diambil dari https://unio-indonesia.org/2020/01; ilustrasi dari koleksi Blog Domus
Rekan-rekan yang budiman!
Dalam Yoh 1:29-34 yang dibacakan bagi Minggu Biasa II/A disampaikan kesaksian Yohanes Pembaptis mengenai siapa Yesus itu. Dia itu “Anak Domba Allah” dan juga “anak Allah”. Apakah yang dimaksud dengan kedua gagasan ini? Bagaimana kesaksian ini dapat dimengerti bersama dengan Yes 49:3.5-6 yang diperdengarkan dalam bacaan pertama? Apakah warta kedua bacaan itu dapat juga didalami dengan konteks keadaan masa kini?
“KEESOKAN HARINYA”
Bacaan ini mulai dengan menyebutkan bahwa “keesokan harinya” (Yoh 1:29) Yohanes Pembaptis melihat Yesus datang kepadanya. Pada saat itulah sang Pembaptis menyampaikan dua kesaksian tentang Yesus tadi. Berita “keesokan hari” besar peranannya. Injil Yohanes menyebut hari-hari untuk menggemakan hari-hari penciptaan agar orang memahami kedatangan Yesus sebagai karya penciptaan yang baru. Pada ay. 29 untuk pertama kalinya disebutkan “keesokan harinya”. Maksudnya, hari kedua setelah hari pertama penciptaan yang digemakan dalam Yoh 1:1-9 yang membicarakan “terang” seperti “terang” yang difirmankan pada hari pertama penciptaan Kej 1:3-5. Pada hari kedua penciptaan, Kej 1:6-7, langit dijadikanlah. Di situ langit berperan sebagai pemisah air yang di atas dan di bawah. Jadi bersama dengan penciptaan terang dan pembedaan siang dengan malam pada hari pertama, kini mulai disiapkan wahana bagi daratan dan kehidupan yang akan diciptakan pada hari-hari selanjutnya.
Istilah kunci “keesokan harinya” itu menjadikan pengalaman iman orang akan karya awal Tuhan Pencipta itu sebagai latar bagi tampilnya Yesus. Disarankan bahwa kini penciptaan masih berjalan terus, jagat mulai diterangi, ditata sehingga yang gelap bisa diatur dan tidak merajalela. Setelah itu air-air mulai dibendung dengan langit. Gagasan yang ditampilkan makin nyata. Semua yang ada di muka bumi yang akan diciptakan nanti akan memandangi langit sebagai tempat Yang Mahakuasa hadir dan yang membendung kekuatan-kekuatan gelap dan penghancur sehingga ciptaan selanjutnya bisa terus berjalan.
Dengan latar itu kedatangan Yesus menjadi semakin bermakna. Injil Yohanes membuat orang membayangkan peran Yesus sebagai “langit” yang membendung kekuatan-kekuatan yang tadinya tak terkendali (“air-air” dalam Kej 1:6-7). Ada hal yang erat berhubungan dengan ini yang patut didalami. Meski langit yang diciptakan pada hari kedua itu menahan air-air tadi, nanti pada awal Kisah Air Bah, disebutkan tingkap-tingkap langit terbuka lagi dan jagat dilanda banjir dahsyat (Kej 7:11). Dalam Kisah Air Bah, kejadian ini ditampilkan sebagai akibat keburukan hidup manusia seperti disebutkan dalam Kej 6:5. Tapi bila disimak, di situ juga sekaligus ditekankan betapa besarnya kekuatan “langit” pembendung daya-daya tadi. Bila tidak terbuka tingkap-tingkapnya, tak bakal kekuatan sedahsyat apapun bisa memasuki dan merusak ciptaan. Inilah yang sebetulnya hendak ikut dijadikan sebagai latar pemikiran dalam Injil Yohanes kali ini. Yesus yang dilihat Yohanes Pembaptis datang pada “keesokan harinya” itu berperan sebagai yang membendung daya-daya penghancur masih terus mengancam kemanusiaan.
“ANAK DOMBA ALLAH YANG MENGHAPUS DOSA DUNIA”
Langit yang diciptakan sebagai pembendung air-air dahsyat itu kini dipersaksikan Yohanes Pembaptis sebagai “Anak Domba Allah”. Bukan yang jauh di cakrawala dan di atas sana, melainkan yang dekat, yang berasal dari kehidupan sehari-hari manusia, sebagai domba yang penurut dan menerima dijadikan persembahan kepada Tuhan. Ditekankan dalam pengertian “Anak Domba Allah” itu persembahan dari pihak manusia yang mendapat perkenan dari Tuhan Yang Mahabesar.
