MUKJIZAT NENG
Tulisan ini saya ketengahkan dalam Blog Domus sebagai sharing pengalaman saya sesudah tidak memiliki tugas resmi dan banyak mengalami hidup sendiri dalam kamar. *Rama Bambang
Pembicaraan berikut sebenarnya berkaitan dengan tema “Mukjizat” Domus Voice[1] dalam Bulan Kitab
Suci September 2012. Biasanya saya mengikuti kegiatan Bulan Kitab Suci seminggu
sekali di Lingkungan Santo Fransiscus Assisi Puren, Paroki Pringwulung. Tetapi
pada tanggal 18 September 2012 saya jatuh di kamar mandi dan harus opname 31
hari di Rumah Sakit Panti Rapih. Saya hanya bisa berbaring dan duduk di tempat
tidur selama 30 hari karena kaki harus ditarik dengan alat pemberat 3 kg. Di
sinilah saya berpikir-pikir tentang mukjizat apa yang saya alami sebagai warga
Domus Pacis.
Ora Krasa Sepi?[2]
Pada Minggu 16 September 2012 seorang teman bertanya “Kowé ora krasa sepi nèng omah kaya ngana?”[3]
Yang dimaksud apa saya tidak kesepian di rumah tua Domus Pacis. Selanjutnya dia
berkata “Aku ki nèk ora ana acara rasané
dadi nglangut. Padahal kowé acarané mesthi di bawah 50%.”[4]
Saya hanya tersenyum pada sharing teman tersebut. Dalam benak saya memang muncul
pelayanan-pelayanan misa (terutama ujub) yang paling banyak hanya 14 kali
sebulan. Biasanya antara 5-8 kali. Bahkan ada bulan tanpa permintaan. Kalau
dihitung, rata-rata 14 kali waktu pelaksanaan misa dan pergi-pulangnya,
paling-paling ini hanya menyita 56 jam. Padahal sebulan rata-rata ada 720 jam.
Dengan hitungan ini 92,2222% hidup saya tidak berada di tengah-tengah kerumunan
umat. Saya juga membayangkan bahwa saya terutama berada di kamar. Memang, mulai
akhir Agustus 2011 para rama Domus selalu makan bersama. Seandainya kumpul di
kamar makan tiga kali sehari dihitung 6 jam (karena pada saat tertentu dapat
lama berndobosria[5] ha
ha ha ....), maka kumpul bareng serumah bisa 180 jam. Dengan demikian suasana
kesendirian ada 67,2222% dalam hidup saya.
Saya jadi teringat dua bulan pertama menjadi penghuni Domus Pacis sejak 1
Juli 2010. Saya membuka file Domus Voice edisi pertama. Di situ saya menulis
“Jujur saja, pada dua bulan pertama ada rasa “kosong batin” melanda diri saya.
Saya dapat gembira bersama Rama Agung untuk omong-omong, dengan rama Joko untuk
gojegan[6], bersama rama
Harta dengan mengejeknya. Tetapi mengapa ada “kelengangan batin”? Eeeee, hal
ini akhirnya kusadari pada 18 Juli 2010 kira-kira jam 6 sore. Ketika itu hujan
lebat sehingga hari rasanya sudah gelap gulita. Saya mengendarai Honda Supra X
125D roda 3 dengan mantol menuju Gedung Gereja Wirobrajan. Dalam suasana hati terasa
berat karena harus menyibak tebalnya tirai kelebatan hujan, tiba-tiba saya
menyadari mengapa hati biasa terlela oleh kekosongan dan kelengangan. Saya
“sekarang” tidak memiliki fasilitas mobil dan menjalani pelayanan sendiri tanpa
teman-teman tim sebagaimana ketika masih berada di Museum Misi Muntilan Pusat
Animasi Misioner (MMM PAM). Situasi dan kondisi perutusan sudah berubah.”
