diambil dari https://www.carmelia.net/index.php/artikel/tulisan-lepas/1085
Pengantar
Betapa
pentingnya kita membedakan arti “keheningan” (silence) dan “kesunyian”
(solitude). Sepintas lalu keduanya nampaknya sama, padahal keduanya amat
berbeda, sekaligus keduanya tak terpisahkan. Hubungan keduanya terletak
pada keheningan atau silentium adalah unsur hakiki dari kesunyian.
Tanpa keheningan tiada tercipta kesunyian. Demikian juga, kesunyian
tidak akan tercipta tanpa keheningan. Maka, bila keheningan tercipta,
terwujudlah kesunyian. Dalam kesunyian, Allah bekerja secara leluasa,
dan secara total kepada jiwa. Jiwa pun secara aktif, sadar, dan kreatif
dalam sikap yang pasif, terbuka terhadap bimbingan Roh Kudus dan ia
setia melaksanakan apa yang dikehendaki Allah. Bila seorang terbuka
terhadap bimbingan Allah dalam kuasa Roh-Nya, maka ia pun akan mencapai
persatuan cinta kasih dengan Allah dalam Kristus. Simaklah apa yang
dikatakan S. Paulus, Anak Allah adalah semua orang yang dibimbing oleh
Roh Allah (Rm 8: 14). Sejak saat itu, ia hanya “hidup tersembunyi bersama Kristus di dalam Allah” (Kol 3:3).
Makna keheningan dalam Hidupku
Ada beberapa hal pokok yang perlu kita perhatikan dalam penghayatan keheningan.
1. Keheningan dalam penghayatan pribadi: Keheningan itu susah-susah gampang!
Sebelum saya mensharingkan pengalaman saya tentang keheningan, kiranya pertanyaan yang patut diajukan ialah “Sudahkah saudara menghayati keheningan secara radikal, konsekuen dan kontinu?”. Tentu
saja, saya mengalami keheningan, namun kalau ditanyakan kualitas
keheningan, saya masih harus terus bertekun, menghayatinya dan
mendalaminya. Saya sadar tidak mudah untuk menghayatinya, sebab
seringkali saya jatuh bangun, apalagi saya cenderung untuk banyak omong,
suka usil dan seringkali menggoda, guyon, mengejek orang, ya supaya
suasana agak hidup. Mudah-mudahan tidak ada yang tersinggung. Karena
itu, menurut hemat saya, untuk mengalami keheningan, saya harus belajar
menghayatinya. Itulah sebabnya, pemahaman yang baik tentang keheningan,
akan sangat membantu untuk menghayatinya, dengan demikian dapat pula
mengalaminya dengan baik. Untuk mengalami keheningan, seseorang harus
belajar menjawab pertanyaan berikut ini, “Apa itu keheningan?”.
2. Arti Keheningan dalam hidupku.
Dalam
arti longgar, keheningan amat diperlukan bagi hidup religius pada
umumnya, bahkan kaum awam. Dalam arti tegas, keheningan amat penting,
mutlak, wajib, tidak dapat tidak ada, harus dihayati semua orang beriman
yang mengaku “frater CSE”. Apalagi “unsur keheningan” hendaknya
mewarnai komunitas-komunitas CSE (lh. Statuta Asosiasi Publik CSE, no. 19; bdk. Pedoman Hidup CSE, pasal 35).
Di luar itu, untuk menghindari eksterm meremehkan keheningan, “bidaah karya sosial”,
yaitu segerombolan orang yang mengaku “karyaku adalah doaku”, padahal
ada beda tegas antara doa dan karya. Doa adalah jiwa dari karya dan
karya akan semakin kosong melompong tanpa doa yang otentik. Maka benar
yang dikatakan S. Yohanes dari Salib, Pujangga Gereja dari Karmel, dalam
“keheningan akan menciptakan karya kerasulan Gereja yang
berlimpah-limpah, bila dibandingkan dengan segala pelayanan aktif tapi
melupakan unsur keheningan yang hanya akan menghasilkan sedikit saja
buah-buah rohaninya” (bdk. Madah Rohani, bait 28, no. 8).
