Tadi malam, Sabtu 31 Agustus 2013, Ruang Pertemuan Santo Barnabas di
kompleks Wisma Domus Pacis dipakai untuk midodareni
(ibadat menjelang perkawinan). Ini adalah hajatan dari keluarga Bapak Darsono,
ketua Lingkungan Fransiscus Assisi Puren, dalam proses perkawinan anaknya,
Mantik. Calon pengantin lelaki bernama Wisnu Aji putra keluarga Bapak Kendra
dari Palembang. Ternyata Pak Darsono dan Pak Kendra 40 tahun yang lalu
sama-sama menjadi siswa calon imam di Seminari Palembang. Maka, selain umat
Lingkungan Puren dan Lingkungan Clara yang jadi tetangga dekat, banyak sanak
keluarga dari Palembang dan Lampung hadir. Bapak Darsono memang berasal dari
Lampung.
Bagi Komunitas Rama Domus Pacis hajatan itu juga menjadi peristiwa khusus.
Calon pengantin perempuan, yang sudah 6 bulan bekerja di Lampung, adalah
aktivis Komsos Keuskupan yang berbasis di kompleks Wisma Domus Pacis. Inilah
yang membuat staf Komsos ikut sibuk menyiapkan sound system termasuk fotograpi.
Rama Agoeng, Ketua Komisi Komunikasi Sosial (Komsos) Keuskupan, oleh keluarga
diminta untuk memimpin Ibadat Midodareni.
Selain Rama Agoeng, ternyata Rama Bambang pun juga dilibatkan dalam hajatan
malam midodareni ini. Keluarga dengan
persetujuan kakak tertua minta Rama Bambang memberikan sambutan sebagai wakil
keluarga. Ternyata kakak tertua, Bapak Purnama, dulu adalah frater (calon imam)
mahasiswa adik kelas Rama Bambang di Institut Filsafat Teologi Kentungan.
“Wah, ruang ini bisa dipinjam, ya?” salah satu bapak berkata kepada Rama
Bambang di tengah-tengah omong-omong sambil makan sesudah ibadat selesai. “Yes,
asal gak bersamaan dengan acara Domus” jawab Rama Bambang. Bapak itu masih
menambah pertanyaan “Kalau pinjam membayar berapa?” Terhadap pertanyaan ini
Rama Bambang jadi ingat yang ditanyakan oleh Pak Darsono di siang hari “Rama, yen wonten umat nyuwun pirsa amargi
badhe nyuwun ngampil, kados pundi prosedur kalebet artanipun?” (Rama, kalau
ada umat yang tanya tentang pinjam ruang pertemuan itu, bagaimana prosedur
termasuk pembayarannya?). Maka untuk
bapak yang tanya saat makan itu Rama Bambang memberikan jawaban yang sama “Yen wanci dalu kasuwun nyumbang beaya listrik
sukarela. Yen mboten ngginaaken lampu, mboten mbayar. Mboten namung kangge
tiyang Katolik. Kepentingan kampung lan brayat sanes ugi saget ngangge”
(Kalau malam ada sumbangan beaya listrik secara sukarela. Tetapi kalau tidak
menggunakan lampu, tidak memakai pembayaran. Ini tak hanya untuk warga Katolik.
Kepentingan kampung dan warga lain juga dapat memanfaatkan). “Wah apik tenan, ya?” (Wah, sungguh baik,
ya?) celethuk bapak lain. Rama Bambang menyahut “La wong Domus akeh diapiki je. Ana relawan akeh nggo novena, nggo
masak, lan saiki nggo gentenan nyopiri mobil Domus” (Domus kan sudah
menerima banyak kebaikan. Ada banyak relawan untuk novena, untuk masak, dan
kini untuk bergantian menjadi sopir mobil Domus). Ketika menyinggung relawan
sopir, bapak-bapak itu tertawa terbahak-bahak karena 3 orang di antaranyalah
yang menyatakan diri siap mengantar rama-rama Domus kalau punya keperluan.
Sebetulnya di dalam hati Rama Bambang masih berkata “Dha ra ngerti nek ruang pertemuan dan banyak liyane mung neh-nehane
umat sing sok kunjungan” (Anda gak tahu aja kalau ruang pertemuan dan
banyak hal lain hanyalah dari pemberian umat yang sering berkunjung). Mungkin karena termasuk golongan farisi, Rama Bambang ingat kata-kata "Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma." (Mat 10:8). "Tapi pakai listrik kok minta uang?" kata batinnya yang dijawab sendiri "Itu urusan lembaga keuskupan lewat petugas resmi kok." "Lho, lha ruangan Barnabas?" "Itu berasal dari umat lewat Komunitas Rama-Ramanya". Ah malah bingung ha ha ha ......