Rama kok Seperti Ini Sejak Saya Kecil
Pada Rabu 12 September 2012 saya ikut menghadiri peresmian Kantor Majalah Salam Damai milik Keuskupan Agung
Semarang. Seseorang yang berasal dari Kalasan mendekati saya. Ternyata dia
adalah salah satu anak yang dulu ikut kor kanak-kanak ketika saya ikut aktif di
Paroki Kalasan pada tahun 1978-1980. Saat itu dia masih SD kelas 5 dan ketika saya
tahbisan Januari 1981 dia SMP kelas 1. Dalam omongannya dia amat menekankan
kata-kata “Rama kok masih seperti
ketika saya kecil, ta?” Dia kini sudah beranak tiga. Saya menyahut “Ah, kamu
baru umur 40an tahun kok sudah
katarak.” Dia membantah “Sungguh, rama. Rama tampak tetap segar dan gembira.”
Sebenarnya komentar bernada “masih seperti dulu, segar, gembira” kerap saya
dengar bila berjumpa dengan orang-orang tempo dulu. Kalau dengan orang-orang
gaulan masa kini yang kerap muncul adalah nada komentar “rama itu selalu
ceria”. Tidak sedikit yang mengatakan bahwa kehadiran saya di Domus Pacis juga
membawa suasana gembira sehingga Domus tidak seperti panti jompo tempat menanti
kematian atau juga tidak seperti tempat tahanan yang menghadirkan suasana frustrasi.
Di Domus Pacis saya memang mengalami dinamika yang membuat saya rasa-rasanya
makin bergairah dalam hidup sebagai imam bersama para imam lain. Bersama teman
imam yang kondisi sebenarnya cukup “menjijikkan”, ternyata saya juga dapat
menemukan kegembiraan karena yang buruk itu di mata saya jadi hal lucu yang
membuat hati dan mulut tertawa riang. Terhadap watak yang amat saya benci,
ternyata hati saya berkembang menjadi pabrik roh yang mendaur ulang berbagai
kebencian menjadi rasa toleran bercampur bumbu rasa kasihan. Maka kalau saya
berkisah pada orang lain, semua yang buruk dan tak menyenangkan menjadi
ceritera yang lucu dan menimbulkan gelak tawa yang menebar aura kegembiraan.
Ternyata ada Rahmat MeNENG
Terhadap komentar-komentar seperti di atas sebenarnya saya selalu teringat
pada sosok Rama Agoeng dan Rama Yadi yang secara duniawi menjadi topangan
kekokohan hati menghadapi situasi dan kondisi Domus Pacis pada tahun pertama
keberadaan saya. Bersama merekalah perjuangan pengembangan Komunitas Rama-rama
Domus Pacis terjadi. Namun demikian saya memang harus juga melihat yang terjadi
dalam diri saya. Di atas sudah saya katakan bahwa paling tidak 67,222% hidup
saya ada dalam kesendirian dalam kamar. Ini belum ditambah dengan kenyataan
bahwa perjalanan ke sana-sini juga biasa dalam kesendirian. Kehidupan saya di
Domus Pacis memang amat berbeda dengan 27 tahun berada dalam kehidupan gerakan
Komisi Karya Misioner Keuskupan Agung Semarang. Meskipun demikian, hati riang
gembira saya di Domus Pacis rasanya melampaui perjalanan imamat sebelumnya. Hal
inilah yang barangkali membuat orang melihat saya masih seperti dulu. Bahkan
beberapa kali saya berjumpa dengan orang-orang yang mengatakan bahwa saya “awet
muda” (tentu saja saya selalu tertawa karena nyatanya saya sekarang sudah
berjalan pakai krug bahkan juga menikmati kursi roda).
Terhadap kenyataan seperti itu saya juga teringat yang terjadi pada masa
pertama sebagai penghuni Domus Pacis. Di dalam Domus Voice Agustus 2011 saya menulis “Situasi dan kondisi
perutusan sudah berubah. Sejak saat itulah saya selalu mempersembahkan segala
perubahan itu dalam setiap doa batin
saya baik dalam doa khusus maupun dalam ucapan-ucapan spontan batin kepada
Yesus. Eeeee ..... Pada hari ke 59 di Domus Pacis saya merasa sudah akrab dan
enak dengan situasi dan kondisi saya.” Dalam kutipan itu saya menebalkan
kata-kata yang saya anggap amat penting. Sebenarnya saya sudah terbiasa dengan
doa batin. Saya sudah mulai mengembangkan secara serius sejak tahun 1982. Hal
ini berkembang dengan pentingnya pengembangan kebiasaan hening sebagaimana
selalu menjadi pokok pengembangan kerohanian dalam gerakan misioner Tim Edukasi
Museum Misi Muntilan Pusat Animasi Misioner (MMM PAM). Dengan merujuk ke Beata
Theresa dari Calcuta Tim Edukasi selalu mendengungkan “Dengan hening aku
berdoa, dengan doa aku beriman, dengan iman aku mengasih, dengan kasih aku
melayani, dengan melayani dengan melayani kualami kedamaian”[7].
