Tulisan
ini pernah dimuat dalam Domus Voice
Agustus 2012.
Domus Voice adalah
berita elektronik email yang pernah ada di Domus Pacis hingga Desember 2012.
Karena
isinya dipandang masih relevan untuk permenungan Komunitas Kaum Tua,
terutama
Komunitas Rama Domus Pacis,
maka
tulisan ini dimuat lagi dalam kolom Pastoral Ketuaan
www.domuspacispuren.blogspot.com
Indonesia
Sebelum 17 Agustus 1945
Ketika Rama Agoeng mengetengahkan tema “kemerdekaan”
untuk Domus Voice edisi Agustus, pikiran memang ingat Kemerdekaan Indonesia.
Jujur saja, saya agak tidak sreg
dengan tema ini karena kaitannya dengan Indonesia. Saya termasuk warga negara
yang merasakan Indonesia saat ini tidak merdeka baik secara sosial, ekonomi
maupun politik. Secara sosial, suasana kebersamaan bangsa masih ditentukan oleh
momok yang namanya mayoritas walau sebenarnya hanya kekuatan minoritas yang
berlindung pada nama mayoritas. Secara ekonomis, kaum konglomerat yang
persentasenya kecil amat sangat menentukan hidup masyarakat umum sehingga
muncul kalimat “yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin”. Secara
politik, Indonesia amat ditentukan oleh partai politik besar atau gerombolan partai-partai yang haus kekuasaan tanpa
sungguh memperjuangkan kesejahteraan umum. Meskipun demikian saya berusaha
untuk mencoba merenungkan tema kemerdekaan. Saya memang merasa “Ngapain mikir
kemerdekaan kalau nanti paling-paling hanya terpusat pada upacara
tujuhbelasan?”
Tiba-tiba ...... hati saya tergerak ketika pikiran
terarah ke tanggal 17 Agustus. Muncul pertanyaan dalam hati “Kok dulu bisa
merdeka, ya? Kok dulu bisa kuat menghadapi Belanda cs yang amat kuat
persenjataannya, ya?” Ini pasti ada sebabnya!!
Pikiran saya melayang ke sejarah pra 17 Agustus 1945.
Hati saya tergetar oleh dua hal: Kebangkitan Nasional dan Sumpah Pemuda.
Tampaknya dua hal ini menjadi dwitunggal
daya kemerdekaan. Kebangkitan
Nasional muncul karena hasil gerakan pendidikan mencerdaskan dan
transformatif yang menimbulkan daya perjuangan kesejahteraan bangsa sesuai
dengan perkembangan situasi hidup dan budaya. Banyak kelompok dan organisasi
muncul dari berbagai segmen sosial (agama, etnis, politik) tetapi semua
berjuang demi semua orang sehingga secara praktis berpaham nasionalisme. Jiwa
nasionalisme itu ternyata bermuara pada peristiwa Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda telah menjadi bentuk ungkapan dan
perwujudan dari kesadaran bersekutunya kelompok-kelompok kebangsaan lokal
(suku-suku). Setiap kelompok kebangsaan lokal menjadi komunitas-komunitas
terbuka dalam kebangsaan nasional dengan gerakan “Satu bangsa, satu bahasa,
satu negara ...... Indonesia”. Ternyata dwitunggal “kebangkitan dan kebersamaan” telah menjadi daya amat sangat kuat
sekali sehingga Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 mampu merdeka. Dua hal
inilah yang kiranya pada masa kini tidak menggerakkan bangsa Indonesia.
Kebangkitan diganti dengan perjuangan kemapanan sehingga banyak pikiran dan
gerakan berbeda dapat dipandang sebagai ancaman. Kebersamaan nasional diganti
dengan perjuangan politik, etnis, golongan tertentu untuk kepentingan sendiri.
Kemerdekaan
Domus Pacis
Di sini saya bertanya pada diri sendiri “Bagaimana aku
sendiri menghayati kemerdekaan?” Saya bukan politikus, bukan anggota
legislatif, bukan orang yudikatif, bukan aparat eksekutif, dan bukan pengusaha.
Saya hanya warga negara, hanya warga Katolik, hanya imam. Bahkan sebagai imam
pun saya hanya warga Domus Pacis. Dengan demikian pertanyaan kemerdekaan itu
menjadi “Bagaimana aku menghayatinya di Domus Pacis?”
Pengalaman “tidak merdeka”?
Jujur saja, ketika masuk Domus Pacis pada Juli 2010,
dalam hal fasilitas terutama makan saya termasuk yang merasakan hidup terpaksa.
Karena terpaksa, hal ini berarti tidak memiliki kebebasan (tidak merdeka, ta?).
Saya juga mengalami kebanyakan karyawan bekerja terkesan seenaknya sendiri,
sehingga para rama secara praktis kurang terurus dengan memadahi (tertindas?).
Hanya para rama yang dapat pergi dan masih melayani misa di tengah umat yang
mendapatkan keleluasaan. Seandainya ada hal-hal tambahan (pemberian-pemberian)
untuk kepentingan semua rama, sebagian besar cepat musnah karena ada yang
membawa (perampas? penjajah?). Dari para karyawan hanya satu yang sungguh
memiliki komitmen kerja, dan dia memang orang yang dulu dicari oleh rama.
