RABU
(Kontemplasi Peradaban)
40 hari menjelang
Paskah (Dominica Resurrectionis, Kebangkitan hari Minggu), Gereja
sedunia mengadakan Ibadat atau Perayaan Ekaristi Rabu Abu (Ash
Wednesday). Memang pada awalnya, Rabu Abu itu dikenal dengan nama Dies
Cinerum (Hari Rabu) yang adalah hari pertama masa Pra-Paskah.
Selasa, menjelang Rabu Abu dinamakan dengan Martedĭ Grasso atau
Selasa Gemuk. Dikatakan “gemuk” karena pada waktu itu pesta-pora dan
orang-orang mengadakan carnavale (Bhs Latin: cartem + levare yang
berarti mengadakan menu daging). Setelah masa suka-cita, orang masuk ke
dalam “padang gurun” untuk pantang dan puasa atau masa Prapaskah yang
menurut seruan KWI disebut sebagai “Retret Agung.”
Dalam
pikiran kita masing-masing akan bertanya, “Mengapa disebut Rabu Abu?”
Gereja perdana ternyata telah mewariskan penggunaan abu sebagai upacara
simbolis. Dalam bukunya yang berjudul “De Poenitentia,” Tertulianus
(160-220) menulis bahwa pendosa yang bertobat haruslah hidup tanpa
bersenang-senang dengan mengenakan kain kabung dan abu. Kemudian
Eusebius (260-340) menceriterakan bagaimana seorang yang murtad yaitu
Natalis datang kepada Paus Zephyrinus (wafat: 20 Desember 217) dengan
mengenakan kain kabung dan abu memohon pengampunan. Lantas, pada abad
pertengahan mereka yang menghadapi ajal dibaringkan di tanah di atas
kain dan perciki dengan abu, “Ingatlah, hai manusia, kamu dari debu dan
akan kembali menjadi debu” (Kej 3: 19).
Akhirnya, Abu
dipergunakan untuk menandai permulaan masa Prapaskah yaitu masa
persiapan selama 40 hari menjelang Paskah. Debu tanah menunjuk kepada
kefanaan, keterbatasan, kelemahan dan keberdosaaan. Tidak ada dasar
sedikitpun untuk bermegah, apalagi saat manusia menghadapi penderitaan,
malapetaka dan kesedihan. Untuk menanggapinya dibutuhkan sikap rendah
hati dan mohon pengampunan, sebab “Allah adalah pengasih dan panjang
sabar…” (Yun 4: 26).
Ketidaklayakan manusia di hadapan
Allah itu sudah tercermin dalam tradisi Romawi Kuno. Dikisahkan bahwa
pasukan Romawi yang berhasil meluluhlantakkan sebuah kota itu, berparade
dengan barisan pasukan lengkap dengan senjata mereka. Yang unik adalah
bahwa selalu saja ada seorang budak yang menguntit dan meneriakkan
kalimat, “Memento mori!” – Ingatlah akan kematianmu – berulang-ulang
kepada sang Jendral Romawi yang sedang merayakan kemenangan. Kata
memento mori itu merupakan peringatan supaya sang Jendral tersebut
tidak terperangkap dalam identitas semu yang dapat membuat orang lupa
diri. Ritus yang sama juga terjadi ketika pemahkotaan seorang Paus.
Pada upacara tersebut seorang rahib yang tidak menggunakan alas kaki –
sambil membawa seutas tali besar yang dibakar dan ketika apinya padam,
ia berseru, “Sancti Peter, sic transit gloria mundi” – Bapa suci,
demikianlah kemuliaan dunia itu akan lenyap.
Sekali lagi, “Tidak ada
alasan untuk bermegah diri” (1 Kor 3:22). Harta milik kita juga
bersifat sosial. “Di dalam milik kita, terdapat hak orang miskin,” kata
Thomas Aquinas (1225-1274) dan hak milik kita pun berhenti jika
berhadapan dengan orang miskin yang kelaparan. Seorang bijak pernah
pernah berkata “After the game, the king and the pawn go into the same
box.” Atau seperti sebuah cerita pendek yang ditulis oleh Leo Tolstoy
(1828-1910) yang mengatakan bahwa pada akhirnya tanah yang dibutuhkan
oleh manusia adalah ukuran 200 cm x 80 cm. Lantas kita bertanya, “Untuk
apa bermegah diri?”
Yesus Kristus menghendaki sebuah “puasa hati”
dengan menyoyak hati, bukan pakaian (Yl 2:13) dan tidak ada
kemunafikan dari padanya. Maka tidak mengherankan jika Yesus bersabda,
“Jika berpuasa janganlah muram mukamu seperti orang munafik…” (Mat 6:16). Sikap batiniah lebih dipentingkan dari pada sikap lahiriah (wajah
murung karena berpuasa atau memakai kain kabung). Dalam berpuasa ini,
Paulus telah mengajarkan kepada kita, “Aku mau mati terhadap diri
sendiri dan hidup bagi Tuhan” (Rm 6:8).
Senin, 03 Maret 2014 Markus Marlon
n.b. Sudah dipublikasikan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment