Ini soal
swasembada pangan di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Bupati H Ibnu Subiyanto Akt
menjelaskan swasembada pangan sebagai konsep untuk menciptakan kemakmuran
daerah. Kebutuhan pangan tidak hanya beras saja. Jika semua kebutuhan pangan
manusia dikerucutkan, maka hanya akan ada dua yang paling pokok, yaitu
karbonhidrat dan protein. Kedua aspek ini merupakan energi bagi manusia. Yang
lain-lain adalah suplemen.
(disimpulkan
dari SKH Kedaulatan Rakyat Selasa
Kliwon 2 Juni 2009 halaman 4)
Dari Dunia
Bagi
saya yang amat menarik adalah bahwa soal pangan berkaitan erat dengan
terjadinya energi bagi manusia. Di dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia[1], kata
energi berarti “tenaga, daya kekuatan yang dapat digunakan untuk melakukan
berbagai proses aktivitas”. Energi adalah kunci manusia agar dapat sungguh
hidup, karena orang sungguh hidup kalau dapat melakukan kegiatan. Barangkali
karena sakitnya orang yang koma hanya dapat bernapas. Akan tetapi, bernapas pun
membutuhkan energi. Yang menjadi soal adalah bagaimana orang mendapatkan energi
yang mampu membuat sehat. Energi pernapasan untuk orang koma dapat datang
dengan pertolongan alat medis yang membantu aliran oksigen. Tetapi orang yang
sungguh sehat harus memiliki energi yang datang dari dua aspek, yaitu
karbonhidrat dan protein. Ini berasal dari pangan yang berupa beras atau
jagung, daging, telur, dan sayuran. Energi yang dibicarakan berkaitan erat
dengan kehidupan manusia dari segi biologis atau fisik. Padahal kehidupan
manusia untuk sungguh dapat menghayati kesejahteraan lahir dan batin, sehingga
kehidupan dipenuhi rasa syukur yang penuh, berkaitan dengan empat kebutuhan:
biologis, intelektual, psikologis, dan spiritual[2].
Berbicara
tentang energi manusia, sebagai salah satu dari warga Paguyuban Murid-Murid
Kristus, saya memusatkan diri pada kebutuhan spiritual. Ini adalah kehidupan
dalam bimbingan Roh Kudus untuk ikut Kristus di tengah-tengah perkembangan
situasi hidup dan budaya. Inilah kehidupan beriman yang terungkap dalam
kegiatan-kegiatan keagamaan dan terwujud dalam kegiatan-kegiatan duniawi
(idelogis, politik, ekonomi, sosial, dan budaya). Secara kongkret hidup beriman
membutuhkan “energi rohani”. Dengan merujuk adanya dua aspek untuk energi
biologis manusia, yaitu karbonhidrat dan protein, saya mencari-cari kemungkinan
dua aspek yang menciptakan energi rohani bagi manusia. Dari merenung dan
berdoa, saya menemukan dua aspek yang paling tidak untuk diri saya memberikan
energi kesegaran hidup rohani. Dua aspek rohani itu adalah keheningan dan paguyuban.
Hening
Ibu
Theresa dari Calcuta menempatkan keheningan menjadi dasar dari segala kehidupan
beriman. Dengan hening orang bisa beriman. Dengan iman orang bisa berdoa.
Dengan doa orang bisa mencinta. Dengan cinta orang bisa melayani. Dan dengan melayani
orang mengalami kedamaian. Kedamaian adalah suasana hening batin. Maka
keheningan adalah kerangka dasar hidup beriman. Sebagai murid Kristus yang
hidup dalam konteks budaya Jawa, saya juga menemukan bahwa keheningan menjadi
pusat dari segala upaya kesempurnaan. Dalam budaya Jawa, orang yang melatih
diri untuk kesempurnaan rohani, dia harus mampu mengembangkan yang disebut “neng, ning, nung, nang”.
Kata neng selengkapnya berbunyi meneng yang berarti diam. Orang yang mau
mencari kesempurnaan harus mampu menjalani praktek diam. Kaum pertapa menjalani
tindakan diam dengan menyingkir ke tempat sepi. Suasana diam biasa diupayakan
sebagai prasyarat untuk menjalani upaya mencari kesempurnaan atau kesucian.
Inilah mengapa di dalam rumah-rumah retret (dari kata Latin retrahere yang berarti mengundurkan diri
atau menyepi) suasana diam amat diupayakan.
