diambil dari http://www.mirifica.net by
A. Gianto
on
Jendela Alkitab, Mingguan
Rekan-rekan yang budiman,
Injil kembali berbicara mengenai pengampunan. Kali ini, pada hari Minggu Biasa XXIV tahun A, dibacakan Mat 18:21-35. Petrus bertanya sampai berapa kalikah pengampunan bisa diberikan. Pada dasarnya jawaban Yesus hendak mengatakan, tak usah menghitung-hitung, lakukan terus saja. Kemudian ia menceritakan perumpamaan untuk menjelaskan mengapa sikap pengampun perlu ditumbuhkan (ay. 23-35). Pembaca setapak demi setapak dituntun agar menyadari mengapa sikap mengampuni dengan ikhlas itu wajar. Tapi juga yang wajar inilah yang akan membuat Kerajaan Surga semakin nyata.
Sampai Tujuh Puluh Kali Tujuh Kali
GUS: Matt, apa sih maksud “7 kali” dan “70 kali 7 kali” dalam pembicaraan antara Petrus dan Yesus?
MATT: Itu gaya berungkap orang Yahudi dulu. Ingat Kej 4:24? Menghilangkan nyawa Kain akan mendatangkan balasan “tujuh kali lipat”, tetapi kejahatan terhadap nyawa Lamekh, keturunan Kain, bakal dibalas bahkan sampai tujuh puluh tujuh kali lipat.
GUS: Kain kan bersalah membunuh Habel, adiknya, karena dengki.
MATT: Benar. Tetapi Kain kan ditandai Allah agar nyawanya tidak diganggu-gugat. Yang membunuhnya sebagai balas dendam malah akan kena hukuman balas sampai tujuh kali lipat (Kej 4:15), maksudnya sampai penuh. Lamekh juga membunuh orang yang melukainya (Kej 4:23). Memang untuk membela diri, bukan karena dengki seperti Kain. Dan siapa membalas dendam dengan mengakhiri nyawa Lamekh akan terkena hukuman yang tak terperi besarnya – tujuh puluh tujuh kali lipat – artinya, tanpa batas.
GUS: Jadi orang Perjanjian Lama mulai sadar bahwa kebiasaan balas dendam tidak boleh dilanjut-lanjutkan, dan bila dilakukan malah akan memperburuk keadaan.
MATT: Persis, ya begitulah. Kembali ke pertanyaan Petrus. Kata-katanya menggemakan upaya membatasi sikap balas dendam tadi. Bila seorang saudara menyalahi untuk pertama kalinya, ditolerir saja dah, begitu juga untuk kedua kalinya, dan seterusnya sampai ketujuh kalinya. Tapi sesudah tujuh kali dianggap kelewat batas dan tak perlu diampuni lagi! Amat longgar, walau masih tetap ada batasnya. Tetapi Yesus hendak mengatakan semua itu tak cukup. Orang mesti berani mengampuni sampai “tujuh puluh kali tujuh kali”, artinya, tak berbatas. Malah tak usah memikirkan sampai mana. Sikap pengampun jadi sikap hidup.
GUS: Kalau begitu, pengampunan tak berbatas itu kutub lain dari gagasan yang mendasari ancaman balasan hukuman yang tak berbatas seperti dalam seruan Lamekh tadi.
MATT: Tapi sebenarnya pusat perhatian Injil lebih dalam daripada mengampuni tanpa batas. Kan sudah diandaikan para murid punya sikap itu.
GUS: Lho lalu apa?
MATT: Begini, sikap pengampun memungkinkan Kerajaan Surga menjadi nyata di muka bumi ini. Itu tujuan Mat 18:23-35.
GUS: Dalam Sabda Bahagia antara lain disebutkan, orang yang berbelaskasihan itu orang bahagia, karena mereka sendiri akan memperoleh belas kasihan (Mat 5:7). Katanya begitulah cara hidup di dalam Kerajaan Surga. Bolehkah disebutkan, di muka bumi Kerajaan ini baru terasa betul nyata bila ada sikap belas kasihan satu sama lain?
MATT: Benar. Kerajaan Surga memang sudah datang, tapi baru betul-betul tumbuh dan bisa disebut membahagiakan bila yang mempercayainya juga ikut mengusahakannya. Yesus memahami sikap pengampun bukan sebagai kelonggaran hati atau kebaikan semata-mata, melainkan sebagai upaya ikut memungkinkan agar Kerajaan Surga menjadi kenyataan, bukan angan-angan belaka.
GUS: Doa Bapa Kami (Mat 6:9-13) berawal dengan seruan pujian bagi nama Allah Yang Mahakuasa sebagai Bapa dan diteruskan dengan permohonan agar KerajaanNya datang dan kehendakNya terlaksana dan permintaan agar diberi kekuatan cukup untuk hidup dari hari ke hari.
MATT: Dan baru setelah itu, dalam Mat 6:12, disampaikan permohonan agar kesalahan “kami” diampuni “seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami”. Jelas kan? Ukuran bagi dikabulkan tidaknya permintaan ampun tadi ialah kesediaan mengampuni saudara yang kita rasa menyalahi kita.
GUS: Rasa-rasanya Yesus hendak menggugah kesadaran bahwa pengampunan hanya mungkin bila disertai kesediaan seperti terungkap dalam doa Bapa Kami tadi.
Perumpamaan
Petikan hari ini juga memuat sebuah perumpamaan (ay. 23-35). Pada bagian pertama (ay. 23-27) digambarkan kebesaran raja yang pengampun terhadap hambanya yang tak dapat membayar hutangnya yang amat besar – 10.000 talenta. Dalam keadaan biasa hamba itu mesti dijual untuk menebus hutangnya, begitu juga anak dan istrinya serta seluruh harta miliknya. Tetapi ia meminta kelonggaran. Ia mohon agar raja bersabar. Dan sang raja tergerak hatinya dan malah menghapus hutang yang besar itu. Raja itu sanggup merugi karena mau sungguh-sungguh menunjukkan belas kasih terhadap hamba yang kesempitan itu.
