Disajikan oleh Rm. Bambang dalam Novena Domus 3 September 2017
Kerinduan Alami?
Tampaknya, kedudukan
terpandang memang menjadi dambaan setiap orang paling tidak orang Jawa. Seorang
bapak yang sedang sakit dan ada dalam rapat inap di rumah sakit, ketika ditanya
seorang pengunjung “Pripun
kawontenanipun, pak” (Bagaimana keadaan kondisi bapak?), berkata dengan
penuh keceriaan “Pancèn tesih sakit.
Nanging mboten napa-napa. Toh anak kula pun dados tiyang” (Memang masih
sakit. Tetapi tak apalah. Toh anak saya sudah jadi orang). Anak bapak tersebut
baru saja menerima tahbisan imamat.
Status sosial bagi masyarakat
Jawa sadar atau tidak sadar memang menjadi kerinduan lubuk hati. Kisah-kisah
dalam pewayangan dan kethoprak bahkan dalam sinetron-sinetron masa kini juga
banyak menghadirkan kesuksesan hidup karena dapat terangkat derajat sosialnya
entah karena jabatan di institusi tertentu entah karena masuk dalam keluarga
golongan terhormat dan kaya. Ini bukan hanya untuk kepentingan seseorang
sebagai individu. Kesuksesan individual sebagai orang terpandang di tengah
masyarakat diyakini juga membawa peningkatan hidup keluarga. Kerinduan ini
sudah ditanamkan pada anak sejak masih kecil balita. Lagu Lela Ledung dapat menjadi contoh. Kata-kata yang dibuat tebal dan
miring dapat diperhatikan dengan seksama:
Tak
lela lela lela ledhung cep menenga aja pijer nangis
Anakku
sing bagus rupane yen nangis ndhak ilang baguse
Tak
gadhang bisa urip mulya dadiya priya kang utama
Ngluhurke
asmane wong tuwa dadiya pandekaring bangsa
Wis
cep menenga anakku kae mbulane ndadari
Kaya
ndhas buta nggilani arep nggoleki cah nangis
Tak
lela lela lela ledhung cep menenga aja pijer nangis
Tak
emban lendhang bathik kawung
Yen
nangis ibu mundhak bingung
Seorang penulis mengatakan
bahwa pada dasarnya setiap orang Jawa ingin menjadi raja atau imam. Sekalipun
secara sosiologis ada golongan massa rakyat (wong cilik) dan golongan elite (priyayi),
pembedaan ini tidak seperti golongan kasta dalam agama Hindu. Penggolongan itu
berkaitan dengan pengembangan hidup seseorang. Orang-orang dari golongan wong cilik dapat sukses menjadi golongan
priyayi, sementara golongan priyayi dapat terpuruk jatuh masuk
menjadi bagian golongan wong cilik.
Hal ini tergantung apakh seseorang memiliki atau masih memiliki status
terhormat karena jabatan atau kekayaan atau tidak.
Dalam hal ini masih ada
catatan yang terjadi paling tidak di kalangan masyarakat Jawa tradisional.
Meskipun tanpa jabatan atau kekayaan, ada hal lain yang membuat orang memiliki
status yang harus dihormati, yaitu hormat pada senior. Orang yang karena usia
atau garis silsilah menjadi golongan tua yang harus dihormati oleh golongan
muda. Bahkan orang-orang yang menduduki status kepemimpinan kerap disebut “Yang
dituakan”.
Zaman Apa Ini?