Sebaliknya, kita juga perlu menghindari ekstrem mendiamkan orang, artinya
dengan dalih menjaga keheningan, kita sengaja mendiamkan orang karena
konflik batin tertentu. Hal ini patut dihindari sebab menimbulkan
pertikaian dan hidup komunitas yang tak sehat serta yang paling penting
melawan cinta kasih, jadi suatu dosa melawan Allah sendiri.
Oleh sebab itu, kita perlu memahami arti keheningan secara benar, seimbang, dan tepat. Ada tiga tahap keheningan (Pedoman Praktis CSE, no. 32).
Pertama, Keheningan lahir.
Kendati diperlukan tiadanya lagi suara-suara di sekitar kita, tetapi
yang terpenting ialah belajar untuk tutup mulut, khususnya pada waktu
“silentium agung” sesudah ibadat sore hingga sesudah makan pagi.
Meskipun di luar waktu itu, keheningan mesti dijaga sebab “dalam banyak
bicara terkandung banyak dosa” (lh. Regula Karmel, no. 21). Demikian juga S. Yohanes dari Salib menekankan kebajikan menjaga lidah untuk menghindari “berbicara hal-hal yang baik tapi menjerumuskan orang pada siksa hukuman neraka” (lh. Nasehat-nasehat kepada Religius, no. 2 dan Nasehat untuk Berjaga-jaga, no. 8-9).
Kedua, keheningan batin. Ketekunan
dan keseimbangan dalam penghayatan keheningan lahir akan membawa kepada
keheningan dalam bidang budi, ingatan dan kehendak. Dalam tahap ini,
tidak sekedar “jaga mulut” tapi lebih dalam lagi, yaitu pentingnya
keutamaan iman, pengharapan dan cinta kasih (bdk. Marie Eugene, I Want to See God, hlm. 420-431).
Ketiga, keheningan ilahi. Inilah
keheningan, ketenangan yang didamba jiwa-jiwa yang murni hatinya di
hadapan Allah. Mereka telah mengalami “perjumpaan dengan Allah, Sang
Keheningan Sejati” dalam lubuk jiwa yang terdalam. Inilah persatuan jiwa
dengan Allah. Jadi, benar apa yang dikatakan seorang teolog hidup
rohani Marie Eugene, “keheningan adalah buah kekudusan sekaligus
keheningan adalah sarana untuk mencapai kesucian hidup” (Ibid., hlm. 418).
3. Penghayatan dan Pengalaman Keheningan dalam Hidupku.
Dengan
pemahaman yang jelas, benar dan tepat tentang keheningan. Saya pun
belajar untuk menghayatinya. Pada kenyataannya, dalam permulaan hidup
membiara, karena masih semangat, saya tekun menghayatinya. Tetapi
seiring dengan berjalannya waktu saya agak kendor dengan praktek
penghayatan keheningan. Akibatnya, hidup rohani agak kacau, penghayatan
hidup komunitas semakin runyam, sampai akhirnya kurang memperhatikan
hal-hal ini, saya jatuh dalam kelalaian besar, akibat kurang peka dan
malas menghayatinya. Kini, belajar dari pengalaman jatuh-bangun selama
hidup membiara kurang lebih 12 tahun ini, mengingat betapa pentingnya
keheningan dalam hidupku, dan dalam keheningan kita terlindung dari
banyak dosa dan kejahatan, maka saya mulai belajar dari saat ke saat,
dari waktu ke waktu untuk menghayatinya. Selain itu, tidak kurang
pentingnya ialah peran sesama saudara dan pelayan atau pembimbing rohani
untuk selalu mengingatkan, sebab manusia sering lupa dan cenderung
untuk meninggalkannya. Saya bersyukur, bahwa “pengalaman adalah guru
yang terbaik” sehingga bersama dengan komunitas, saya mau menghayatinya
dengan baik.