Siapakah raja itu? Mungkin kita cepat-cepat menganggapnya ibarat bagi Tuhan Allah yang berbelas kasih. Tapi pemahaman ini tidak amat jitu. Matius sendiri memberi isyarat bahwa bukan itulah maksudnya. Pada awal perumpamaan itu, disebutkan Kerajaan Surga itu seumpama “seorang raja” (ay. 23). Dalam teks Matius dipakai ungkapan “anthropos basileus”, harfiahnya, “manusia yang berkedudukan sebagai raja” dan juga “raja yang tetap manusiawi”. Memang boleh dimengerti bahwa ungkapan itu mencerminkan gaya bahasa Semit dan “manusia” di situ berarti “seorang”, tak penting siapa. Bagaimanapun juga, hendak ditonjolkan bahwa tokoh ybs. itu orang, manusia seperti orang lain, sesama yang saudara, walau beda kedudukannya.
Gagasan di atas bisa diterapkan kepada siapa saja yang mempunyai kuasa atas orang lain. Jadi yang hendak ditampilkan ialah kebesaran orang yang berkedudukan. Makin tinggi kedudukannya makin patutlah ia menunjukkan kemurahan hati terhadap yang dibawahinya. Kan pada dasarnya sama-sama manusia. Makin beruntung makin boleh diharapkan sanggup merugi, sanggup kehilangan sebagian miliknya, sebesar apapun, agar membuat orang bisa ikut merasakan keberuntungan. Ini keluhurannya. Berapa yang dilepaskannya? Amat besar. Satu talenta nilainya antara 6.000 hingga 10.000 dinar. Dan satu dinar ialah upah buruh harian sehari. Maka sepuluh ribu talenta itu jumlah yang amat besar. Makin beruntung orang makin diharapkan dapat menyelami keadaan orang yang sedang bernasib malang. Cara berpikir demikian ditonjolkan. Mengapa? Kiranya memang ada kesadaran bahwa setinggi apapun, sekaya apapun, orang tetap sesama bagi orang lain. Tapi juga semalang apapun, seterpuruk apapun keadaan sosialnya, orang tetap bisa mengharapkan bantuan dari saudara yang lebih beruntung. Inilah yang bakal membuat Kerajaan Surga menjadi kenyataan di dunia ini juga. Ini spiritualitas Injil Matius.
Ringkasnya, bagian pertama perumpamaan itu dimaksud untuk menunjukkan bahwa Kerajaan Surga dibangun atas dasar kesediaan mereka yang berkelebihan untuk berbagi dengan yang kurang beruntung. Dimensi horisontal Kerajaan Surga digarisbawahi dengan jelas.
Pada bagian kedua muncul gambaran yang berlawanan. Hamba yang dihapus hutangnya itu tidak mau meneruskan berbelaskasihan yang dialaminya kepada rekannya yang berhutang kepadanya seratus dinar saja. Jadi hanya seperseratus dari hutangnya sendiri. Permintaan rekannya tak digubris. Bisa dicatat, tindakan bersujud dan permintaan kelonggaran rekan ini (ay. 29) sama dengan yang diucapkannya sendiri di hadapan raja majikannya tadi (ay. 26). Tetapi ia tetap tidak mau berbagi keberuntungan. Rekannya dijebloskannya ke penjara. Ada ironi. Tadi atasan bersikap longgar. Kini rekan sekerja kok malah berlaku kejam!
Dalam ay. 31 ada hal yang menarik. Rekan-rekan sekerja lain yang menyaksikan perlakuan kejam tadi menjadi sedih dan melaporkan kejadian itu kepada raja sang majikan hamba yang hutangnya dihapus tadi. Para rekan ini bukan hanya sekadar tambahan cerita. Mereka berperan sebagai suara hati yang masih peka akan keadilan, peka akan kewajiban moral. Dan kepekaan ini menjadi keberanian bersuara mengungkapkan ketidakberesan. Tapi hamba yang kejam tak mau melihat semua ini. Ia tak mau bertindak seperti tuannya. Akhirnya ia sendiri tersiksa sampai ia melunasi hutangnya yang amat besar itu. Apa kesalahannya? Ia menolak menjadi saudara bagi rekan sekerjanya. Dan lebih dari itu, ia juga menolak menjadi saudara bagi tuannya sendiri.
Arah ke Dalam dan ke Luar
Perumpamaan itu berakhir dengan perkataan berikut (ay. 35): “Demikianlah juga yang akan diperbuat oleh Bapaku yang ada di surga terhadap kamu bila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu.” Terasa gema permintaan ampun dalam Bapa Kami dan Sabda Bahagia. Keikhlasan mengampuni kiranya menjadi tolok ukur integritas murid-murid Yesus. Ini menjadi cara hidup para pengikutnya.
Petrus bertanya tentang mengampuni “saudara” – dan tidak dipakai kata “sesama”. Begitu pula perkataan Yesus di atas. Seperti disinggung minggu lalu, “saudara” memang juga sesama, tapi lebih bersangkutan dengan upaya membangun umat dari dalam daripada menggarap kehidupan di masyarakat luas. Tidak semua hal digariskan Injil walau semangatnya bisa berlaku umum. Tetapi diamnya Injil itu menjadi ajakan agar umat mencari jalan bersama dengan unsur-unsur lain di masyarakat luas agar kemanusiaan semakin pantas.
Salam,
Kredit Foto: https://www.google.com/
0 comments:
Post a Comment