Keheningan adalah pusat dari segala derap pengembangan hidup dalam bimbingan
Roh.
Dalam hal menjaga dan mengembangkan keheningan, ada hal yang amat
mentakjubkan terjadi dalam diri saya justru dengan tinggal sebagai penghuni
Domus Pacis. Dengan renungan dalam Domus
Voice kali ini saya menyadari bahwa kesendirian yang amat mewarnai hidup
saya telah menjadi jalan saya merasakan rahmat ilahi yang amat mentakjubkan.
Kesendirian itu tidak membuat saya merasakan yang namanya kesepian. Kesendirian
itu membuat saya mengalami diam yang
frekuensinya amat besar sekali dalam hidup saya. Suasana diam dalam kamar
membuat saya biasa merasa-rasakan dan memikir-mikir apa pun yang terlintas dan
terbayang dalam benak saya. Saya juga makin tajam mencermati hati dan
perasaan-perasaan yang menggembirakan, menggelisahkan dan menyusahkan. Bahkan
tayangan telivisi yang saya lihat dan acara radio yang saya dengar juga mudah
masuk dalam hati dan menjadi permenungan-permenungan bahkan kontemplasi spontan
alamiah. Saya sering merasa diam-diam dapat merasakan aura pertapaan
sebagaimana diciptakan di Pertapaan Trapis Rawaseneng. Keprajaan (keduniawian)
imamat saya ternyata mendapatkan anugerah pola rohani seperti para pertapa.
Mengapa? Karena saya merasa ada karya ilahi yang menjadikan suasana sendiri
menjadi keadaan meNENG (diam)[8].
Sebagai orang yang dibesarkan dalam budaya dan religiositas Jawa, suasana diam
(tentu saja dengan biasa menyebut “Gusti”[9]
berkali-kali) membuat saya secara spontan mengalami weNING (hening, jernih). Ternyata dengan weNING saya mendapatkan
daya batin menimbang apa pun yang masuk dalam hati sehingga saya jadi duNUNG (paham, memahami). Saya
mendapatkan pemahaman untuk yakin punya weNANG
(wibawa batin) atau meNANG
(kemampuan) yang menjadi dorongan untuk bersikap atau bertindak sesuai dengan
situasi kongkret demi kepentingan umum. Inilah sikap atau tindakan yang walau
sedikit akan ikut memayu hayuning bawana
(membawa keindahan atau kebaikan dalam hidup bersama di rumah, dalam
kerja/kegiatan dan dalam pergaulan umum). Dalam hal ini, saya sungguh bersyukur
karena dominasi kesendirian hidup di Domus Pacis telah diubah oleh Tuhan
menjadi keindahan meNENG. Apakah ini
bukan mukjizat seperti air menjadi anggur dalam peristiwa pesta perkawinan di
Kana dalam Yoh 2:1-12?
[1] Buletin elektronik yang
memuat tulisan apa adanya dari rama-rama Domus Pacis. Ini dimulai pada Agustus
2011 hingga Desember 2012. Domus Voive
diedarkan lewat email kepada relasi para rama Domus Pacis sebagai sharing
pengalaman.
[4] Kalau tak punya acara aku
selalu merasa lengang. Padahal acaramu dengan orang lain pasti tak ada separo
hidupmu.
[7] Tim Edukasi MMM PAM. Terlibat Biar Hebat Olah Lagu dan
Dramatisasi Bahan Keterlibatan Anak dan Remaja untuk Pengembangan Umat.
Kerjasama dengan Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta, 2008 hlm. 14.
[8] Bdk. Jalu Suwangsa. Katak pun Ingin Memuliakan Penciptanya.
Manunggaling Manungsa dengan Penciptanya. Yogyakarta, Penerbit Kepel, 2011
hal. 111-116.
0 comments:
Post a Comment