Satu hal yang dirasakan oleh
kebanyakan kaum tua dan usia lanjut saat ini adalah sikap umum terutama
golongan usia di bawah 50 tahun. Pada umumnya mereka tidak merasa terikat lagi
dengan yang disebut extended family,
yaitu keluarga besar sedarah atau sesilsilah. Bahkan terhadap orang tua atau
nenek kakek sendiri mereka sudah tidak menomor satukan. Katanya, pada zaman ini sebenarnya ada
beberapa macam generasi dalam kehidupan masyarakat. Kutipan tulisan di bawah
ini dapat menjadi salah satu penjelasan (lihat http://www.kompasiana.com/rasawulansariwiduri):
“Berbicara
tentang jenis generasi, terdapat empat generasi dalam kehidupan kita. Generasi
pertama adalah generasi senior yang merupakan generasi dengan kelahiran sebelum
kemerdekaan Indonesia 1945. Dapat dikatakan generasi senior berumur minimal
sama dengan hari raya kemerdekaan Indonesia yaitu 66 tahun. Mereka adalah
generasi yang paling kolot dan tentunya masih belum banyak tercemar oleh
lingkungan yang bersifat negatif.
Generasi kedua
adalah generasi Baby Boomers ( 1946 – 1964 ). Generasi ini lahir dengan
dilatarbelakangi oleh tingkat kelahiran yang tinggi pasca perang dunia
kedua. Perkiraan jumlahnya adalah 30 persen dari total populasi. Dengan icon
’kami’, generasi ini mempunyai karakter sebagai seorang pahlawan,
berorientasi pada kenyamanan dan merespon terhadap petunjuk pencapaian. Namun
generasi ini telah mulai beradaptasi dengan lingkungan sekitar sehingga telah
mengalami musimnya rock and roll ala Elvis Presley, mengenal televisi,
melakukan demonstrasi, dapat membedakan ras-nya masing-masing, dll. Acapkali
generasi baby boomers disebut sebagai generasi penentu karena setiap
individu telah mulai menentukan perubahan untuk masa depan walaupun masih dalam
skala yang sangat kecil.
Generasi ketiga
adalah generasi X ( 1965 – 1976 ). Dengan jumlah 17 persen dari keseluruhan
populasi, generasi ini mampu survive diantara dua generasi sebelum dan
sesudahnya yang berbeda karakter. Icon yang diusung generasi X adalah ’
saya ’. Budaya yang dominan adalah budaya pop dan adanya ledakan informasi yang
besar. ’ Kerja untuk hidup’ adalah falsafah yang dianut oleh generasi X
dan timbulnya pertentangan dengan struktur yang bersifat tradisional
menyebabkan generasi ini mulai mengenal dan membuat usaha mandiri. Gelombang
informasi yang besar membuat perang imajinasi dan kreativitas mulai bermunculan
di berbagai bidang. Tidak terkecuali dengan bisnis. Iklan yang kreatif
bertebaran di televisi dan ini mendorong pencitraan terhadap merek selain
peningkatan penjualan tentunya.
Terakhir adalah
generasi Y ( 1977 – sekarang ).Jumlahnya yang 30 persen dari total populasi,
sukses mengusung icon ’semua’. Dapat dikatakan generasi Y berhasil menciptakan Breakthrough
dalam berbagai bidang. Generasi ini mengalami peningkatan dalam integritas,
dibesarkan dalam era persatuan, optimis, serta era daur ulang. Selain itu
respon terhadap ide baru yang dilatarbelakangi oleh filosofi, pengalaman, pesan
multi generasi sangat cepat terjadi. Yang dapat saya rasakan adalah begitu booming-nya
era MTV di akhir tahun 2000-an. Dandanan, gaya hidup & pergaulan begitu
tersihir oleh endorser pembawa acara MTV. Tidak heran generasi ini terkadang
meng-klaim dirinya sebagai ’generasi MTV ”. Hal ini sebetulnya tidak
dapat dipungkiri karena pengaruh televisi terhadap perubahan karakter yang
menuju kebebasan sangatlah besar.
Melihat dari
kacamata yang lain, karakter yang dimiliki oleh tiap generasi menimbulkan teori
khusus dalam motivasi. Ya, teori X dan Y yang dikemukan oleh Douglas McGregor
pada tahun 1960-an. McGregor merumuskan konsep bahwa pemimpin yang menyukai
teori X cenderung untuk menyukai gaya kepemimpinan yang penuh dengan kekuasaan.
