Pada umumnya orang akan maklum bahwa
penyakit dapat bersahabat dengan kaum lansia. Bahkan ada penyakit-penyakit yang
dianggap sebagai bagian degeneratif bagi lansia seperti kolesterol, asam urat,
dan gula darah. Kaum lansia pun tidak akan heran dan merasa wajar kalau
mengalami penyakit yang disebut degeneratif. Tetapi, sekalipun mengatakan
“Sudah lansia, kok. Biasa aja kena diabet dan kolesterol”, tidak sedikit yang
mengalami perasaan berat untuk menjalani yang disebut diet.
Soalnya
Sudah Terlanjur Biasa
Diet adalah tindakan tidak menyantap
yang menjadi musuh bagi penyakit yang diderita. Dari pengalaman saya, hal itu
akan enak saja kalau itu bukan menjadi kebiasaan. Sebagai orang yang menderita
hipertensi sejak usia 21 tahun, saya diminta untuk mengurangi daging bahkan
menjauhi jeroan. Di hadapan dokter
saya dengan tegas dan mantap bilang “Ya, siap laksanakan”. Tentu saja itu bukan
soal bagi saya. Dalam sejarah hidup saya baru bisa menyantap daging ayam ketika
usia sudah tigapuluhan tahun. Pada masa puasa Katolik saya justru makan daging
ayam sehari dua kali. Bagi saya ini adalah perjuangan berat karena yang namanya
daging dan segala organ binatang adalah hal yang amat jauh dari selera lidah.
Tetapi masa puasa adalah masa menjalani mati raga. Tujuan utama mati raga masa
puasa adalah untuk membuat makin mesra dengan Tuhan dan makin enak bergaul
dengan siapapun. Di dalam pergaulan terutama dalam bertamu, saya merasa kerap
membuat kecewa tuan rumah. Saya selalu tidak menyantap lauk daging dalam jamuan
makan. Dengan demikian kalau dokter hanya minta untuk mengurangi makan daging,
tidak makan pun tidak soal bagi saya.
Yang menjadi soal adalah kalau diet itu
berkaitan dengan santapan yang menjadi kebiasaan. Saya mengalaminya ketika
dalam tubuh saya positif terkena penyakit gula darah. Ketika dokter bertanya
“Sering makan gudeg?”, saya jawab “Ya”. “Sekarang jangan” dokter omong dengan
enteng tetapi membuat rasa dalam dada seperti tersayat karena gudeg sungguh
menjadi firdaus bagi lidah saya. “Bakmi?” “Ya”. Bakmipun dinyatakan sebagai
iblis, padahal itu sahabat karib yang selalu siap jadi penghibur harian.
Sesudah itu dokter memberikan ukuran-ukuran nasi yang harus disantap. Padahal
untuk saya nasi goreng menjadi favorit yang sepiring penuh pun belum memberi
kepuasan. Dengan demikian saya sungguh mengalami diet karena saya harus
menjauhi menu atau berbagai menu yang sudah menjadi kebiasaan santapan. Dan itu
menjadi amat berat karena menyangkut menu-menu yang menjadi favorit bahkan
persediaan harian. Tanpa itu rasanya belum makan. Sekalipun sudah ikut makan
dalam sebuah pesta dan bahkan pesta prasmanan dan menyantap tidak sedikit,
ketika pulang melihat warung bakmi dan nasi goreng saya mudah berhenti jajan
mengikuti ajakan lidah berjumpa dengan pasangan tercintanya. Di sinilah saya
menjadi bagian dari kaum diet yang punya kata mutiara “Aduuuuh ..... nasib
orang yang harus diet”.
Untung
Ada Lentera Iman
Kebetulan saya memiliki kebiasaan
membawa apapun, baik-jelek mulia-memalukan, menjadi omongan dalam hati dengan
Tuhan. Dari omongan beraroma keluhan muncul cahaya kecil yang mengingatkan saya
pada kata-kata Kitab Suci.
Lukas
9:23
Jujur saja, bagi saya untuk makan dengan
berbagai aturan sungguh menjadi hal yang ribet. Maka, ketika dokter menjelaskan
ukuran gram dan ini itu untuk nasi dan lain-lainnya, saya berkata “Apa untuk
orang diabet tidak ada menu yang bebas saya makan tanpa memikirkan aturan?”
Dokter meminta saya untuk menghubungi bagian gizi. Dari bagian gizi saya
mendapatkan leaflet yang berisi
berbagai macam menu yang bisa dimakan dan yang berbahaya bagi orang diabet.
Ternyata yang menjadi larangan amat sedikit dibandingkan yang bebas bisa
disantap. Saya menemukan untuk yang kena gula darah ada banyak macam sayuran
dan buah yang bebas disantap. Saya berpikir asal banyak menyantapnya pastilah
sudah membuat kenyang. Namun ada hal yang berkaitan dengan diri saya dalam hal
makan. Sejauh ini saya tidak doyan sayuran dan buah-buahan. Dalam hal buah saya
hanya doyan pisang ambon yang kata ahli gizi mengandung kadar gula cukup
tinggi.
Ketika saya merasa amat enggan untuk memulai makan sayur, tiba-tiba
saya teringat kata-kata Yesus “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal
dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.” (Luk 9:23) Dengan
mengingat ayat ini saya menyadari bahwa makan sayur dan buah adalah jalan salib
riil. Tetapi ini untuk ikut Yesus. Yesus menjalani salib sampai wafat, dan itu
adalah jalan mengalami kemuliaan kebangkitan. Maka nekadlah saya menyantap
sayuran tiga kali sehari. Lauknya biasa. Meskipun dengan pelan, tetapi saya berjuang
untuk sampai terasa kenyang. Enam hari badan saya terasa lemas. Tetapi pada
hari ketujuh ada kesegaran mulai menyusup tubuh. Dan ..... tak terasa saya
mengalami kesegaran. Itu menjadi kebiasaan baru dalam hidup saya. Sayuran
adalah santapan harian. Nasi hanya masuk dalam mulut sebulan sekali atau dua
kali. Dalam bulan-bulan berikut saya merasa jauh lebih segar dibandingkan
dengan beberapa tahun sebelumnya. Inikah anugrah kebangkitan?
Kejadian
2:16-17
Padahari Kamis tanggal 28
November 2019 saya mendapatkan tamu. Dari omong tentang diet berkaitan dengan
penyakit yang diderita, dia mengatakan kerap gagal menjalaninya. Saya mencoba
men-sharing-kan pengalaman saya
dengan terang Lukas 9:23. Tetapi dia tetap berkata bahwa itu hanya dilakukan
oleh orang-orang khusus. Untuk kebanyakan orang diet hanya terjadi pada saat perasaan
sakit datang. Tetapi ketika merasakan enak, diet berhenti dan kembali makan
yang seharusnya menjadi pantangan.
Saya bertanya kepada tamu itu “Soalnya
kamu mau ikut Tuhan tidak?” yang langsung dijawab “Ya jelas”. “Kalau mau ikut
Tuhan ya harus berani tidak ikut bujukan setan yang hanya akan menjerumuskan
pada yang salah” kata saya. Tiba-tiba pikiran saya melayang ke peristiwa ketika
Tuhan menciptakan manusia. Di dalam Kitab Suci dikatakan TUHAN Allah memberi
perintah ini kepada manusia: "Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan
buahnya dengan bebas, tetapi pohon
pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya,
sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati." (Kejadian
2:16-17) Ternyata yang menjadi larangan itu sedikit sekali dibandingkan dengan
yang bebas untuk disantap. Setiap diet selalu hanya untuk menu tertentu. Yang
boleh dimakan masih jauh berlipat banyak. Saya juga mengatakan bahwa kita
adalah manusia dan bukan binatang. Binatang selalu hanya bisa makan makanan
tertentu dan berkemampuan tertentu. Manusia bisa belajar dan berlatih banyak
hal termasuk dalam makan. Dengan diet kita mendapatkan kesempatan untuk menjadi
manusia baru dengan kebiasaan baru. Yang mengancam kebaruan demi damai sejatera
adalah setan yang menggunakan pucuk lidah untuk selera tertentu. Untuk ikut
Tuhan kita harus memaksa pucuk lidah kita taat pada kehendak-Nya dalam
perkembangan situasi hidup kita yang kena penyakit tertentu.
Puren, 30 November
2019