Pada hari Senin 9 Desember 2019 ada tiga
orang siswa SMA Kolese de Britto datang mewancaraiku. Mereka melakukan ini
dalam rangka tugas dari pelajaran agama. Tentu saja pembicaraan lebih
ditekankan pada sejarah panggilan dan penghayatan kehidupan saya sebagai imam.
Tetapi di tengah-tengah pembicaraan muncul omongan tentang kelansiaan. Mereka
tampak tertegun ketika saya mengatakan “Saya berjuang menjadi lansia milenial”.
Gambaran
tentang Milenial
“Kamu kira yang milenial itu hanya yang
remaja dan muda” tanya saya yang ditanggapi oleh anggukan-anggukan mereka.
Kemudian saya berbicara tentang milenial dalam gambaran saya. Bagi saya
milenial berkaitan dengan zaman yang amat diwarnai oleh revolusi tekhnologi
informasi. Sistem komputerisasi berkembang amat sangat pesat sekali. Kehidupan
masyarakat pun mengalami perubahan-perubahan sehingga secara umum muncul model
4.0 dalam cari nafkah. Di sini orang-orang yang dalam mencari nafkah maunya
atau bangganya menjadi pegawai atau karyawan baik negri maupun swasta, mereka
sejatinya adalah golongan orang-orang bermental tradisional. Orang-orang
tradisional hidup dibawah jadual dan agenda yang ditentukan oleh institusi
bahkan sosok yang memimpin. Era milenial membuat orang mampu menentukan diri
dan membuat kerjaan sendiri.
Ketika masyarakat masuk kedalam era
globalisasi, banyak dikatakan bahwa yang hebat adalah yang menguasai IPTEK (Ilmu
Pengetahuan dan Tekhnologi). Orang dapat amat kagum pada sosok yang memiliki
banyak pengetahuan dan kemampuan. Dia bisa apa saja. Orang memiliki banyak
titel. Dia dapat mengerjakan banyak pekerjaan dari banyak bidang. Pada masa
kini kita dapat menjumpai banyak lulusan perguruan tinggi menjadi penganggur
dalam arti tidak menjadi pegawai. Sementara itu paling tidak kita dapat
mendengar orang-orang muda yang masih kuliah bahkan masih duduk di sekolah menengah
yang dapat meraih banyak uang dari kerja “sambilan”. Saya memang tidak tahu apa
itu star up (?) dan istilah-istilah
zaman kini seperti buka lapak. Tetapi
saya menyaksikan sosok lulusan perguruan tinggi terkenal luar negri jadi amat
kaya karena sukses sebagai boss gojek yang mampu menembus luar negri. Saya
berpikir bahwa kesejatian milenial adalah jamannya orang mampu memperhatikan
atau fokus pada yang kecil dan kemudian dengan komitmen mendalam menghidupinya.
Tekuni
yang Kecil dengan Komputer
Saya sungguh bersyukur kepada Tuhan yang
pernah menempatkan saya tinggal bersama dengan Rm. Agoeng. Dia adalah seorang
imam muda yang pada waktu itu menjadi Ketua Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan
Agung Semarang. Rm. Agoeng setengah memaksa melatih saya belajar email, FB, BB,
Blog, dan WA. Dengan tertatih-tatih saya dapat mengoperasionalisasikan komputer
untuk hal-hal itu. Rm. Agoeng juga menjerat saya untuk menulis renungan setiap
hari dan ditayangkan lewat media sosial. Ketika saya mengatakan “Kula mboten saget nyerat saé” (Saya tidak
dapat membuat tulisan tertata baik apalagi mutu), beliau berkata “Awon mboten napa-napa” (Jelek tidak
menjadi soal). Katanya yang pokok isinya. Dengan demikian, sekalipun sudah lansia,
saya mengalami pelatihan alat-alat milenial.
Dengan bekal kesediaan menjalani “yang
hanya” di depan laptop, saya merasakan hadirnya makna hidup ikut Tuhan dalam
perkembangan situasi kongkret. Saya yang secara lahiriah sudah tidak memiliki
jemaat karena bebas dinas, setiap hari merasa mendapatkan orang-orang yang
memperhatikan “khotbah dan pengajaran maya” lewat internet. Jumlahnya paling
tidak rata-rata 200 orang lho. Bagi imam lansia yang tak berkemampuan menyolok,
itu sudah menghadirkan daya ilahi yang memupuk kesegaran dan keceriaan relung
hati.
Puren, 11
Desember 2019
0 comments:
Post a Comment