Di rumah Pak Yanto, Daratan, pada Sabtu 9 Desember 2017 jam 09.00-11.30 ada rekoleksi untuk warga Katolik lanjut usia dari Lingkungan-lingkungan Daratan Kidul. Tema yang diambil adalah NADYAN WIS GUMETER TETEP SEGER (Walau sudah Gemetar Tetapi Tetap Segar). Rm. Bambang, yang menjadi pembicara, menghitung ada 66 orang yang hadir baik perempuan maupun lelaki.
Pengantar: Maksud Gumeter
Untuk kaum lansia kondisi gemetar dapat terjadi raga terutama tangan dikarenakan sudah buyuten. Dalam usia lanjut orang dapat mengalami kemerosotan kemampuan mengkoordinasi gerak bahkan mobilitas tubuh. Akan tetapi orang juga dapat gemetar atau mengalami krisis raga karena pengaruh kejiwaan. Sebenarnya yang tergetar adalah jiwa dikarenakan mengalami kegelisahan dan atau kekuatiran. Jiwa yang amat tergetar oleh hal-hal demikian dapat berkibat munculnya penyakit pada raga, misalnya orang dapat pusing, diare, mulas-mulas yang sebenarnya diakibatkan rasa galau dalam jiwanya. Inilah yang disebut psikosomatis (krisis badan karena kejiwaan).
Olah Pengalaman
Rm. Bambang kemudian meminta para peserta untuk hening mengingat dan merasa-rasakan kembali peristiwa yang membuat gumeter dalam dirinya. Pengalaman ini dalam langkah selanjutnya saling diceriterakan dengan teman-teman duduk di dekatnya. Ada beberapa hal yang yang kemudian muncul dalam pembicaraan pleno:
- Sebenarnya sudah siap untuk dipanggil oleh Tuhan. Akan tetapi kalau mengingat keadaan, hati masih merasa dibutuhkan oleh anak yang belum memiliki keluarga mapan. Maka jadi sering takut kalau tiba-tiba Tuhan memanggil.
- Hati sering merasa tergetar takut kalau mengingat sementara orang usia 60an gampang mengalami stroke.
- Keadaan jaman sekarang yang membuat pudar semangat tolong-menolong.
- Karena hidup dari pertanian, yang kerap membuat rasa gemetar adalah adanya hama sawah.
- Sering bertanya-tanya bagaimana dapat menjaga hidup tentram dan baik dengan menerima segalanya sehingga siap dipanggil oleh Tuhan.
Mencermati Perasaan
Dari pengalaman ternyata situasi dan kondisi seseorang, terutama di sini adalah orang Jawa, amat dipengaruhi oleh perasaannya. Yang menjadi masalah adalah perasaan itu benar atau salah. Benar dan salahnya perasaan ditentukan oleh hal yang dirasakan itu secara nyata ada atau hanya imajiner. Dalam hal mencermati perasaan, hal yang perlu disadari dasar munculnya perasaan: 1) Apakah itu berlandaskan wujud atau bentuk yang pernah muncul di masa lalu?; 2) Apakah itu berlandaskan pada cita-cita yang diinginkan terjadi di masa depan?; ataukah 3) Apakah itu yang kini memang terjadi?
Perasaan itu menjadi keinginan imajiner kalau isi perasaan ternyata merupakan kekecewaan akan hilangnya yang pernah di masa lalu. Perasaan imajiner pun juga terjadi kalau itu hanya kerinduan berlebihan akan hal yang dicita-citakan atau bahkan hanya diinginkan. Pengalaman masa lalu memang bagus kalau berfungsi menjadi kaca benggala (hikmah ajaran) untuk kehidupan sekarang. Cita-cita juga amat bernilai kalau menjadi dorongan hidup dinamis untuk pengembangan diri. Tetapi orang akan tidak mengalami kesegaran hidup kalau hanya terlela akan hal-hal yang terjadi dimasa lampau yang dalam realita sudah menghilang. Orang pun dapat mengalami frustrasi kalau pikiran dan perasaannya terpenjara oleh cita-cita tanpa berbuat sesuatu berlandaskan pada realita yang dihadapi.
Terus Bagaimana?
Dari pemahaman di atas, perasaan yang sungguh benar adalah yang berkaitan dengan hal yang saiki lan kene (kini dan di sini), yaitu realita hidup yang kini terjadi di tempat yang dihuni. Pusat perhatian adalah yang kini terjadi di sini. Dengan bantuan pengalaman hidup masa lalu (baik dari dari dan atau dari orang lain) dan gambaran yang diinginkan terjadi di masa dengan, orang dapat ngene, yaitu bertindak secara baik dan benar.
Secara praktis apa yang sudah dijalankan dalam hening dapat menjadi latihan menghadapi hal yang membuat gumeter. Dalam hening kita menyadari perasaan. Kemudian kita merumuskan perasaan dan penyebabnya yang lalu kita sampaikan dalam omong-omong dengan teman. Dari sini kita sadar atau tidak sadar akan mengambil jarak dengan apa yang kita rasakan. Perasaan itu menjadi hal atau obyek yang dapat kita pikirkan dalam ketenangan. Kita tidak dikuasai oleh perasaan tetapi menguasainya.
Itulah proses utama agar kita tetap segar sekalipun berhadapan dengan pengalaman yang membuat rasa gemetar. Dengan hening kita dapat nyawang rasa, menyadari perasaan sehingga yang membuat gemeter dapat menjadi titik tolak menemukan kesegaran baru lewat apa yang akan dilakukan. Kita menjadi orang yang selalu realistis, hidup sesuai dengan kenyataan.
0 comments:
Post a Comment