Sebenarnya soal ini terlontar pada hari Minggu 28 Mei 2017. Ketika itu Rm. Bambang diminta oleh Tim Kerja Pendampingan Lansia Paroki Kelor, Gunung Kidul, untuk mengisi Temu Lansia. Pertemuan terjadi di aula Panti Asuhan Santo Thomas Ngawen yang diasuh oleh para suster Abdi Kristus (AK). Sekitar 150 orang warga Katolik lanjut usia (lansia) hadir. Dari berbagai soal yang masuk dalam sesi tanya jawab, ada satu yang menyangkut gambaran kehidupan dalam panti yang menampung kaum lansia. Soal ini ditanyakan oleh seorang bapak yang kemudian memunculkan tanya jawab dengan Rm. Bambang. Sebetulnya proses tanya jawab terjadi dalam bahasa Jawa. Dalam tulisan ini Rm. Bambang menyusun kembali tanya jawab itu dan menggunakan bahasa Indonesia.
Rama, saya mau tanya. Sebenarnya baik atau tidak kalau seorang lansia masuk Panti Wreda?
Rm. Bambang
Maaf, pak. Apakah boleh tahu, mengapa bapak menanyakan hal itu?
Bapak
Sebenarnya saya ingin masuk rumah tua. Tetapi anak-anak saya menentang. Padahal saya tidak akan meminta beaya dari mereka. Saya punya uang pensiun sehingga saya dapat membayar dengan uang sendiri.
Rm. Bambang
Mengapa anak-anak bapak menentang?
Bapak
Mereka merasa malu kalau orang tua masuk panti jompo. Merasa takut dikira tidak mengurus ayahnya yang sudah dudha.
Rm. Bambang
Berapa anak sekarang tinggal bersama bapak?
Bapak
Saya hanya sendiri, rama. Sebenarnya saya memiliki beberapa anak yang kesemuanya sudah berkeluarga. Mereka tinggal di Jakarta. Maka saya mengurus segala kebutuhan sendiri. Saya memang juga biasa ikut kumpulan Lingkungan dan dusun. Tetapi orang-orang yang sebaya dengan saya sudah menghadap Tuhan. Kalau kumpul hanya berjumpa dengan yang rasanya sebaya dengan anak-anak bahkan cucu-cucu saya. Jujur saja, saya kerap merasa tidak menangkap omongan-omongan mereka.
Rm. Bambang
Pak, apakah tak ada salah satu anak dapat pulang serumah dengan bapak?
Bapak
Penghidupan mereka ada di Jakarta. Maka tak ada yang mau tinggal di dusun Gunung Kidul. Mereka pulang paling-paling hanya pada hari besar.
Rm. Bambang
Oooo .... Kalau begitu bapak berhadapan dengan gambaran tradisional Jawa tentang keluarga. Yang disebut keluarga itu adalah trah yang meliputi sanak-saudara baik dekat maupun jauh yang masih memiliki hubungan darah karena keturunan sosok tertentu. Pada zaman dulu keperluan satu keluarga bahkan satu orang menjadi urusan satu trah atau klan. Sikap bersaudara luas ini juga terjadi dalam hubungan ketetanggaan sehingga dengan bergotong-royong masyarakat dapat memenuhi kebutuhan keluarga bahkan seseorang warganya. Semangat gotong-royong baik dari trah maupun hubungan ketetanggaan kemudian menyusut bahkan banyak menghilang ketika yang disebut keluarga kemudian lebih berat pada hubungan serumah suami dan istri serta anak-anak. Tekanan penghayatan keluarga besar beralih ke keluarga kecil. Zaman terus berubah hingga kini yang disebut era globalisasi yang membuat orang untuk berjumpa tidak harus bertatap muka. Alat-alat elektronik seperti HP membuat orang yang amat berjauhan dengan perbedaan waktu dan ruangan dapat omong-omong seperti duduk-duduk di pos siskamling padahal hanya lewat telepon genggam. Keadaan hidup seperti ini membuat orang dapat secara leluasa mengurus kesibukannya sendiri-sendiri. Apalagi pada zaman kini orang harus bekerja menanggung kehidupan sendiri dan pasangan serta anak-anaknya. Bahkan orang-orang yang terikat hubungan suami-istri dan anak-orang tua pun dapat tinggal berpisah tempat tinggal karena pekerjaan dan tempat belajar atau kuliah. Maka hidup serumah pun dapat terjadi tidak menjadi kerutinan sehari-hari.
Bapak
Rama, yang serumah saja pada jaman sekarang juga dapat sulit ketemu, lho. Setiap orang serumah dapat mempunyai kegiatan sendiri-sendiri.
Rm. Bambang
Naaah, itulah! Maka orang-orang yang menjadari situasi dan kondisi zaman kini, kalau mempunyai orang tua yang lanjut usia sudah berusaha menitipkannya di rumah-rumah tua. Memang, masih banyak kaum lanjut usia yang merasa "dibuang atau disingkirkan" karena harus berada di panti. Banyak dari mereka yang tidak menyadari bahwa di rumah sendiri pun juga banyak "di biarkan sendiri" sehingga kerap merasa disepelekan. Tetapi, tampaknya kini mulai muncul kesadaran di kalangan kaum lanjut usia, yang merindukan punya banyak teman, masuk di rumah tua. Beberapa bulan lalu saya memimpin rekoleksi semalam sehari yang pesertanya kebanyakan kaum tua dan lanjut usia. Ada seorang ibu tua yang enerjik. Ketika saya tanya alamat tempat tinggalnya, ternyata beliau menjadi salah satu warga rumah tua yang diselenggarakan oleh salah satu Konggregasi Bruder di Jawa Tengah. Beliau berasal dari Jawa Timur. Anak-anak sudah terpencar di banyak tempat. Beliau bukan berasal dari keluarga miskin. Tinggal di rumah tua bagi ibu itu membuatnya tetap dapat hidup bersama dengan orang lain. Bahkan ibu itu masih dapat ikut kumpulan-kumpulan Gereja. Kadang-kadang anak-anak atau sanak saudara ada yang berkunjung. Kalau liburan dan anak-anak kembali ke rumah asal, beliau juga ikut berlibur. Pada zaman sekarang banyak panti-panti terurus dengan baik. Di Surakarta Kevikepan juga mempunyai satu rumah tua. Yayasan Sosial Soegijapranata, milik Keuskupan Agung Semarang, juga menyelenggarakan beberapa rumah tua. Ada tenaga-tenaga profesional yang mengurus. Rumah-rumah tua milik Gereja ini tidak memungut beaya mahal bahkan tak sedikit yang tak mampu membayar. Saya pun adalah salah satu anggota dari rumah tua untuk rama-rama praja Keuskupan Agung Semarang. Tinggal di rumah tua tidak harus menunggu sampai memiliki kondisi lemah dan harus dilayani dalam segalanya. Justru ketika masih memiliki kesegaran dan sedikit kemampuan, tinggal di rumah tua dapat menghayati kegembiraan yang tak kalah dengan ketika masih aktif menjalani dinas. Kita masih dapat bergaul luas dan masih dapat ikut ambil bagian urusan bersama sedangkal apapun kadarnya.
0 comments:
Post a Comment