“Kanyata
rama taksih kados tigang dasa wulu taun kapengker, nggih?” (Ternyata rama
masih seperti 38 tahun yang lalu, ya?) demikian kalimat terakhir yang dikatakan
oleh seorang pengacara mengomentari sambutan yang baru saja saya sampaikan. Itu
terjadi pada Rabu malam 30 Oktober 2019 di Lingkungan Manjung, Paroki Maria Assumpta
Klaten. Pada waktu itu saya ikut menghadiri misa yang dipimpin oleh Rm. Ipung,
seorang pastor dari Paroki Gondang. Ini adalah Misa Peringatan 1 Tahun Bapak
Paidi, ayah Bapak Rabimin yang biasa menjadi peserta program Novena Domus
Pacis. Di tengah-tengah acara istirahat, ketika para hadirin menikmati sajian
konsumsi, saya diminta memberikan sambutan sesudah sambutan dari seorang tokoh
masyarakat yang bertindak sebagai wakil keluarga.
Pada
Mulanya Terasa Biasa
Terhadap komentar bahwa saya masih seperti
38 tahun yang lalu, saya hanya tersenyum. Itu adalah macam komentar yang kerap
saya dengar muncul dari orang yang sudah kenal saya dan lama tidak berjumpa.
Saya memang pernah menjadi pastor Klaten pada tahun 1981-1982. Bahwa saya
“masih seperti dulu” mudah saya dengar dari beberapa kalangan yang pernah
mengalami kebersamaan kegiatan dengan saya. Yang bisa saya tunjuk adalah mantan
anggota kor kanak-kanak Kalasan (1978-1980), muda-mudi Kring Ambarrukmo (1974),
umat Paroki Salam (1983-1988), umat Paroki Ignatius Magelang (1990-1998), umat
Paroki Muntilan (1990-2010), dan para relawan-relawati penggerak anak dan
remaja (1994-2010).
Sejauh saya tangkap, komentar “masih
seperti dulu” terjadi ketika mereka melihat penampilan saya. Itu dapat
merupakan tampilan saya dalam berbicara di hadapan umum. Tetapi tampilan itu
juga terjadi ketika berjumpa baik ketika mereka bertamu di Domus Pacis Puren
maupun kala ada even tertentu seperti melayat. Komentar “masih seperti dulu”
sering juga terungkap dalam kata-kata “rama tidak berubah”.
Padahal
Sudah Amat Berubah
Tiba-tiba komentar yang muncul di
Manjung pada Rabu malam 30 Oktober 2019 menyeruak renungan pagi saya pada Kamis
31 Oktober 2019. Bayangan-bayangan orang-orang yang memberi komentar senada
juga menggerayangi rasa hati. Kemudian bergema pertanyaan “Benarkah aku masih
seperti dulu?” Sebenarnya ini adalah pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban.
Yang tampak dalam layar benak saya adalah seorang Bambang calon imam yang
berjalan sana-sini masuk dalam kelompok-kelompok suara ketika ada latihan Kor
Kanak-kanak Kalasan. Tampak juga seorang pemuda bersepeda mendatangi
rumah-rumah penggerak Kring Ambarrukmo. Bahkan tampilan Rm. Bambang yang
meloncat-loncat ketika melatih para penggerak anak dan remaja juga terlihat
jelas. Itulah Rm.Bambang nun di masa dulu. Biar pincang tetapi lincah. Bahkan
ketika berada di Manila, Filipina, selama dua tahun (1998-1990) dia biasa
berjalan kaki ke tempat-tempat berjarak jauh. Sepeda biasa dan sepeda motor
bukan barang sulit utuk dikendarai. Mobil manual bukan matic pun disopiri
ketika berkelana antar paroki, antar keuskupan, bahkan antar pulau.
Tetapi kini? Hal-hal yang di atas sudah
jauh dari realitas saya. Kaki sudah tidak dapat menopang untuk berjalan.
Memang, kadang-kadang kalau terpaksa saya dapat berjalan tetapi dengan bantuan
krug (tongkat penyangga). Tetapi sejak jatuh dua kali dan harus operasi dan
opname, kini saya lebih diwarnai oleh mobilitas dengan kursi roda. Sepeda
genjot langsung sudah di luar kemampuan. Badan sudah jauh lebih gembrot
dibandingkan ketika dulu masih aktif. Kacamata sudah menebal dengan silinder.
Bahkan mata kanan sudah tidak dapat diandalkan untuk melihat. Hal lain yang
tampak jelas adalah rambut yang sudah didominasi dengan warna putih. Itu baru
hal-hal yang tampak. Belum lagi kalau dilihat dari realitas penyakit yang
ngendon dalam tubuh. Penyakit-penyakit ini telah mengubah kebiasaan menu makan
saya. Nasi goreng, bakmi, dan gudeg yang dulu menjadi warna utama, kini diganti
dengan sayuran dan buah yang dulu jauh dari selera saya.
Mengapa
Saya “Seperti Dulu”?
