diambil dari http://www.unio-indonesia.org ditulis oleh admin pada Sel, 17/04/2018 - 21:16
TENTANG GEMBALA YANG BAIK
Dalam Yoh 10:11-18 Yesus mengibaratkan diri sebagai gembala bagi kawanan dombanya. Sebagai gembala, ia takkan lari bila ada serigala menyerang domba-dombanya. Tidak seperti orang upahan yang tak bertanggung jawab. Ia mengenal domba-dombanya dan mereka mengenalnya. Sebelum mulai membicarakan ibarat “gembala” dalam petikan yang dibacakan pada hari Minggu Paskah IV tahun B ini, baiklah dicatat bahwa dalam Injil Yohanes gagasan “gembala” sama dengan yang empunya kawanan domba. Tidak semua yang menggembalakan kawanan dibicarakan sebagai “gembala” yang dalam Injil Yohanes juga menjadi pemilik kawanan tadi.
GEMBALA YANG BAIK
Bagaimana orang yang lahir dan besar di tengah kota besar bisa mengerti bahwa tokoh panutannya ialah gembala? Atau sebaliknya, apakah ibarat itu akan dimengerti dengan benar oleh orang yang mengenal kehidupan di desa dan yang tiap hari melihat orang yang menggembalakan kambing dan menuntun kerbau? Sering terdengar anggapan bahwa pelbagai ibarat Yesus mengenai dirinya sendiri dan mengenai Kerajaan Allah mudah ditangkap orang dulu tetapi perlu dijelaskan bagi orang sekarang. Salah satu dari ibarat seperti itu ialah gembala. Apa betul demikian?
Salah satu halangan memahami ibarat “gembala” datang dari praanggapan bahwa ibarat tertentu itu mudah ditangkap oleh kelompok tertentu yang “tentunya” biasa dengan kehidupan gembala seperti umum dibayangkan. Padahal yang terjadi justru kebalikannya. Pada zaman Yesus pun ibarat gembala tidak dipakai dalam cara selugu itu. Pertama-tama karena latarnya bukan kehidupan para penggembala yang masih bisa dilihat di luar wilayah perkotaan. Latar sebenarnya ialah teks-teks Perjanjian Lama yang dikenal oleh para pendengarnya. Yesus sendiri dan para muridnya kiranya juga tidak hidup bersama kaum gembala atau berasal dari kalangan mereka. Ia memakai gagasan gembala dari teks-teks Alkitab. Bukan dari amatan mengenai kehidupan gembala sungguhan. Justru inilah yang ditampilkan Injil.
Rujukan dan ibarat yang dipakai berdasarkan teks-teks agama, yaitu Taurat, Nabi-Nabi dan Mazmur dan bukan kehidupan dari hari ke hari. Tak perlu pernyataan ini diherani. Justru dengan mendasarkan diri pada teks-teks itu pembicaraan bisa lebih umum, dan bisa dikaji, dibaca kembali dan dipetik hikmatnya.
Baik diingat pula bahwa pembicaraan Yesus dalam Yoh 10 ditempatkan Yohanes dalam konteks percakapan Yesus dengan orang Farisi (lihat bagian akhir Yoh 9:40-41), yakni kaum intelek dalam masyarakat Yahudi waktu itu. Mereka dalam Yoh 9 menguji sahih tidaknya penyembuhan orang buta sejak lahir. Rujukan pemikiran mereka ialah kitab-kitab tadi. Juga dalam Yoh 10:6 dikatakan dengan jelas bahwa Yesus berbicara dengan “mereka” – yang dimaksud ialah orang-orang Farisi tadi. Dalam Yoh 10:19 disebutkan ada orang-orang Yahudi yang mempertanyakan uraian Yesus mengenai gembala. Mereka itu sekelompok dengan orang Farisi tadi.
RUJUKAN “GEMBALA YANG BAIK”
TANYA: Yoh 10 berbicara mengenai gembala yang baik dan menerapkannya kepada Yesus. Rasa-rasanya Yohanes mendapat ilham dari Perjanjian Lama?
JAWAB: Benar! Perjanjian Lama acap kali menggambarkan Tuhan sebagai gembala yang menjaga domba-dombanya
TANYA: Maksudnya seperti Mzm 23? “Tuhanlah Gembalaku, takkan aku kekurangan...”?
JAWAB: Begitulah! Orang yang berada di dekat-Nya tak perlu merasa khawatir menghadapi bahaya. Lihat juga Mzm 28:2; 77:21; 78:52; Yer 23:3; 50:19.