Injil Yohanes hendak menampikan sebuah paradigma baru dalam memahami penciptaan dan kelanjutannya. Di atas disinggung jauh setelah penciptaan langit selesai, tingkap-tingkap langit terbuka kembali (Kej 7:11) sebagai akibat keburukan manusia pada zaman Nuh dulu. Kini Yesus dipersaksikan – ditegaskan dari pengalaman iman – sebagai kurban (“anak domba”) dari pihak manusia kepada Allah dan kurban inilah yang membuat dosa dunia terhapus. Dibersihkan. Keburukannya disingkirkan. Inilah kiranya yang dimaksud dengan pernyataan iman atau kesaksian bahwa Yesus itu “Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia”. Langit yang walaupun memiliki daya hebat membendung kekuatan khaos itu bisa terbuka kembali dengan akibat yang menakutkan itu kini menjadi sesuatu yang dekat, yang lembut, tapi yang membuat keburukan terhapus, dan bisa menjadikan manusia apik kembali seperti pada akhir penciptaan – seperti “gambar dan rupa” Tuhan sendiri (Kej 1:27)
Kejahatan memang mendatangkan hukuman. Sisi lain kerap kurang dilihat, yakni sisi Tuhan yang masih mau menyelamatkan yang bisa diselamatkan – seperti ia mengasihi Nuh dan menyelamatkannya. Ada kesan ia diselamatkan karena Nuh “orang benar, tak bercela” (Kej 6:9). Terasa adanya gagasan “kejahatan mendatangkan hukuman, kesalehan mendatangkan pahala”. Namun gagasan itu terlalu sering dipakai untuk memandang dunia kehidupan manusia dengan cara kaku tanpa memperhitungkan kerapuhan manusia dan kerahiman Tuhan sendiri. Padahal kerapuhan manusia dan kerahiman-Nya juga bagian kenyataan hidup.
Yohanes Pembaptis mengajak orang melihat dan mengakui kedua sisi tadi. Dalam kesaksian mengenai Yesus sebagai Anak Domba Allah, ia mau menekankan bahwa kemanusiaan yang rapuh tetap disertai kerahiman ilahi. Semua ini dikatakannya dengan bahasa kurban “anak domba”. Kurban ini bakal membuat wajah buruk manusia yang dalam Injil Yohanes disebut “dosa dunia” terhapus. Karena Anak Domba Allah itu juga manusia, maka ia juga bisa menjadi pegangan bagi sesamanya. Inilah yang dimaksud Yohanes. Gagasan Anak Domba yang menjadi pemimpin itu akan dikembangkan lebih lanjut dalam Kitab Wahyu (Why 5 dan 14) yang sekalangan dengan Injil Yohanes.
“ANAK ALLAH”
Dalam cara berungkap orang Ibrani, “anak Allah”, tidak menunjuk pada gagasan diperanakkan secara harfiah. Karena itu tidak juga menimbulkan soal, “Lho, Allah kok punya anak – lha dengan siapa?” Apa maksudnya? Memang gagasan “anak Allah” berdasarkan pada pengertian hubungan mendalam antara “anak” dengan “bapak”, yakni kedekatan, keakraban, perhatian besar, serta saling mempedulikan, dan semuanya ini tumbuh dari kecil, dari saat mulai ada. (Jadi berbeda dengan ibarat suami-istri yang memang mengungkapkan kedekatan dan kesetiaan tapi tidak dari awal.) Ringkasnya, “anak Allah” berarti manusia yang amat dekat dengan Yang Ilahi sendiri. Dan keakraban ini tumbuh dari kecil, dari semula. Oleh karena itu dia yang disebut “anak Allah” itu nanti mampu menunjukkan Yang Mahakuasa sebagai Tuhan yang juga dekat. Inilah yang dipersaksikan Yohanes Pembaptis dalam Yoh 1:34 ketika mengatakan “Ia inilah anak Allah”.
Dari mana Yohanes Pembaptis mendapat keberanian mengatakan semua itu? Penjelasannya menarik. Pada ayat sebelumnya, yakni ay. 33, disebutkannya ia melihat Roh yang turun ke atas Yesus dan tinggal di atasnya. Roh itu “menetap” padanya, tidak pergi datang begitu saja seperti misalnya pada para Hakim dulu. Yesus disertai Roh secara tetap. Inilah yang menjadikannya sedemikian dekat dengan Yang Ilahi. Roh yang datang dari Yang Ilahi itulah yang mengumumkan Yesus sebagai “anak Allah”. Ketiga Injil lain (Mat 3:13-17 Mrk 1:9-11 Luk 3:21-22) mengungkapkan hal yang sama dengan cara mereka sendiri seperti dibicarakan dalam ulasan bagi Pesta Pembaptisan Tuhan yang lalu. Di situ diceritakan langit terbuka dan ada suara dari langit yang mengatakan bahwa Yesus itu anak yang terkasih dan kepadanya Yang Ilahi berkenan. Saat itu juga Roh hadir. Dalam Injil Yohanes, hal ini menjadi dasar kesaksian sang Pembaptis kepada orang banyak.
