Pada suatu ketika saya tercenung ketika membaca dan
merenungkan kutipan Injil Lukas 17:7-10. Kutipan itu berbunyi begini:
17:7
"Siapa di antara kamu yang mempunyai seorang hamba yang membajak atau
menggembalakan ternak baginya, akan berkata kepada hamba itu, setelah ia pulang
dari ladang: Mari segera makan!
17:8
Bukankah sebaliknya ia akan berkata kepada hamba itu: Sediakanlah makananku.
Ikatlah pinggangmu dan layanilah aku sampai selesai aku makan dan minum. Dan
sesudah itu engkau boleh makan dan minum.
17:9 Adakah
ia berterima kasih kepada hamba itu, karena hamba itu telah melakukan apa yang
ditugaskan kepadanya?
17:10 Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah
melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami
adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus
lakukan."
Tentu saja permenungan saya diwarnai oleh situasi hidup yang sudah masuk
dalam golongan kaum usia lanjut. Hal lain yang cukup mewarnai datang dari
pelayanan keagamaan yang saya jalani, yaitu misa arwah. Dengan dua warna ini
permenunganku banyak mendapatkan cahaya suasana hidup senja menyongsong
datangnya suasana penghayatan tidur enak meninggalkan kesibukan sehari-hari.
Tuhan Egoistis?
Ketika membaca Luk 17:7-10 saya tahu bahwa yang terpapar di situ adalah
perumpamaan. Walau ada kata hamba enam kali (yang terakhir “hamba-hamba”) dan
tak ada kata “tuan”, tetapi benak saya mengatakan bahwa itu bicara tentang
hubungan antara “hamba dan tuan”. Ketika benak berkata “hubungan hamba dan
tuan”, ternyata hati mengartikan “hubungan manusia dan Tuhan Allah”. Di sini
saya menyadari bahwa aku, manusia, memang bagian dari karya ciptaan-Nya. Tetapi
aku termasuk gambaran jati diri ilahi (Kej 1:26-27) karena ada anugerah roh
ilahi meresap dalam diri saya(Kej 2:7). Katanya di hadapan Allah manusia adalah
makhluk kudus kesayangan ilahi (Ul 7:6). Apalagi di hadapan Yesus, saya tidak
menjadi hamba dan menjadi salah satu sahabatnya (Yoh 15:15). Kalau ada
perintah, perintah-Nya adalah perintah kasih seperti Dia telah mengasihi saya
(Yoh 15:12).
Kalau gambaran-gambaran yang membanggakan saya sebagai ciptaan yang punya
tempat khusus di hadapan yang ilahi, maka perumpamaan dalam Luk 17:7-10
menimbulkan kejutan tidak enak di dalam hati. Di situ tergambar Tuhan Allah
yang tak ambil pusing dengan kondisi orang yang sudah bekerja sesuai tugas yang
sudah diberikan kepadanya. Di situ tergambar Tuhan Allah yang hanya perintah
sesuai kepentingan-Nya sendiri. Dia maunya dilayani lebih dahulu. Bukankah ini
berlawanan dengan kata-kata Yesus “Anak Manusia juga
datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan
nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang" (Mrk 10:45)? Kata-kata ayat 9
“Adakah ia
berterima kasih kepada hamba itu, karena hamba itu telah melakukan apa yang
ditugaskan kepadanya?” bagi saya amat bertentangan dengan gambaran Tuhan Allah yang memberikan
penghargaan bagi yang telah bekerja baik (Mat 25:14-30 dan Luk 19:12-27).
Mengapa Lukas menjadi satu-satunya penginjil yang menghadirkan gambaran Tuhan
Allah seperti itu. Apakah diam-diam Tuhan Allah itu egoistis?
Tuhan Takut
Tersaingi?