TANYA: Teringat nih nabi Yehezkiel yang berbicara mengenai Tuhan sebagai gembala yang membela umat dari para gembala yang menyalahgunakan kuasa, yakni para pemimpin yang hanya memperkaya diri, tidak peduli akan penderitaan rakyat dan bahkan menghisap, berlaku kejam dan membiarkan mereka kehilangan rasa aman (Yeh 34:1-10).
JAWAB: Persis begitu, dan selanjutnya dalam Yeh 34:11-22 dikatakan Tuhan sendiri akan mengumpulkan mereka yang tercerai-berai, membebat luka, memberi rasa aman. Memang dalam seluruh bab itu Yehezkiel mengutarakan prinsip-prinsip moral sosial dan pengaturan masyarakat zamannya.
TANYA: Dapatkah dikatakan Yoh 10 menerapkan gagasan Yehezkiel tadi bagi keadaan murid-murid Yesus?
JAWAB: Ya, tetapi Yohanes juga menaruhnya dalam arah baru. Dalam Yoh 10, Yesus tidak memperlawankan diri dengan gembala yang jahat, melainkan dengan “pencuri dan perampok” (ay. 1), dengan “orang asing” (ay. 5) dan dengan “orang upahan” (ay. 12-13). Tidak dimunculkan olehnya dua macam gembala seperti pada Yehezkiel. Hanya ada satu gembala saja, yakni Yesus sendiri. Memang ada orang-orang yang diminta mengurusi domba-domba. Ada yang sungguh baik, tapi ada yang bertindak sebagai orang upahan.
TANYA: Penjelasannya?
JAWAB: Yehezkiel mengamati kehidupan sosial politik di Israel pada zaman pembuangan. Dikecamnya para pemimpin yang tak banyak berbuat bagi umat yang sedang kehilangan pegangan. Masalah yang dihadapi Yohanes berbeda. Banyak pengikut Yesus generasi pertama merasa kurang aman hidup di tengah-tengah masyarakat Yahudi. Terintimidasi.
TANYA: Jadi betulkan bila dikatakan bahwa Yohanes memakai keadaan itu untuk menjelaskan apa itu “percaya” kepada Yesus dan bagaimana mereka bisa tetap berteguh bila mereka memang memilih mau tetap bersamanya.
JAWAB: Memang Yohanes menekankan Yesus sebagai gembala yang baik untuk menunjukkan bahwa percaya kepada Yesus tidak sia-sia karena ia sendiri akan melindungi murid-muridnya dengan mempertaruhkan hidupnya. Semacam analisis teologi hidup rohani. Kelanjutan dari perkara ini ada dalam penugasan Petrus agar mengurusi domba-domba dalam Yoh 21:15-19 yang pernah beberapa kali dibicarakan dalam forum ini.
TANYA: Lalu apa arti penegasan bahwa tak ada yang dapat merenggut domba-domba dari Yesus?
JAWAB: Di situ ada pernyataan perihal mengikuti dia yang mau merujukkan kemanusiaan kembali dengan Yang Maha Kuasa, yang disebut sebagai Bapa itu. Artinya, membuat orang makin menemukan diri, makin merasa dimiliki oleh Yang Maha Kuasa dan bukan dibawahkan kepada kuasa lain. Kiasannya, gembala yang baik berusaha membuat orang makin sadar akan hal itu. Orang upahan tidak. Pencuri dan perampok menjauhkan orang dari sana. Orang yang tak dikenal juga tidak menimbulkan rasa percaya.
SALING MENGENAL
Gembala yang baik tidak akan memperlakukan kawanan dombanya secara anonim. Beberapa ayat sebelum bacaan ini menyebutkan bahwa sang gembala memanggil kawanan satu persatu (Yoh 10:3). Maksudnya, masing-masing domba dikenalinya. Mereka tidak dianggap barang kodian atau sekadar nomor belaka. Hubungan antara pemilik dan kawanan itu hubungan yang hidup. Tidak akan ada hubungan antara pemilik atau gembala dengan kawanan tadi bila tidak terjalin keadaan saling mengenal yang memberi rasa aman dan percaya.
Yohanes menjelaskan rasa saling percaya tadi dengan gagasan saling mengenali. Dalam Yoh 10:14-15 ditegaskan “Akulah gembala yang baik dan aku mengenal domba-dombaku dan domba-dombaku mengenal aku sama seperti Bapa mengenal aku dan aku mengenal Bapa dan aku memberikan nyawaku bagi domba-dombaku”. Pernyataan ini berisi ajakan agar orang jadi percaya dan merasa aman.
