Di rumah tua tempat saya tinggal pernah ada penghuni
yang sudah lupa orang-orang kanan kiri. Tentu saja dia juga seorang imam
Katolik sebagaimana penghuni lainnya. Kalau bertemu dengan sesama penghuni dia
akan bertanya “Kowé ya rama?” (Apakah kamu juga seorang rama?) Kata “rama”
adalah sebutan umum untuk seorang pastor atau imam Katolik terutama di kalangan
umat Jawa. Kemudian biasanya dia omong tentang jabatan-jabatan yang pernah
diemban. Bangunan gedung gereja tertentu juga kerap ditunjuk sebagai prestasi
dirinya. Dia memang masih ingat bahwa dirinya seorang imam. Tetapi berjumpa
dengan imam-imam lain dia sudah melupakan bahwa mereka adalah teman seimamat.
Dan yang menarik adalah cara omongnya. Bahasa Jawa ngoko (kasar) selalu mewarnai omongan dengan siapapun termasuk para
rama.
Yang sering membuat orang tertawa adalah kalau Uskup
datang berkunjung. Kebetulan sang Uskup memiliki kehalusan dalam tata bicara
dan perilaku. Beliau biasa menyapa “Rama,
pripun kabaré?” (Apa kabar rama?). Terhadap sapaan ini dia juga biasa berkata “Kowé sapa? Kowé ya rama?). Tentu saja
cerita tentang jabatan dan prestasi juga diberikan kepada Uskup. Sang Uskup
juga selalu mendengarkan dengan takzim.
Satu hal yang barangkali menjadi keheranan para
penghuni termasuk karyawan adalah sikap rama itu kepada saya. Uskup juga
melihat hal ini. Dia selalu berbicara dengan bahasa halus penuh kesopanan
kepada saya. Kalau kebanyakan rama, termasuk Uskup, berbahasa Jawa krama atau halus dengannya, sebaliknya saya selalu
menggunakan bahasa ngoko. Dia amat
hormat terhadap saya. Ketika Uskup bertanya kepada saya “Nèk kalih njenengan kok kuthuk niku pripun, ta?” (Mengapa dia
demikian kalah terhadap anda?), saya hanya tertawa.
Pada suatu saat seorang imam yang masih aktif bertamu.
Ternyata tamu ini mendengar bahwa aku amat berwibawa di hadapan rama tadi. Dia
bertanya apa resepku sehingga dia amat hormat kepada saya. Akhirnya saya
membuka rahasia dengan mengatakan “Dhèk
bola-bali dhèké takon apa aku ya rama, suatu ketika aku mendelik karo bergaya
nesu mangsuli ‘dudu!’” (Ketika dia berkali-kali bertanya apa saya juga
seorang imam, dengan memandang tajam bergaya marah kepadanya, kujawab
‘bukan!’). “Ning kena apa kok malah
hormat banget karo kowé?”(Tetapi mengapa terhadapmu justru amat hormat?)
tanyanya yang langsung saya jawab “Tak
wangsuli: AKU USKUP!” (Kujawab: AKU USKUP!).
0 comments:
Post a Comment