diambil dari https://unio-indonesia.org/2020/06/12; ilustrasi dari koleksi Blog Domus
Rekan-rekan yang baik!
Pada hari raya Tubuh dan Darah Kristus tahun A ini dibacakan Yoh 6:51-58. Marilah sekadar kita tengok konteksnya. Dalam Yoh 6:25-58 Yesus memperkenalkan diri sebagai “roti kehidupan”, yakni makanan yang memberi hidup. Pengajaran di rumah ibadat di Kapernaum ini mengingatkan pada pokok mengenai “air kehidupan” yang diutarakannya kepada perempuan Samaria (Yoh 4:1-42). Pembicaraan itu memperkaya batin perempuan tadi. Demikian juga, orang-orang Yahudi diajak semakin mengenali siapa Yesus itu sesungguhnya. Dalam bagian pertama pengajarannya, Yoh 6:25-50, Yesus membuat orang-orang itu menengok kepada pengalaman mereka sendiri sambil mendorong mereka agar maju lebih jauh dan mengerti siapa dia yang sudah datang di tengah-tengah mereka. Tetapi mereka tidak memahami dan malah berputar-putar pada gagasan mereka sendiri mengenai siapa Yesus itu. Pembaca akan dapat melihat kesulitan mereka. Dalam bagian kedua, yakni Yoh 6:51-58, Yesus mengajarkan bukan saja bagaimana mengenali dia, melainkan bagaimana menerima dia. Reaksi orang-orang Yahudi yang meragukannya itu dapat menjadi cermin bagi pembaca. Apakah kita lebih condong mengikuti cara berpikir mereka yang membuat mereka tidak memahami Yesus atau lebih terbuka kepada ajakannya.
“DAGING” DAN “DARAH”
Dalam Injil Yohanes, “daging” dipakai untuk membicarakan manusia sebagai makhluk yang memiliki keterbatasan, tetapi tanpa mengikutsertakan sisi-sisi jahat. Matius, Markus dan Lukas dan juga Paulus memakai kata “tubuh” dengan arti yang sama. (Boleh dicatat, dalam tulisan-tulisan Paulus, “daging” memiliki konotasi buruk, yakni manusia rapuh sejauh dikuasai dosa; untuk pengertian ini Yohanes memakai kata “dunia”.) Dalam Pembukaan Injil Yohanes, dikatakan, Sang Sabda menjadi “daging” (Yoh 1:14), artinya Yang Ilahi itu mendatangi dunia dalam ujud manusia biasa, bahkan rapuh. Hanya dengan demikian ia dapat sungguh merasakan kuatnya kuasa yang jahat walaupun ia sendiri tidak kalah dan menjadi bagian dari kuasa itu. Ia menunjukkan bahwa manusia tidak seluruhnya dapat dikuasai yang jahat. Dengan demikian ia dapat menjadi tumpuan harapan orang banyak. Siapa saja yang kemudian mengikutinya dan bersatu dengan dia akan selamat dan mencapai hidup kekal.
Bagaimana dengan “darah”? Dalam cara bicara orang waktu itu, “darah” biasa dipakai untuk menyebut tempat nyawa. Di situlah letak kehidupan Dengan menyerahkan nyawanya – darahnya – bagi orang banyak, Yesus berbagi kehidupan dengan orang banyak pula.
Hidup Yesus berakhir pada kayu salib. Wafatnya menjadi kurban bagi penebusan orang banyak. “Daging” (kerapuhan manusia) dan “darah” (kehidupan) yang menjadi kenampakan Sabda Ilahi itu menjadi jalan penyelamatan. Bergabung dengannya berarti menempuh jalan itu. Inilah yang kemudian dibahasakan dengan siapa saja yang makan dagingnya akan mengambil bagian dalam hidup kekal. Tetapi orang-orang tidak menangkap dan saling mempertengkarkan bagaimana dia bisa memberikan dagingnya untuk dimakan (ay. 52).
Kesulitan memahami kata-kata Yesus itu disampaikan dan dijelaskan dalam petikan ini. Orang-orang sulit menerima pemberian Yesus yang sesungguhnya. Mereka ingin pemberian yang mereka maui, seperti roti atau makanan biasa yang diberikan Yesus kepada orang banyak (Yoh 6:1-14). Yesus sendiri berkata bahwa mereka mencari dia karena telah makan roti dan kenyang dan bukan karena mereka melihat dan mengerti tanda-tanda, termasuk tanda roti tadi (Yoh 6:26). Orang-orang itu tak memahami bahwa pemberian roti kepada orang banyak itu tanda bagi pemberian yang datang dari dalam diri Yesus sendiri, yakni pengorbanan diri bagi mereka. Kisah ini dapat membantu kita melihat kerugian memahami Yesus dari segi “kegunaan” belaka: mengenyangkan tapi kemudian akan lapar lagi, memuaskan keinginan mengalami mukjizat, tapi setelah itu keadaan akan menjadi biasa kembali.
ROTI KEHIDUPAN – EKARISTI
Apa yang hendak disampaikan Yesus? Bukan hanya roti yang mengenyangkan secara badaniah dan membuat orang melihat Yesus sebagai “nabi” (Yoh 6:14) yang patut diangkat menjadi pemimpin, bahkan raja (6:15). Yesus malah menghindari harapan seperti itu. Orang-orang Yahudi berpikir apakah Yesus itu Musa yang baru (bdk. Yoh 6:30-31) tokoh yang membuat orang menemukan makanan harian atau manna yang diberikan Tuhan sampai mereka memasuki Tanah Terjanji (Kel 16). Tetapi Yesus mengajak orang agar melihat bahwa yang memberi makanan dari langit itu ialah Bapanya. Lebih lanjut lagi, sekarang ini dirinyalah roti yang turun dari surga itu. Menerima dia, mempercayainya, akan membuat mereka mendapatkan roti yang memberi hidup (Yoh 6:32-40).