Di satu sisi, teori X menekankan pada gaya kepemimpinan yang lebih demokratis.
Dikaitkan dengan karakter pada tiap generasi, maka proses pengendalian pada
pekerja dengan pemimpin teori X adalah pengawasan penuh dan pengancaman agar
dapat bekerja sesuai dengan keinginan perusahaan. Sedangkan pemimpin dengan
teori Y memberikan kebebasan sepenuhnya pada pekerjanya untuk menyumbang ide
baru dan berpikir kreatif. Salah satu contoh penganut teori X adalah BUMN
sedangkan penganut teori Y adalah perusahaan swasta yang ada di Indonesia.
Yang menarik
bahwa kajian Aljabar dalam matematika dapat pula dikaitkan dengan karakter tiap
generasi. Ilmu Aljabar mendefinisikan X adalah bilangan yang telah diketahui
dan Y didefinisikan sebagai bilangan yang belum diketahui. Berdasarkan definisi
dari X, karakter generasi X adalah cenderung statis karena telah mengetahui hal
yang harus dilakukan. Sedangkan generasi Y cenderung untuk mencari tahu lebih
banyak dan bersifat lebih kritis. Merujuk pada persamaan matematika, Y adalah
kesatuan dari berbagai bilangan X yang merupakan variabel persamaan dengan
jumlah tidak terbatas. Jadi dapat anda bayangkan bahwa begitu banyak hal-hal
baru dan berbeda yang dapat dihasilkan dari generasi Y.
CemputBar, 20
Agustus 2011 ( 1.37 AM )
Untuk generasi masa kini
KEMADIRIAN menjadi ciri utama. Kalau generasi X saja sudah sudah memulai dengan sikap “Saya”,
bukan seperti generasi sebelumnya yang menyadari diri sebagai “Kami”, generasi
Y tidak kerasan dengan hal-hal lama bahkan dengan yang baru sebentar dihadapi.
Mereka suka hal-hal baru dan berbeda.
Padahal kaum tua dan usia lanjut adalah peninggalan generasi pertama dan
kedua. Generasi jadul (jaman dulu).
Sekalipun pernah menduduki jabatan-jabatan penting, dan sekalipun punya posisi
senior, kaum tua dan usia lanjut pada umumnya sudah tak memiliki kuasa dan
wibawa dari generasi masa kini. Mereka sudah tak dapat memerintah dan mengatur
bahkan menjadi golongan yang diatur. Padahal kaum tua dan lanjut usia
diwarnai oleh warisan alami relung hati merasa sungguh diorangkan kalau
dihormati. Sementara untuk generasi masa
kini yang disebut memanusiakan golongan mantan dan tak produktif adalah membuat
terurus hidupnya. Urusan ini dapat diserahkan pada tenaga kerja seperti
pramurukti atau pada panti-panti penyedia jasa pengurusan orang jompo. Berhadapan dengan kondisi seperti ini kaum
tua dan usia lanjut dapat jatuh dalam jiwa merasa tak terperhatikan bahkan
dapat terperosok dalam penyakit jiwa post
power syndrome.
Harus Bagaimana?