Permenunganku makin membuat rasa penasaran karena memperhatikan ayat 10 “Demikian
jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan
kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna;
kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan." Masakan Tuhan
memberi nasihat agar saya jadi “hamba tak berguna”. Padahal dengan tinggal di
rumah tua para rama yang bernama Domus Pacis, saya merasa berguna. Bukankah di
antara umat Katolik sering dijumpai ucapan “Wah, setelah Rama Bambang di Domus
Pacis, rumah itu berubah jadi semarak menyenangkan”? Bukankah saya juga
berperan dalam hadirnya konsumsi makan harian dari para relawan-relawati untuk
93 kali kalau tanggal dalam bulan mencapai angka 31? Bukankah saya juga
berperan untuk pengembangan pendampingan iman kaum usia lanjut yang mewarnai
Domus Pacis? Bukankah saya ikut berperan membuat Domus Pacis tidak menjadi
tempat terpinggir, sepi, bahkan seperti tahanan?
Dari perasaan
memberontak itu, saya sungguh sulit menerima nasihat Tuhan untuk menjadi hamba
yang tidak berguna. Kalau orang-orang saja ada yang menghargai, mengapa Tuhan
menyebut saya sebagai hamba tidak berguna? Bukankah Allah itu Mahapengasih dan
Mahapenyayang? Bukankah Dia itu Sang Kasih sendiri (1Yoh 4:8)? Apa artinya “TUHAN kiranya membalas perbuatanmu itu, dan kepadamu kiranya dikaruniakan
upahmu sepenuhnya oleh TUHAN” (Rut 2:12) dan “Kamu tahu, bahwa setiap orang,
baik hamba, maupun orang merdeka, kalau ia telah berbuat sesuatu yang baik, ia
akan menerima balasannya dari Tuhan” (Ef 6:8)? Apakah dengan Luk 17:10 ternyata
diam-diam Tuhan takut mendapatkan saingan?
Lho, Tak Terhitung, Ta?
Pada suatu hari, ketika beliau masih tinggal di Domus Pacis, Rm. Agoeng
bertanya kepada saya “Pikantuk undangan
saking Museum mboten?” (Dapat undangan dari Museum?). Ternyata beberapa
hari kemudian saya membaca berita-berita FB dari Museum Misi Muntilan yang
menayangkan cerita-cerita singkat hajatan besar disertai gambar-gambar. Rm.
Agoeng sebagai ketua Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan diundang dan datang
bersama tim kerjanya. Tentu saja beliau diundang untuk membuat dokumentasi.
Jujur saja, ketika Rm. Agoeng bertanya kepada saya tentang dapat undangan atau
tidak, ketika saya menjawab “Mboten”
(Tidak), di dalam hati muncul suara “Wis
ra kepetung, kok” (Sudah tidak masuk hitungan).
Ketika saya ingat peristiwa sekilas karena pertanyaan Rm. Agoeng, saya
menyadari pandangan saya tentang hubungan dengan kerja bersama orang-orang
dekat. Bagaimanapun kalau sudah pindah tempat, hubungan dekat dengan yang
lampau akan selesai. Seorang pastor yang tidak dapat melepas kedekatan hubungan
dengan orang atau orang-orang area kerja yang sudah ditinggalkan, dia akan
menjadi sosok bermasalah. Bagaimanapun juga, orang akan mengalami kewajaran
hidup kalau mampu merasa at home
dengan orang-orang yang biasa muncul dalam kehidupan harian dimana dia tinggal.
Ketidakmampuan menerima realitas ada bersama dengan orang-orang yang
sehari-sehari dijumpai, hal itu akan membuat orang menjadi sosok bermasalah dan
membuat masalah.
Tetapi menjadi orang wajar dan mampu menikmati hidup harian dengan enak
membawa konsekuensi menjadi jauh dan tidak akrab dengan orang-orang yang pernah
dekat dan kini sudah tidak menjadi kebersamaan harian. Memang, dalam
momen-momen tertentu sehingga berjumpa dengan orang dekat masa lampau bisa
membuat suasana amat menyenangkan. Omongan-omongan yang bernuansa nostalgia
menggairahkan akan muncul. Tetapi itu hanya momental sekalipun dapat muncul
kata-kata “Saya kangen sekali”. Momen-momen seperti itu hanya seperti peristiwa
piknik melihat alam lain yang tidak ada dalam kehidupan harian. Sesudah itu
semua akan kembali ke kesibukan harian masing-masing.
