diambil dari https://cantik.tempo.co/read/news Selasa, 07 Maret 2017 | 15:30 WIB
Ilustrasi panti jompo. Shutterstock.
TEMPO.CO, Jakarta - Terkait video lansia yang disiksa di panti, banyak netizen menyalahkan anak sebagai orang yang tidak tahu terima kasih kepada orang tua. Tega-teganya menitipkan ibu yang telah melahirkan dan membesarkan ke panti. Sehingga akhirnya menderita seperti itu.
Evita Djaman, psikolog yang peduli pada masalah-masalah lansia, meluruskan pandangan itu. Dijelaskannya, hanya ada dua tempat penampungan lansia, yaitu panti sosial (dari pemerintah) dan panti jompo berbayar.
Lansia yang masuk ke panti sosial adalah mereka yang telantar atau diketahui tidak punya keluarga. Panti sosial yang aktif berperan memasukkan lansia-lansia telantar ini. Sedangkan bila lansia berada di panti jompo berbayar – atau bahkan sekadar day care lansia, jatuhnya bukan penelantaran atau yang seperti dipikirkan banyak orang, bentuk “membuang” orang tua.
“Ketika seorang lansia masuk dan tinggal di penitipan, hampir pasti disertai keinginan lansia itu sendiri,” ungkap Evita.
Tentu ada kesepakatan-kesepakatan yang sudah dibicarakan dan disetujui antara pihak orang tua yang sudah lansia ini dan keluarga atau anak-anaknya. Toh, tidak ada kekuasaan, baik dari panti maupun keluarga lansia, untuk menahan atau mengurung seseorang, termasuk lansia, di panti.
“Kalaupun ada yang seperti itu, anak yang menitipkan dengan tujuan membuang, jumlahnya sangat, sangat sedikit,” tegas Evita.
Kultur di Indonesia sangat mendukung lansia tinggal sendiri atau bersama keluarga. “Inilah kelompok lansia yang jumlahnya paling banyak dan dengan permasalahan yang kompleks,” ujar Evita.
Berbeda dengan lansia yang memilih tinggal di panti karena antara lain telah mengetahui kelebihan dan kebaikan tinggal di panti, seperti perawatan yang baik (mulai dari kesehatan fisik hingga psikologi), teman-teman yang seusia, serta kesibukan dengan beragam aktivitas, lansia yang tinggal sendiri atau bersama anak (dan cucu) lebih rentan stres atau depresi akibat gesekan dengan lingkungan, termasuk keluarga sendiri, baik sengaja maupun tidak.
“Banyak lansia yang tinggal di rumah merasa tidak berdaya atau merasakan benar ketidakberdayaan sebagai orang yang tidak lagi muda,” ujar Evita. Kebanyakan disebabkan komentar-komentar orang terdekat sendiri yang justru melemahkan.
“Kalau khawatir, anak bisa membantu, misalnya memberi sopir, uang jajan, dan lain-lain,” saran Evita. Hal ini jauh lebih baik ketimbang sekadar melarang, bahkan dilengkapi embel-embel kekhawatiran berlebih, seperti nanti Papa sakit, nanti Papa kecapekan, Mama cuma bergosip saja kalau kumpul, nanti pulang kemalaman, sudah di rumah saja jangan ke mana-mana, dan sebagainya. “Ini menyakitkan orang tua,” tegas Evita.
TABLOIDBINTANG
0 comments:
Post a Comment