Ada sebuah peristiwa dalam Injil Yohanes yang dapat ikut menjelaskan hal tadi. Ketika disapa Yesus dengan kata-kata “Bu, kenapa menangis? Siapa yang kaucari?”, Maria Magdalena malah mengira sedang berhadapan dengan penjaga taman pekuburan. Tetapi ketika Yesus memanggilnya dengan namanya, “Maria!” (Yoh 20:16), maka ia langsung mengenalinya. Begitulah sapaan pribadi membuat Maria Magdalena mengenali siapa yang mendatanginya. Sapaan perorangan yang dialami dalam batin juga akan membuat orang mengenali kehadiran ilahi. Ia bukan orang yang tak dikenal yang membuat waswas. Pengalaman Maria Magdalena bisa pula menjadi pengalaman para pengikut Yesus di sepanjang zaman.
PENERAPAN
Mengikuti bukan berarti meniru-niru, melainkan meniti jalan yang dirintis oleh yang berjalan di muka. Di dalam kesadaran para pengikut Yesus, pemimpin bukanlah dia yang meniru gembala empunya kawanan tadi, apalagi mengambil alih kedudukannya sebagai pemilik kawanan. Yang diberi kedudukan memimpin juga mengikuti dia yang menyapa satu persatu tadi. Mereka ini membantu agar kawanan bisa lebih melihat siapa yang berjalan di muka. Siapa saja yang merasa diajak memimpin juga akan memberi tahu sang empunya kawanan bila ada dari antara kawanan yang tertinggal dan tak menemukan jalan. Dalam Injil lain gembala yang empunya kawanan itu dikatakan akan mencarinya sampai ketemu (Luk 15:1-7 Mat 18:12-14).
Tadi disebutkan bahwa hubungan erat antara gembala dan kawanan seperti hubungan Yesus dengan Bapanya. Apa artinya? Yang Maha Kuasa disebut Bapa karena dapat dirasa dekat dan tampil sebagai asal kehidupan. Yesus hendak mengatakan bahwa ia sedemikian dekat dengan asal kehidupan itu sendiri. Ia mengajak para pengikutnya agar berani melihat ke sana. Ketergantungan kepada Bapa bukan sikap mengandalkan kebaikannya belaka, melainkan pengakuan bahwa Dia itu sumber kehidupan. Yesus berani menyerahkan kehidupannya karena ia sadar bahwa ia takkan kehabisan, karena ia dekat dengan sang sumber itu sendiri. Maka ia dapat berbagi sumber yang tak kunjung habis itu kepada orang lain. Inilah cara Yohanes menerangkan komitmen Yesus kepada para pengikutnya.
DARI BACAAN KEDUA (1Yoh 3:1-2)
Penulis surat Yohanes ingin mengajak pembacanya mulai mengerti apa itu menjadi pengikut Kristus untuk menuju ke Bapa, untuk hidup dalam perlindungan ilahi. Inilah kebatinan yang sejati yang dapat membuat orang semakin dekat pada Yang Ilahi. Dalam alam pikiran penulis surat Yohanes, “mengenali” Yang Ilahi membuat orang dapat berbagi kehidupan dengan-Nya. Kebalikannya, “tidak mengenali-Nya” sama dengan menolak-Nya dan tidak akan berbagi hidup dengan-Nya, melainkan terkurung dalam “dunia” belaka. Dalam istilah tulisan-tulisan Yohanes, kata “dunia” rujukannya ke sana, ke keadaan yang melawan keilahian. Dan barang tentu “dunia” dalam arti itu akan lenyap, takkan bertahan.
Para pengikut Kristus masih tetap berada di dunia seperti itu, artinya masih mengalami macam-macam kekuatan yang menjauhkan dari sumber kehidupan sendiri. Ini kenyataan. Kedamaian penuh belum ada selama orang masih ada dalam kehidupan ini. Namun mereka tak usah takut. Penulis surat Yohanes menyebut para pengikut Kristus sebagai “anak-anak Allah”, artinya, yang dekat pada-Nya, pada Yang Ilahi yang bisa disebut Bapa. Dengan demikian mereka tidak dibiarkan sendiri menghadapi kekuatan-kekuatan jahat. Dan lebih dari itu, mereka kelak akan melihat Kristus yang mereka ikuti sekarang dalam keadaan yang sebenarnya, yakni dalam ujud keilahiannnya. Dan seperti ditegaskan dalam Yoh 3:2, mereka akan sama seperti dia, menjadi dekat dengan keilahian sendiri.
Salam hangat,
A. Gianto
A. Gianto
0 comments:
Post a Comment