Sebenarnya dalam zaman
tekhnologi informatif yang membuat masyarakat jadi mendunia, setiap orang mau
tidak mau dihadapkan pada banyak sekali hal. Di sini orang dituntut untuk
selalu harus memilih yang baik bagi dirinya sendiri. Situasi ini tentu makin
membuat menguatkan kondisi kaum tua dan usia lanjut yang pada umumnya pada
umumnya berada dalam kesendirian. Barangkali tantangan yang berat bagi kaum tua
dan usia lanjut adalah bahwa empat golongan generasi sebagaimana dijelaskan
dalam kutipan di atas bukan merupakan semacam “kasta generasi”. Dalam kasta
orang terkotak dalam golongan tertentu. Tetapi untuk kehidupan seseorang pada
zaman kini, empat macam generasi itu menjadi pilihan. Orang ditantang untuk
menentukan diri akan berpola model generasi mana dengan segala keuntungan dan
konsekuensinya. Hal ini dinyatakan dalam catatan akhir penjelasan tentang empat
macam generasi di atas (lihat http://www.kompasiana.com/rasawulansariwiduri):
Terakhir, satu
catatan yang saya ambil dari salah satu buku karya Rhenald Kasali, bahwa
karakter dari tiap individu dapat diperbaharui. Tanpa memandang generasi manapun.
Hanya dengan niat dan dorongan yang kuat, kita dapat melakukan up to date
karakter ke arah yang lebih baik. Sehingga pertanyaannya bukan lagi ”generasi
manakah anda ?” namun menjadi ”generasi manakah yang anda inginkan?”.
Bagi orang Kristiani beriman
adalah mengikuti Kristus dalam perkembangan situasi hidup dan budaya setempat.
Pada masa kini orang hidup dalam perkembangan zaman global yang memudahkan
apapun mendunia . Kebahagiaan orang tidak dikaitkan dengan posisi sosialnya.
Orang dapat menemukan kebahagiaan karena kemampuannya untuk sendiri menentukan
sikap. Kemampuan olah kesendirian itulah yang akan menentukan orang mengalami
kebahagiaan. Punya kekuasaan dan atau kewibawaan atau tidak, hal ini sudah
tidak menjadi pegangan hadirnya hati bahagia penuh keceriaan.
Dalam hal olah hidup,
sebenarnya kaum tua dan usia lanjut masih tersentuh oleh warisan pola menemukan
hidup yang tata titi tentrem karta tur
raharja (tertata penuh kesadaran dan ketentraman sehingga sejahtera dan
damai). Waris pola ini dirumuskan dalam kata-kata NENG NING NUNG NANG. Dalam
cakrawala sebagai pengikut Kristus barangkali itu dapat dimengerti sebagai
berikut:
- NENG. Ini dari kata meneng yang berarti diam. Kemampuan hidup dalam kesendirian adalah kemampuan untuk DIAM. Dalam diam orang mengarahkan apapun yang dialami kepada Allah. Barangkali dalam kesedirian yang dijalani bukan doa tetapi nonton televisi atau mendengarkan radio atau membaca. Tetapi hatinya mendengungkan berulang-ulang misalnya kata “Tuhan”. Apabila ada yang menyentuh hati, baik menyenangkan maupun tidak menyenangkan, omongkan pada Dia.
- NING. Kata ini adalah kependekan dari wening atau bening, yang berarti hening atau jernih. Dengan diam dan terisi oleh omongan batin, orang akan mengalami hati hening dan jernih karena bebas dari limbah kegelisahan.
- NUNG. Kepenuhan katanya adalah dunung, yang berarti paham. Suasana hening sungguh membuat orang sadar atau tidak sadar memahami apa yang dikehendaki oleh Tuhan. Bukankah hidup beriman adalah sikap mengikuti kehendak Tuhan dan bukan kehendak diri? Kehendak Tuhan adalah kenyataan yang secara kongkret terjadi dalam kehidupan.
- NANG. Kata menang menjadi kelegaan hidup beriman. Bagi pengikut Kristus kemenangan sejati bukan karena mampu menguasai dan menang terhadap orang lain. Kemenangan sejati adalah kemampuan mengalahkan diri sendiri. Dengan demikian orang dapat berjalan sesuai dengan kata-kata Tuhan “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.” (Luk 9:23) Orang mengalami kelegaan hidup bukan karena bebas beban tetapi karena selalu berguru pada Tuhan. “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan." (Mat 11:29-30)
Puren, Agustus 2017
0 comments:
Post a Comment