4. Penghayatan dan Pengalaman Keheningan dalam Pelayanan.
Dengan
kesetiaan dan ketekunan dalam penghayatan keheningan secara pribadi,
dengan sendirinya akan mengalir dalam pelayanan kepada umat Allah. Ada
perbedaan mendasar antara pentingnya unsur keheningan dalam pelayanan
dengan pelayanan tanpa persiapan apapun. Saya pernah “ceroboh” sewaktu
menjalani tahun pastoral, karena banyak tugas, saya lupa untuk
mengadakan persiapan batin. Akibat kurangnya perhatian atas unsur
keheningan ini, pelayanan saya nyaris gatot (alias gagal total). Di
tengah pelayanan saya “blank” (lupa isi materi yang akan disampaikan).
Akibatnya, umat menjadi bingung dan saya tidak melayani dengan baik.
Amat jauh berbeda bila kita memperhitungkan aspek keheningan dalam
pelayanan. Hidup doa pribadi amat menunjang karya pelayanan. Dengan
persiapan materi dan pendalaman materi dalam suasana keheningan dalam
“doa, meditasi dan kontemplasi”, pelayanan saya semakin berkualitas.
Umat merasakan manfaatnya, khususnya hidup iman mereka makin mendalam
dan hidup rohani semakin bertumbuh. Selain itu, saya pun belajar untuk
bertumbuh serta peka terhadap bimbingan Roh Kudus, khususnya karunia
sabda pengetahuan dan pembedaan roh. Satu hal yang menakjubkan yang
tidak akan pernah saya alami bila saya melayani tanpa persiapan.
Singkatnya, dari pengalaman tersebut, saya berusaha semaksimal mungkin
untuk mempersiapkan materi pelayanan dan yang terpenting ialah membawa
dan mendalaminya dalam suasana kontemplatif dan memohon perlindungan
Santa Perawan Maria dari Gunung Karmel. Jadi, semuanya kita baktikan
demi kemuliaan Allah, dan keselamatan jiwa-jiwa.
5. Peranan Keheningan dalam Perayaan Liturgis
Sebenarnya
tema ini belum cukup saya dalami. Tapi satu hal yang amat menentukan
ialah kiranya tidak jauh berbeda dengan apa yang saya tuliskan
sebelumnya. Sebab, dengan mempersiapkan diri dalam keheningan “doa,
meditasi dan kontemplasi”, maka kita akan melengkapi apa yang kurang
dalam persiapan materi, misalnya dalam tugas lektor, pemazmur, ataupun
solis, khususnya keheningan amat penting dalam tugas seorang imam dalam
membawakan homili atau khotbah dalam perayaan Ekaristi. Saya teringat
dengan teladan Beato Yohanes Paulus II dan Padre Pio, bagi kedua orang
kudus besar ini, perayaan liturgis khususnya Perayaan Ekaristi adalah
“perayaan pertama kali dan selalu baru”. Maka, kedua orang kudus selalu
mempersiapkan dalam keheningan doa dan kontemplasi sebelum mereka
merayakan Ekaristi. Saya ingat sekali bagaimana Beato Yohanes Paulus II
sebelum merayakan misa, ia biasa berlutut lama sekali di bawah kaki
salib sebelum merayakan misa kudusnya. Tidak mengherankan ketika ia
merayakan misa, “dia terasa khusuk, khidmat, dan memancarkan energi
ilahi” dan umat pun mengalami buah-buah rohani yang berlimpah. Demikian
juga Padre Pio yang menandakan hidupnya hingga saat uzur dengan “berdoa
tak kunjung putus-putusnya”. Pagi dini hari, ia sudah bangun dan ia
berdoa, bahkan misa yang berlangsung selama 3 jam tak meninggalkan kesan
bosan di antara umat yang menghadirinya. Belum lagi, Padre Pio menambah
ucapan syukurnya dengan berdoa, berpuasa dan ia terus berdoa “rosario”
dalam pelayanan pengakuan dosa. Tak mengherankan Allah amat berkenan
kepada orang-orang kudusnya, sehingga umat pun merasakan “kasih dan
mukjizat Allah” dengan perantaraan doa dan pelayanan Padre Pio. Jadi,
perayaan liturgi khususnya perayaan Ekaristi sungguh menjadi “sumber dan
puncak” kehidupan Gereja dan umat Kristiani apabila dalam persiapan,
pelaksanaan dan evaluasi dijalankan dengan penuh semangat dalam
keheningan yang bermakna dalam iman, pengharapan dan kasih. Seperti kata
Romo Pareira, “Memang persiapan materi itu penting, tetapi biarkan Roh
berbicara secara bebas pada saatnya.” Dengan demikian, dalam keheningan
Allah berbicara kepada kita, dan pada saat pelayanan Allah “menyapa
umat-Nya” melalui kita, alat-alat kecil-Nya. Betapa pentingnya
keheningan yang akan mengajar segala sesuatu kepada kita, bahwa segala
dan seluruhnya adalah demi untuk menyenangkah hati Tuhan Yesus dan
keselamatan jiwa-jiwa.