Satu hal yang kemudian muncul dalam kesadaran saya, di dalam hidup harian
tak ada orang berjasa. Memang, orang yang egoistik mau enaknya sendiri akan
mendapatkan celaan. Tetapi orang yang ikut bertindak demi kebaikan bersama juga
tidak akan mendapatkan ucapan “Terima kasih” apalagi sanjungan kecuali pada momen
tertentu seperti ketika diulangtahuni atau mungkin waktu meninggal dunia. Makin
ikut berperan dia, kalau dalam perannya muncul masalah, makin dia dituntut
kerja lebih. Makin kerja karena keprihatinan demi kebaikan bersama, makin mudah
mendapat celaan ketika muncul soal. Di dalam kehidupan harian orang tidak
menghitung apa saja hasil baik dari sosok yang mengerjakan kepentingan bersama.
Sosok seperti ini akan masuk benak kebersamaan ketika muncul soal dan atau
ketidak puasan. Tetapi ketika suasana baik-baik saja “Lho, tak terhitung, ta?”
Bagaimana Dengan Lansia?
Bagaimanapun juga dengan masuk golongan usia lanjut umumnya saya tidak ikut
lagi pada derap kesibukan orang-orang aktif prokutif dan yang masih menyandang
dinas resmi. Makin tua dan lanjut usia, saya sadar akan makin masuk dalam
suasana kesendirian. Untuk orang pada umumnya, sekalipun masih serumah dengan
anak cucu, orang yang sudah usia lanjut akan tidak mudah untuk mengalami kebersamaan
duduk dan omong-omong. Pada umumnya anak dan cucu memiliki kesibukan
sendiri-sendiri. Lansia akan mengalami perhatian khusus kalau tiba-tiba
kondisinya mengkhawatirkan misalnya karena sakit. Dalam keadaan biasa, kalau
minta perhatian khusus dengan minta ini dan itu, dia dapat dicap sebagai yang banyak
merepotkan dan rèwèl. Apalagi kalau dia kemudian berbicara tentang jasa-jasa
masa lampau, lansia seperti ini bisa dikatakan masuk golongan penderita post power syndrom.
Dalam
kondisi dan situasi sudah masuk golongan lansia, berhadapan dengan yang muda
hingga kanak-kanak, saya sadar bahwa orang beriman barangkali dapat menghayati
hidup seperti muncul dalam kata-kata Simeon “Sekarang, Tuhan, biarkanlah
hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang
dari pada-Mu, yang telah Engkau sediakan
di hadapan segala bangsa, yaitu terang
yang menjadi penyataan bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi
umat-Mu, .....” (Luk 2:29-32) Lansia yang sungguh hidup dalam tuntunan Roh menyadari
bahwa peran sosialnya akan bahkan harus makin menghilang. Dia harus makin
menghayati secara mendalam kata-kata “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan;
jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Luk 1:38 band Mat 26:39)
Sebenarnya
yang diomongkan itu bukan sikap kerohanian khas untuk lansia. Itu adalah sikap
rohani yang harus dikembangkan oleh semua murid Kristus dari segala generasi.
Semua murid Kristus harus menghayati sikap perhambaan sebagaimana Dia yang
berkata “dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah
ia menjadi hamba untuk semuanya. Karena
Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan
untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." (Mrk
10:44-45) Dan yang seperti inilah yang dalam keadaan apapun dapat menghadirkan
keceriaan relung hati yang menghadirkan kegembiraan siapapun yang ada di hadapannya.
Dengan demikian saya berharap dapat menghayati kehendak ilahi sebagaimana
dikatakan oleh Santo Paulus “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah
yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.” (1 Tes 5:18)
Puren, 3 Januari 2018
D Bambang Sutrisno, Pr.
0 comments:
Post a Comment