Karyawan lainnya adalah orang-orang yang hadir atas dasar belaskasih (model
karitatif) yang oleh rama pengurus ditolong dengan menempatkannya di Domus
Pacis. Mereka pada umumnya tidak memiliki kompetensi dalam tugasnya. Akan tetapi
karena sudah beberapa lama berada di Domus Pacis, bahkan ada yang sudah lama
sekali, ada yang kemudian tampak merasa berkuasa menentukan segalanya
(penjajah?). Suasana seperti inilah yang barangkali membuat Domus Pacis tidak
memiliki percikan cahaya yang menarik bagi para rama sepuh pada umumnya. Bahkan
para rama yang pernah mengenyam Domus Pacis (pada umumnya ketika harus tinggal
di sini menunggu kesembuhan sesudah opname di Panti Rapih) ada yang
memandangnya sebagai “rumah tahanan”. Yang berada di Domus Pacis pada umumnya
adalah para rama yang “terpaksa” harus tinggal di situ. Domus Pacis bukanlah
rumah kemerdekaan. Domus Pacis, yang secara harfiah berarti rumah kedamaian,
kerap diartikan sebagai rumah menunggu kedamaian abadi (tempat menanti kematian).
Kebanyakan rama sepuh tidak mau berada di Domus Pacis.
Merdeka!
Tampaknya para rama Domus Pacis (pasti terutama saya)
ketika mengalami makan pagi tanggal 21 Mei 2012 merasakan suasana yang amat
beda sekali dengan biasanya. Petugas masak lama diganti oleh petugas baru. Dan
sejak saat itu suasana makan dan rasa makanan berubah dan secara praktis terasa
enak hingga saat ini. Bagaikan kehidupan liturgis Katolik, suasana dan perasaan
makan (sekurang-kurangnya bagi saya) menjadi puncak dan sumber kehidupan Domus
Pacis yang rama-ramanya mayoritas kaum tua. Kebetulan pada waktu itu saya
nyeletuk “Merdeka!” ha ha ha ......
Saya memang amat merasakan hati plong, rasa lega dan bebas, pada hari itu. Mengapa? Tentu saja
karena saya sudah ngampet selama 22
bulan. Dalam hal ini suasana ngampet
terisi dengan proses membuat goncang Domus Pacis untuk perubahan yang membawa
sejahtera para rama dan semua penghuni Domus (termasuk tanaman, burung, dan
anjing). Dalam renungan ini saya sungguh tercerahkan dengan dwitunggal daya kemerdekaan yang saya
ketemukan dalam renungan 17 Agustus 1945. Inilah “kebangkitan” (Kebangkitan
Nasional) dan “persekutuan” (Sumpah Pemuda). Dua hal ini bagi saya amat
mempengaruhi kemerdekaan di Domus Pacis. Para rama, yang tadinya terpisah satu
sama lain karena segalanya hanya di kamar masing-masing, dapat berproses
bersekutu membangun komunitas. Berawal dari duduk-duduk dua atau tiga rama di
teras dan dari kebersamaan dua atau tiga rama dalam Perayaan Ekaristi Kapel
Domus, muncullah kebersamaan makan siang setiap hari Selasa. Dari sini
berkembanglah makan bersama pada hari-hari khusus, yaitu hari ulang tahun salah
satu rama Domus. Hubungan batin para rama makin erat dan ini membawa perubahan
sistem kerja para karyawan, sehingga disepakatilah ada hari libur khusus
karyawan (Idul Fitri, Natal, Paska). Pada saat karyawan libur Idul Fitri 28
Agustus - 1 September 2011, muncullah kamar makan tetap dan mulailah kebiasaan
makan bersama tiga kali sehari. Di Kamar makan ini para rama dapat menerima dan
menjamu tamu pribadi atau komunitas.
Ternyata kehidupan komunitas juga membuat para rama
saling berinteraksi secara alami dan berkembanglah suasana refleksi alami yang
bermuara pada berbagai langkah pengembangan kehidupan penghuni dan peran para
rama dalam ambil bagian karya pastoral sesuai keterbatasannya. Buletin elektrik
Domus Voice menjadi salah satu saksi
dinamika para rama Domus Pacis. Pengembangan Iman Kaum Tua mulai tumbuh dan
dikembangkan. Dengan pergantian petugas masak 21 Mei 2012 mekanisme dan sistem
kerja para karyawan juga makin berkembang. Kondisi Rama Harjaya dan Rama Harto,
yang dahulu menjadi soal ketenagaan ketika libur karyawan, kini tidak membuat
keributan. Para tenaga Domus Pacis dapat mengatur diri. Bahkan relasi rama-rama
Domus juga ikut berperan dalam memikirkan dan mencari solusi dalam hal ini. Suasana
yang secara alami reflektif, transformatif dan inovatif telah menjadi daya yang
membuat Domus Pacis segar dan siap baru dan diperbarui (dimensi kebangkitan?).
Dwitunggal kemerdekaan (kebangkitan dan persekutuan) inilah yang kini menjadi
tantangan para penghuni Domus Pacis untuk menjaganya agar tetap menjadi jiwa
kehidupan bersama. Tanpa dwitunggal kemerdekaan, Domus Pacis akan dapat
mengalami soal-soal multidimensional yang secara nasional seperti Indonesia
saat ini.
0 comments:
Post a Comment