Ning dari kata wening yang berarti hening. Dalam suasana diam, orang akan dengan
mudah mengembangkan keheningan dalam hati. Dengan hati yang hening, orang akan mampu
menimbang-nimbang segala yang terjadi dalam hidupnya. Dengan menimbang-nimbang
peristiwa-peristiwa tersebut orang akan menemukan makna atau hal pokok yang
terkandung di dalamnya. Tetapi dengan hening orang juga mengalami hubungan
dengan Tuhan sehingga mendapatkan terang iman pada pengalaman hariannya. Di
sini murid Kristus akan mendapatkan terang iman lewat Kitab Suci dan/atau
tradisi Gereja. Proses hening akan membuat pengalaman duniawi seseorang menjadi
pengalaman iman.
Nung itu dunung yang berarti memahami. Kesadaran akan peristiwa atau
kejadian-kejadian kongkret yang mendapatkan terang iman membuat orang memahami
kehidupan nyata saat ini dan kehidupan macam apa yang sebaiknya dikembangkan.
Dengan demikian orang dapat merencanakan program dan kemungkinan-kemungkinan
tindakan untuk langkah ke depan. Dunung
adalah buah visioner dan konseptual dari hening.
Nang berasal dari menang. Ini adalah kemenangan mencapai ujung dari proses mencari
kesempurnaan. Berbagai rencana program dan kegiatan yang dilandasi oleh
keheningan batin akan dapat dilaksanakan di dalam kehidupan kongkret. Inilah
kemenangan rohani, yaitu kemampuan melaksanakan yang sudah diprogramkan dan
direncanakan. Kemenangan, yaitu kemampuan pelaksanaan, merupakan buah
operasional dari pengembangan keheningan diri.
Dari
permenungan itu, saya menyadari bahwa yang paling pokok adalah keheningan diri.
Suasana diam hanya berguna kalau membantu berkembangnya keheningan. Tetapi
orang dapat merasakan kegalauan batin walau dalam keadaan sepi, dan sebaliknya
orang dapat tetap memiliki keheningan batin dalam suasana yang ramai dan riuh
rendah. Segala program-kegiatan dan pelaksanaannya akan terjadi dengan baik
kalau orang tetap memiliki keheningan diri. Dengan hening orang akan sungguh
mengalami bahwa yang berdoa dan aktif mengolah hidup di hadapan Allah adalah
Roh Kudus[3].
Dengan keheningan diri orang akan sungguh-sungguh menjadi baik Allah dan Roh
Kudus diam di dalam diri kita[4].
Paguyuban
Di
dalam kehidupan menggereja, paguyuban menjadi dimensi inti dari kehidupan para
murid Kristus. Sebagai ikatan umat beriman yang menekankan hubungan personal,
paguyuban menjadi bagian Gereja kongkret[5]
atau juga disebut Gereja Inti[6].
Paguyuban memang menjadi tanda kehadiran Tuhan Yesus yang paling strategis,
sebab Dia sendiri berkata “di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam NamaKu,
di situ Aku ada di tengah-tengah mereka”[7]. Santo
Paulus kemudian melihat paguyuban iman ini sebagai “tempat kediaman Allah, di
dalam Roh”[8]. Pentingnya
penghayatan hidup beriman dengan wajah paguyuban sangat menonjol untuk realita
pengikut Kristus di Asia termasuk Indonesia. Gereja yang berwajah Asia adalah
Gereja sebagai persekutuan paguyuban-paguyuban murid-murid Tuhan Yesus Kristus[9].
Bobot
rohani dalam sebuah paguyuban merupakan fenomena kultural sekurang-kurangnya di
dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Hubungan antar manusia memiliki dua
dimensi kehidupan, yaitu patembayatan
(komunio) dan paguyuban (komunitas).
Di dalam patembayatan hubungan antar
manusia di tentukan dalam jaringan struktural atas dasar status sosial yang
dimiliki oleh seseorang. Di sini peranan organisasi amat ditekankan. Lain
halnya dengan paguyuban. Jaringan hubungan personal menjadi ciri utama. Di sini
setiap orang mendapatkan penghargaan sebagai pribadi. Semangat padha-padha (kesemartabatan) mendapatkan
penekanan. Pemenuhan kebutuhan bagi yang membutuhkan dijalankan dengan semangat
gotong-royong (kerjasama tanpa
imbalan uang). Segalanya ditata dengan kemasan yang bernuansa religius. Setiap
warga yang baik tidak akan mengadakan perhelatan lebih dari sekali dalam satu
tahun. Pelanggaran terhadap prinsip ini disebut ora ilok (melanggaran tabu). Semua pelanggaran tatanan bersama
dipercaya akan membuat sing mbaureksa
(roh penjaga dusun) marah. Paguyuban memang menjadi aspek penentu enetrgi
rohani di samping keheningan batin.
0 comments:
Post a Comment