diambil dari http://www.unio-indonesia.org Ditulis oleh admin pada Rab, 02/05/2018 - 14:31
KEBERSAMAAN YANG MENGHIDUPKAN
Rekan-rekan yang budiman!
Bacaan Injil Yohanes bagi Minggu Paskah VI tahun B ini (Yoh 15:9-17) sarat dengan kosakata yang berhubungan dengan gagasan mengenai kasih, yakni “saling mengasihi”, “tinggal dalam kasih” “memberikan nyawa demi sahabat-sahabatnya”. Petikan ini diangkat dari bagian Injil Yohanes yang menyampaikan pengajaran Yesus kepada para murid selama perjamuan malam terakhir (Yoh 13:31-17:26). Para murid perlu belajar hidup terus tanpa kesertaan Yesus seperti biasa. Mereka diajarnya membangun kebersamaan dalam ujud lain. Dengan tujuan itulah kiranya diberikan pesan-pesan mengenai saling mengasihi dan sepenanggungan.
PENGAJARAN KHUSUS
Kata-kata Yesus yang disampaikan Yohanes dalam Injil hari ini adalah bagian pesan-pesan yang diucapkannya pada sebuah kesempatan khusus, yakni perjamuan malam terakhir bersama murid-muridnya. Pada awal perjamuan ini Yesus menyebutkan, salah seorang dari mereka akan menyerahkannya (Yoh 13:21-30). Hubungan guru-murid yang hingga saat itu baik mulai terganggu oleh kekuatan gelap. Kelompok ini tidak lepas dari kelemahan manusiawi juga. Saat itu murid-murid tak mengerti ke mana arah kata-kata itu. Petrus meminta Yohanes (“murid yang dikasihi”) bertanya siapa yang dimaksud. Yesus menjawab bahwa orang yang dimaksud ialah dia yang akan diberinya roti yang siap disantap. Kemudian ia memberikan roti itu kepada Yudas Iskariot. Demikian jelas bagi pembaca siapa yang dimaksud. Disebutkan juga dalam Injil Yohanes bahwa sesudah itu Yudas kerasukan Iblis (Yoh 13:27). Yesus sadar betul akan hal ini. Yesus berkata kepada Yudas agar ia segera pergi melakukan apa yang hendak diperbuatnya. Dan Yudas pun keluar. Murid-murid tidak menangkap arti kejadian itu. Mereka mengira Yesus menyuruh Yudas, pemegang kas mereka, untuk pergi membeli sesuatu.
Yudas kerasukan Iblis justru pada saat Yesus memberinya roti yang sudah dicelupkan – artinya makanan yang siap untuk disantap yang diberikan oleh tuan rumah kepada orang yang diundangnya. Sampai saat itu Yesus masih menganggap Yudas orang sendiri, termasuk keluarga, diajak makan bersama. Tapi justru pada saat itulah kekuatan gelap yang melawan Yesus membadan dalam diri seorang manusia. Dan bukan sebarang orang, melainkan orang yang amat dekat dengannya. Yohanes menceritakan semua ini lama setelah peristiwa itu terjadi. Namun baginya jelas, itulah saatnya Iblis memakai cara-cara manusiawi juga untuk masih berusaha menggagalkan kehadiran ilahi di tengah-tengah manusia. Menarik diperhatikan perkembangan pergulatan antara dua kekuatan ini. Allah memakai ujud manusia untuk menjalankan karya penebusan – yakni Yesus yang lahir dan berada di tengah-tengah manusia. Kekuatan-kekuatan yang melawan karya Allah itu kini juga memakai ujud manusia pula. Dan bukannya keduanya tidak saling mengenal. Justru mereka amat dekat satu sama lain.
