4. Wajib Berpuasa
“Dan
apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka
mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku
berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi apabila
engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat
oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada
di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan
membalasnya kepadamu.” (Mat 6:16-18)
Bukan
Kebanggaan
Masa Prapaskah adalah masa Retret Agung. Istilah lain dari
retret adalah samadi. Di dalam olah rohani Jawa biasa disebut bertapa.
Orang-orang yang menyingkir dari pergaulan harian umum disebut pertapa
sebagaimana terjadi pada biarawan-biarawati Katolik yang menekankan kehidupan
kontemplasi misalnya yang ada di Rawaseneng dan Gedana. Secara umum pada masa seperti itu
salah satu yang biasa dijalani adalah kegiatan berpuasa. Dan kegiatan berpuasa
ini biasa dimengerti berkaitan dengan kegiatan tidak makan dan minum. Orang
yang bisa tidak makan minum pada masa tertentu atau diakui keseriusannya dalam
berpuasa sehingga akan diakui sebagai orang sungguh beragama. Karena tidak
makan minum dalam kurun waktu tidak sebentar, orang dapat mengalami kondisi
lemah paling tidak dalam tampilan ragawi. Karena tampilan seperti ini bisa
membuat orang lain tahu bahwa dia sedang berpuasa dan akan sungguh mendapatkan
pujian dan sanjungan sebagai orang yang serius beragama. Karena puasa dengan
tanda-tanda seperti itu menghadirkan kebanggaan, bisa terjadi kalau tubuh tetap
segar meski mengurangi atau tidak makan minum, orang dapat merekayasa tampilan
agar tampak berkondisi lemah. Tampilan-tampilan rekayasa seperti ini, apalagi
kalau sebetulnya tidak menjalani puasa, amat dikecam oleh Tuhan Yesus. Kegiatan
berpuasa bukanlah eksposisi kebaikan. Bahkan Tuhan Yesus menuntut agar dalam
berpuasa memiyaki rambut dan mencuci muka sehingga tampak segar walau lapar dan
haus.
Puasa
Alamiah Kaum Lanjut usia
Di dalam aturan tentang puasa ada
aturan Gereja bahwa yang berusia 60 tahun keatas bebas dari kewajiban berpuasa.
Gereja membedakan antara puasa dan pantang. Meskipun demikian secara rohaniah,
karena Kitab Suci adalah landasan dasar hidup rohani, puasa adalah kewajiban
untuk semua orang. Maka yang perlu dicari adalah bagaimana kaum lanjut usia
harus menjalani kewajiban berpuasa.
Matiraga
kembangkan “habitus baru”
Bagaimanapun juga puasa adalah
tindakan yang mengakibatkan kondisi raga terasa tidak nyaman, tidak enak, dan
tidak segar. Inilah mengapa puasa juga disebut matiraga. Puasa selalu
menyangkut segi jasmaniah. Tetapi dalam masa Prapaskah puasa dijalani dalam
rangka Retret Agung. Dan yang harus disadari adalah bahwa setiap retret, agung
atau tidak agung, adalah latihan rohani, latihan hidup dalam bimbingan Roh
Kudus. Orang beriman akan yakin dalam bimbingan Roh dia akan dinamis, selalu
baru dan diperbarui, sehingga mengalami suasana damai sejahtera dalam hidupnya.
Puasa 40 hari sebagai Retret
Agung terutama menjadi proses pengembangan diri untuk semakin mengikuti Tuhan
Yesus Kristus sesuai dengan perkembangan situasi hidup dan budaya. Dalam hal
ini kaum lanjut usia dalam puasa diajak untuk menyadari perkembangan situasi
hidupnya secara kongkret kini dan di sini. Hal-hal apa yang saat ini sudah ada
dalam keadaan baik? Hal-hal apa yang menjadikan diri ada dalam kondisi tidak
baik? Dalam proses selama 40 hari lewat berbagai permenungan dan doa dengan
terang iman selama Prapaskah, kaum lanjut usia melatih diri untuk mampu
meneladan Tuhan Yesus yang mengalami kemuliaan Paskah lewat salib, yaitu derita
dan wafat-Nya. Kalau kita sudah ada dalam keadaan baik, kita berupaya menemukan
pengembangan sikap dan tindakan apa untuk mempertahankannya. Kalau keadaan kita
tidak baik, kita berupaya menemukan perubahan dan melatih diri untuk
menghayatinya. Dengan demikian puasa dalam masa Prapaskah menjadi proses
melatih kebiasaan baru atau habitus baru
untuk menjadi orang lanjut usia yang segar ceria sekalipun lewat susah derita
selama 40 hari.
Limpahnya
penghayatan puasa
Kalau puasa juga menjadi kegiatan
matiraga, untuk hal ini kaum lanjut usia memiliki kesempatan yang amat luas.
Sesehat apapun seorang lanjut usia, secara ragawi sudah mengalami pelemahan
dibandingkan dengan usia-usia sebelumnya. Dia sudah harus mewaspadai kondisi
badan agar tetap segar. Apalagi kalau dilihat secara umum, kaum lanjut usia
sudah mengalami kerawanan fisik sehingga penyakit(-penyakit) mudah menjangkiti.
Dalam hal ini kerap muncul yang disebut dengan diet atau pantang makanan atau
minuman tertentu demi menjaga kondisi tubuh tidak dikuasai oleh perkembangan
penyakit tertentu. Tentang pantang, yang sudah lanjut usia tanpa penyakit pun
juga harus mulai mengurangi santapan ini dan itu agar terhindar dari penyakit
yang biasa menjadi idapan lanjut usia.
Diet atau pantang asupan itu
dapat dijalani sebagai tindakan berpuasa bagi kaum lanjut usia. Orang berlanjut
usia selama masa Prapaskah melatih diri meninggalkan menu yang mungkin
sebelumnya menjadi favorit tetapi kini membahayakan kondisi fisiknya. Dia
berlatih membiasakan diri menyantap makanan-makanan yang dipandang amat sesuai
untuk kebugaran tubuh sesuai dengan realitas masa kini. Ini adalah pelatihan
menghayati kebiasaan atau habitus
baru. Apalagi kalau makanan-makanan sehat untuk masa kini dulu tidak pernah
masuk dalam seleranya. Di sini kegiatan santap menu baru menjadi jalan
pertobatan karena berbalik mengikuti kehendak kebaikan. Dengan demikian,
sekalipun secara yuridis formal sudah bebas berpuasa, kaum lanjut usia justru
masuk dalam keleluasaan menjalani matiraga berlatih mengikuti Tuhan Yesus
Kristus sesuai dengan perkembangan dirinya. Latihan rohani ini, karena tanpa
penyangkalan batin orang tak akan mampu menjalani olah ragawi dalam berpuasa,
akan membuat orang meraih kebiasaan baru yang menjadi kebiasaan perilaku
sesudah masa Prapaskah.
Penghalang Utama
Bagaimanapun juga puasa menjadi
ungkapan untuk tindakan menyangkal diri dan memikul salib berupa ketidakenakan.
Ini dapat dihayati sebagai hal yang membuat orang merasa tidak bebas. Bagi orang
lanjut usia yang inginnya mengikuti kehendak sendiri, dia dapat memperoleh
alasan syah secara Gerejani. Dia bisa berkata bahwa “Aku kan sudah umur 60
tahun, jadi sudah bebas dari puasa”. Kaum lanjut usia memang sudah bebas dari
puasa yang diatur oleh Keuskupan. Dan aturan ini dapat menjadi dalih untuk
tidak bermatiraga.
D Bambang Sutrisno, Pr.
0 comments:
Post a Comment