Orang-orang malah semakin tidak bisa melihat siapa Yesus itu. Mereka hanya bisa melihat dia sebagai anak Yusuf yang mereka kenal dari dulu (Yoh 6:42). Kepekaan batin mereka tidak berkembang. Mereka hanya mau memandanginya dengan ukuran-ukuran yang membuat mereka merasa aman: nabi, pemimpin tipe Musa, zaman kebesaran dulu, dan ketika ia mengajak mereka menengok ke arah yang lebih dalam, mereka malah berkata, lho, ini kan anak Pak Yusuf itu, mana bisa jadi pimpinan seperti kita gambarkan tadi? Kepada pembaca Injil Yohanes disodorkan ketidakpahaman orang-orang yang sudah sedemikian dekat dengan sang roti kehidupan itu sendiri. Apakah kita seperti mereka?
WARTA Yoh 6:51-58 BAGI GEREJA
Yohanes memakai pengertian “daging” (dan bukan “tubuh” seperti Injil Sinoptik dan Paulus) untuk lebih membuat kita mengerti kesamaan antara Yesus yang sedang berbicara itu dengan yang diwartakan pada awal Injil: “Dan sang Sabda itu telah menjadi manusia, harfiahnya “daging”, dan tinggal di antara kita…” (Yoh 1:14). Gereja sebagai komunitas orang beriman percaya bahwa Yesus itu ada di tengah-tengah mereka dan menghayatinya dalam bentuk ekaristi.
Yesus itu pemberian dari surga yang membawakan hidup ke dunia. Dan pemberian ini lebih luas kehidupan biasa yang beriramakan lapar, kenyang, lapar lagi, melainkan yang membawa ke kehidupan yang tak lagi dibawahkan pada perputaran itu. Bagaimana kenyataannya, tidak dikatakan dengan jelas, dan justru sulit diperkatakan. Hanya dapat dipahami dengan menghayatinya. Inilah cara berbagi hidup kekal dengannya seperti terungkap dalam Yoh 6:51 dan 58. Iman akan ekaristi menjadi cara Gereja menerima kebenaran warta Yesus itu. Sikap orang beriman berkebalikan dengan sikap mereka yang mempertanyakan bagaimana itu mungkin (ay. 52).
Mereka yang mengikuti Yesus dihimbau agar terus berusaha memberi isi nyata pada apa itu berbagi kehidupan surgawi, apa itu mengarah ke hidup kekal, menemukan roti kehidupan yang sesungguhnya di dalam hidup sehari-hari. Ini iman yang mengangkat kesehari-harian menjadi yang makin dekat ke kehadiran ilahi. Ada ajakan untuk mengusahakan agar kenyataan rohani itu berdampak pada kenyataan sehari-hari juga. Tidak disangkal adanya ketimpangan di kalangan pengikut Yesus sendiri. Ini kelemahan mereka. Tapi justru dengan menyadari sisi-sisi yang manusiawi itu orang beriman semakin dapat berharap bersatu dengan kurban persembahan Yesus sendiri. Itulah makna pernyataan “siapa yang makan dagingnya dan minum darahnya akan tinggal dalam aku dan aku dalam dia” (Yoh 6:56). Dan kurban bersama ini menyelamatkan dunia. Dalam arti ini ekaristi ialah bentuk nyata ikut serta dalam kurban penebusan tadi.
EKARISTI DAN HIDUP SEHARI-HARI
Apakah menyambut komuni sama dengan kepercayaan itu? Kalau begitu kok orang tidak jadi makin baik. Di lingkungan keagamaan mungkin semuanya baik-baik, tapi di luar di dalam hidup sehari-hari tingkah lakunya lain. Kenyataan ini memang sering kita lihat. Namun demikian, acap kali kita terlalu memandang ekaristi sebagai obat kuat rohani atau jamu kelakuan baik. Pandangan seperti itu malah menjauhkan kita dari nilai ekaristi yang sesungguhnya Mengapa? Ekaristi itu sakramen yang menghadirkan kenyataan rohani dalam diri kita. Tetapi kehadiran ini perlu diberi ruang dalam kehidupan sehari-hari pula. Lalu, bila begitu apa bedanya dengan orang yang tidak kenal akan ekaristi tapi toh berbuat baik dalam kehidupan sehari-hari. Tidak bisa kita hadapkan dua perkara ini begitu saja. Tiap orang dapat berlaku baik, dengan atau tanpa ekaristi. Dan memang manusia memiliki bakat berbuat baik. Tapi orang yang percaya akan kekuatan ekaristi akan semakin melihat dan mengakui bahwa kemampuan berbuat baik serta keberanian untuk menjadi makin manusiawi dan makin lurus itu datang dari atas sana. Bukan dari kekuatan manusiawi sendiri. Bagi orang yang percaya, kemampuan berbuat baik itu anugerah ilahi. Dan anugerah inilah yang ditandai dengan ekaristi. Dalam arti inilah ekaristi membuat kita semakin dekat dengan kehidupan Yang Ilahi sendiri.
Salam hangat,
A. Gianto
0 comments:
Post a Comment