6. Langkah-langkah Praktis Penghayatan
6. dan Pengalaman Keheningan dalam Hidup Pribadi, Pelayanan dan Liturgis.
Bagian
ini bukanlah penghayatan orang lain, melainkan apa yang telah saya
jalankan dan terbukti “berbuah” dalam kehidupan pribadi dan pelayanan
serta dalam perayaan liturgis.
Pertama, keheningan menjadi praksis hidup sehari-sehari. Bukan
karena takut kepada pelayan tetapi pertama-tama karena “Takut akan
Allah”. Bukankah kata orang bijak, “Takut akan Allah adalah permulaan
kebijaksanaan” (bdk. Ams 1:7). Pada akhirnya, keheningan menjadi
kebutuhan. Karena itu, saya menghayatinya secara khusus pada waktu
silentium agung, kendati di luar waktu-waktu itu, saya tetap menjaganya
kendati tidak seketat saat silentium agung.
Kedua, mempersiapkan materi pelayanan dalam suasana doa.
Pengalaman hidup mengajarkan bahwa kita harus belajar dari orang bijak
dan orang kudus supaya tidak jatuh dalam pengalaman yang sama (bdk. 2
Tim 3: 15-17; 1 Kor 10: 6-10). Maka, sebelum mempersiapkan, mulai
mempersiapkan, dan sesudahnya, saya memohon bantuan dan kuasa Roh Kudus
dalam doa dan kontemplasi. Bahkan saya sering memperdalamnya teks-teks
Kitab Suci yang bersangkutan dalam Lectio Divina.
Ketiga, sebelum pelayanan saya hening di hadapan Tuhan. Terbukti
dengan mengadakan persiapan batin, khususnya doa batin selama ½ - 1 jam
dan menyerahkannya dalam perlindungan Bunda Maria sebelum pelayanan,
entah itu dalam adorasi, misa, dan sebagainya, saya dapat melayani
dengan baik. Bahkan saya pun terbuka terhadap dorongan dan karunia Roh
Kudus. Tak mengherankan pelayanan saya dan komunitas semakin berkembang,
sebab dalam segala sesuatunya “Roh Kudus yang berkarya”. Maka, benar
apa yang dikatakan oleh Regula Karmel, “Dalam keheningan dan pengharapan terletak kekuatan” (no. 21) dalam
melayani Allah dan umat-Nya. Tak lupa sesudah pelayanan, saya mengucap
syukur dan limpah terima kasih kepada Dia yang telah mempercayakan
pelayanan ini dan rahmat dan kasih-Nya yang telah saya alami dan juga
dialami oleh umat-Nya.
Penutup
Memang saya akui bahwa menghayati dan mengalami keheningan memang tidak mudah. Apalagi bila tujuannya adalah untuk memuliakan Allah dan bagi keselamatan jiwa-jiwa. Belum lagi banyak godaan, pertanda bahwa si jahat tidak senang dan berusaha menghambat karya Roh dalam diri dan serikat kita. Namun, bila kita sungguh percaya pada kuasa Roh Kudus, maka dengan menghayati dan mengalami “keheningan yang bermakna”, maka kita akan memperoleh keselamatan dalam Kristus dan memenangkan banyak jiwa demi untuk menyenangkan hati-Nya.
0 comments:
Post a Comment