“HAMBA TUHAN” BISA BERPERAN DI ERA GLOBALISASI & MARGINALISASI?
Bacaan pertama (Yes 49:3.5-6, bagian dari Kidung Hamba Tuhan) memusatkan perhatian pada pengutusan sang hamba Tuhan menjadi terang bagi bangsa-bangsa, jadi bukan hanya untuk melayani orang-orang yang sudah menjadi bagian umat. Demikian maka kehadiran ilahi yang menyelamatkan diperkenalkan sampai ke “ujung bumi”, ke tempat yang paling jauh dan paling terpencil sekalipun baik dalam arti fisik maupun batin. Apakah penugasan ini bisa dimengerti sebagai ajakan membuat semua orang masuk agama yang dibawakan sang hamba? Keliru. Bukan tugas sang hamba di sini untuk menyebarkan agama atau mempertobatkan orang. Jauh lebih luhur. Ia ditugasi menjadi “terang”.
Dalam bahasa Yesaya, gagasan ini menggemakan karya ilahi yang paling awal, yakni terang yang disabdakan Pencipta sendiri sehingga kegelapan mulai tersingkir. Dengan demikian mulai terbangunlah wahana bagi kehidupan bagi semua. Sang hamba ditugasi membuat orang semakin peka mengenali kehadiran ilahi yang nyata sejak awal ini dan menyadari bahwa jagat bukannya sistem tertutup yang bergerak dengan kekuatan-kekuatan yang ada di dalamnya sendiri. Cara berungkap teks Yesaya memang puitis dan intelektual. Teks itu dulu pun diperbincangkan di kalangan para intelektual di dalam umat, katakan para budayawan yang ketika itu tinggal di Babilonia yang menjadi pusat kekuatan dan budaya dunia pada zaman itu.
Bagaimana menalarkan adanya kekuatan-kekuatan seperti itu, khususnya dalam kesadaran intelektual orang zaman ini? Ada pelbagai cara. Salah satu ialah menyadari adanya kekuatan arus-arus globalisasi yang membuat masyarakat mana pun mau tak mau secara langsung atau tak langsung ikut dalam perputaran hidup ekonomi dunia. Tak ada yang bisa memisahkan diri. Seiring dengan arus-arus ini timbul pula keadaan yang tidak diinginkan, yakni marginalisasi sebagian dari kemanusiaan. Semuanya ada dalam arus, tetapi tidak semua sampai. Ada yang semakin tertinggal karena arus sifatnya membawa yang bisa dibawa. Lagi pula kemajuan kelompok pusat dengan sendirinya semakin menyisihkan yang ada di pinggiran. Yang kurang dapat ikut semakin terpojok, dan ini bentuk ketertindasan yang ada dalam kehidupan masyarakat dunia dewasa ini. Menanjaknya harga pelbagai kebutuhan pokok dibarengi dengan turunnya daya beli penghasilan makin banyak orang bisa menjadi petunjuk adanya keadaan itu. Keadaan seperti ini tak bisa disangkal begitu saja. Juga tidak bisa dituding sebagai akibat ketakbecusan para pengelola negara atau kemalasan berusaha para warga atau ketakpedulian mereka yang lebih beruntung. Akan tetapi kelanggengan keadaan seperti itu dapat dan perlu disangkal.
Dan termasuk penugasan sang hamba Tuhan, dalam bahasa sekarang, ialah menyangkal kelanggengan kekuatan yang menghasilkan marginalisasi tadi. Bukan semata-mata dengan memerangi, memisahkan diri, melainkan dengan mempersaksikan kehadiran Pengutus-Nya, Pencipta jagat yang menghendaki sejak awal agar “terang” yang difirmankan-Nya itu sampai ke ujung bumi, sampai tak ada tempat yang kurang diterangi, yang terpojok dan terhimpit. Dan kekuatan yang dibekalkan kepada hamba tadi ialah keberanian untuk bersaksi bahwa Tuhan menciptakan jagat sebagai tempat yang tak meredup di tempat-tempat yang jauh sekalipun. Harapan tetap ada.
Satu catatan lagi. Dalam pemakaian liturgi kali ini, hamba Tuhan tadi diterapkan pada tokoh Yesus yang dalam Injil di muka digambarkan sebagai “Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia” – yakni kurban dari pihak manusia yang dapat meng-urung-kan serta menyangkal kelanggengan kekuatan-kekuatan yang memojokkan sebagian kemanusiaan ke arah kegelapan. Dan siapa pun yang ingin ke sana diajak mengenalnya. Kehidupan, pengajaran, pengabdian tokoh ini dapat membuat orang menemukan arus yang membawa orang ke terang yang sejati.
Dalam hangat,
A. Gianto
A. Gianto
0 comments:
Post a Comment