Bagi orang yang sudah masuk ke dalam
golongan kaum tua bahkan lanjut usia menjaga tampilan agar tampak “masih
seperti dulu” barangkali memang banyak menjadi kerinduan. Di kalangan kaum
perempuan tua dan lansia banyak yang menggunakan alat-alat kosmetik khusus
untuk menyembunyikan tanda-tanda ketuaan dan kelansiaan. Menyemir rambut
menjadi hal yang jamak terjadi tidak hanya di antara kaum perempuan. Laki-laki
tua dan lansia juga tidak sedikit yang tampil dengan rambut mudanya sebagai
hasil penyemiran. Pada pokoknya upaya menggarap tubuh dan organ-organnya agar
tampak “masih seperti dulu” menjadi hal yang melanda banyak kaum tua dan lansia
agar tak hanya tampak masih muda tetapi juga bisa tampil bersaing dengan kaum
muda. Barangkali kebanggaan rambut putih sebagai tanda kebijaksanaan sudah
tidak masuk paradigma kehidupan orang jaman now.
Mengingat saya ikhlas-ikhlas saja dengan
kondisi saya dengan tiga bulan lagi berumur 69 tahun, saya terdorong untuk
berpikir apa yang membuat saya mendapatkan kesan “masih seperti dulu” dari pada
umumnya yang dulu pernah bergaul dan mengenal. Saya kemudian teringat kata
orang-orang yang sempat memberikan penjelasan mengapa saya “masih seperti dulu”.
Secara spontan saya kerap mengucapkan kata-kata “Kalau kamu bilang aku masih
seperti dulu, itu artinya kamu katarak”. Mendengarkata-kata itu mereka malah
tertawa terbahak-bahak. Saya kemudian bilang “Sekarang saya sudah expired”. Kemudian saya menyebut hipertensi, asam urat,
kolesterol, trigliserida, dan diabetes sebagai tim penyakit yang numpang di
tubuh. Saya juga bicara tentang kursi roda yang menjadi sahabat mobilitas. Mata
sudah tidak setajam dulu. Kesulitan menggunakan WC dan kamar mandi yang tidak
seperti fasilitas Domus Pacis Puren juga saya ceriterakan. Dan masih ada
beberapa untuk memperteguh kondisi tubuh saya yang tidak setegar dulu. Terhadap
kata-kata itu, saya kerap menghadapi komentar langsung semacam “Tetapi rama
tetap bersemangat seperti dulu” ..... “Tetapi rama tetap segar” ..... “Tetapi
lucunya tidak hilang” ..... “Tetapi keceriaannya tidak hilang”.
Dari komentar-komentar semacam itu saya
menangkap yang menghadirkan kesan “masih seperti dulu” dalam diri saya amat
berkaitan dengan suasana relung hati. Saya memang merasa lebih bahagia
dibandingkan dengan ketika masih menjalani dinas. Saya tidak merasa kehilangan
kedudukan dengan pensiun dan tinggal di rumah tua. Makin masuk ke usia lanjut
tidak membuat saya mengalami rasa sepi terpisah dengan sanak-saudara dan
teman-teman yang dulu pernah bersama-sama aktif. Sekalipun 92,00% lebih banyak
mengalami kesendirian di dalam kamar, sehingga amat sangat berlawanan dengan
kebiasaan pergi sana-sini di kala masih dinas, saya tidak merasa menjadi orang
terisolasi. Entah bagaimana, saya lebih bisa secara leluasa omong apapun dengan
Tuhan dalam hati. Banyak hal yang masuk dalam pikiran, perasaan, dan keinginan
justru menjadi bahan omongan dengan Tuhan dalam hati. Kebetulan saja saya
mendapatkan pencerahan dari spiritualitas Santa Theresa dari Kalkuta yang
menempatkan keheningan sebagai poros kehidupan beriman. Kebetulan saja saya
diwarnai oleh proses kerohanian Jawa NENG
(dari kata Jawa meneng yang berarti
diam), NING (dari wening yang berarti hening), NUNG (dari dunung yang berarti paham), NANG
(dari menang atau wenang yang berarti kemampuan bertindak).
Dengan demikian suasana diam dalam kamar memungkinkan saya mengalami
keheningan.
Tentu saja berkaitan dengan kesendirian diam dalam kamar yang
berkembang menjadi keheningan, hal ini terjadi karena dalam banyak hal saya
mengomongkannya dengan Tuhan. Di sini saya sangat diwarnai oleh kata-kata Tuhan
Yesus “Tetapi
jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah
kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang
tersembunyi akan membalasnya kepadamu.” (Mat 6:6) Berdoa secara tersembunyi
bagi saya adalah omong-omong atau kontak dengan Tuhan dalam hati. Asal terbiasa
membawa apapun dalam hati, saya yakin bahwa saya sudah berada dalam bimbingan
Roh Kudus, karena pada dasarnya setiap orang adalah “bait Roh Kudus” (1Kor
6:19). Dengan sikap seperti ini saya juga merasa dapat meneladan Bunda Maria
yang kalau berhadapan dengan peristiwa “menyimpan segala perkara itu di dalam
hatinya dan merenungkannya.” (Luk 2:19) Dengan suasana hati seperti ini
tampaknya saya dapat miliki iklim yang membuat saya berkiblat pada Tuhan dan
menghayati Injil atau sukacita ilahi (band Mrk 1:15). Dalam keadaan apapun,
enak dan tak enak serta baik dan buruk, saya mendapatkan hati ceria. Dan kalau
hati dikuasai keceriaan, maka saya dimungkinkan menghayati amanat Tuhan "Pergilah
ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.” (Mrk 16:15)
Mungkinkah keceriaan batin
adalah landasan utama yang membuat orang memiliki tampilan “sama seperti dulu”?
Puren,
1 November 2019
0 comments:
Post a Comment