Altruisme,
yaitu
menyalurkan perasaan cemas pada perbuatan yang bermanfaat bagi banyak
orang. Contoh, sepasang suami-isteri milyarder yang merasa sangat sedih
karena kehilangan putra tunggal yang sangat mereka sayangi akibat penyakit
kanker memutuskan menyumbangkan seluruh harta mereka untuk membangun sebuah
rumah sakit khusus bagi anak penderita kanker.
Pertanyaan
selanjutnya, bagaimana membedakan apakah tindakan seseorang merupakan perbuatan
yang dilakukan dengan penuh kesadaran dari tindakan yang merupakan bentuk mekanisme pertahanan ego? Salah satu pembeda
penting adalah bahwa tindakan sebagai mekanisme pertahanan ego lazimnya
bersifat serba berlebihan, tidak wajar. Masalahnya, sering tidak
mudah menangkap sifat berlebihan ini. Maka, langkah pertama membantu lansia
yang kuatir atau cemas adalah menentukan apakah ucapan, sikap dan perbuatannya
itu spontan-wajar atau merupakan bentuk mekanisme pertahanan ego yang lazimnya
berlebihan-tidak wajar. Jika jawabnya adalah yang kedua, berarti kendati sudah
lanjut usia namun ternyata masih memiliki ego yang rapuh, masih membutuhkan
‘peng-aku-an’ dari lingkungan di sekitarnya. “Belum adi-yuswa” meminjam istilah Romo Bambang. Bisa dipastikan, sumber
kerapuhan ego semacam ini adalah pikiran yang tidak rasional, pikiran yang
tidak bisa dipertanggungjawabkan keabsahan atau kebenarannya, namun yang secara
tidak sadar sangat diyakini sehingga justru menimbulkan kekuatiran-kecemasan
yang tidak perlu. Maka, secara umum bisa dikatakan, kunci membantu lansia
mengatasi rasa kuatir yang tidak jelas, tidak berdasar, atau memiliki dasar
yang keliru semacam ini adalah dengan cara membantu mengubah pikiran atau
pandangannya tentang dirinya sendiri: dari IRASIONAL menjadi RASIONAL dalam
arti antara lain, wajar, semestinya, apa adanya.
Sumber
bacaan:
Cherry,
K. (2018). 20 common defence mechanisms
uused for anxiety. http://www.verywellmind.com
Grohol,
J.M. (2019). 15 common defense
mechanisms. http://www.psychcentral.com
31 psychological
defense mechanisms explained. A look at common defense mechasnisms we employ to
protect the ego. http://www.psychologistword.com
----------
Disiapkan
oleh A. Supratiknya, sebagai materi Seminar Novena bagi Lansia di Domus Pacis,
tanggal 4 Agustus 2019.
0 comments:
Post a Comment