Pengajaran Yesus kepada para murid selama Perjamuan terakhir itu menurut Yohanes disampaikan “setelah Yudas pergi” (Yoh 13:31). Keterangan ini amat penting. Yudas yang sudah kerasukan Iblis itu tidak lagi ada di situ ketika Yesus mengajar mengapa para murid hendaknya saling mengasihi. Dengan perginya Yudas dari kelompok itu hendak dikatakan bahwa waktu itu kekuatan jahat tidak hadir mengancam kelompok tadi. Kata-kata Yesus mulai saat itu boleh diterima para murid tanpa khawatir dikelirukan oleh kekuatan-kekuatan yang bisa mengalihkan maksudnya. Semua yang dikatakannya dari saat itu hingga nanti ditangkap di sebuah taman di seberang sungai Kidron (Yoh 18) bebas dari kehadiran yang jahat.
MEMBANGUN KOMUNITAS
Yohanes hendak menunjukkan bagaimana kekuatan-kekuatan gelap itu bisa juga memakai cara-cara yang dipakai Allah sendiri. Satu-satunya cara untuk bertahan ialah saling menopang dengan saling berbagi ingatan mengenai Kabar Gembira yang dibawakan sang Guru mereka. Jangan ada yang satu merasa lebih besar dari yang lain, apalagi saling merahasiakan pengetahuan dan ingatan. Inilah saling mengasihi dalam arti yang paling dasar. Dalam keadaan itu juga mulai terhimpun pula tulisan-tulisan yang akhirnya kita kenal sebagai Injil-Injil dalam Alkitab. Dari situ juga tumbuh komunitas para murid. Tak mengherankan bila ibadat dan kesempatan saling berbagi ingatan di antara para murid itu kemudian dikenal sebagai “agapē”, yang arti harfiahnya ialah “kasih”. Bagaimana penjelasannya?
Awal dan akhir petikan ini berbicara mengenai kasih antara Yesus dan Bapanya yang menumbuhkan kasih antara Yesus dengan para murid (Yoh 15: 9). Di akhir petikan ini kita dengar Yesus berkata, “Kuperintahkan kepadamu: hendaknya kalian mengasihi satu sama lain!” (ay. 17). Begitulah terjemahan harfiahnya. Terasa ditekankan bagian yang mengharapkan agar para murid saling mengasihi. Tujuan saling mengasihi di situ ialah membangun komunitas para murid sehingga tiap orang mendapat ruang hidup yang layak.
Petikan hari ini sebetulnya berperan sebagai “pembacaan kembali” dalam rangka mendalami kata-kata Yesus yang sudah disampaikan dalam Yoh 13:34-35. Ay. 34 mengatakan, “Aku memberi kalian sebuah perintah baru, yaitu hendaknya kalian saling mengasihi”. Kemudian dijelaskan mengapa sewajarnyalah begitu, yakni “Sama seperti aku telah mengasihi kamu, demikian pula kamu hendaknya kalian saling mengasihi.” Sikap saling mengasihi itu tumbuh dari perhatian besar dari Yesus bagi para murid. Inilah yang disebut sebagai “perintah baru” di situ. Mengapa disebut “baru”? Jelas bukan karena semua perintah lain tak berfaedah lagi. Bukan juga karena orang belum tahu, melainkan dalam arti yang mesti dihidupi dengan cara yang segar, yang tidak kaku, bukan secara rutin belaka, secara wajib belaka. Dan bila mereka berhasil, seperti disebut dalam ay. 34, maka kehidupan mereka itu orang banyak akan tahu bahwa mereka tetap menjadi murid-muridnya. Orang banyak akan melihat bahwa perilaku serta tindakan-tindakan para murid Yesus menghadirkan kembali Yesus sendiri. Hidup mereka seakan-akan menyuratkan perintah dari atas yang dapat dibaca orang banyak. Hidup mereka menjadi kesaksian. Dalam arti inilah dapat lebih dipahami yang dimaksud saling mengasihi dalam petikan yang dibacakan hari ini. Bahkan bisa dikatakan, yang dimaksud ialah kekuatan-kekuatan yang tumbuh dari hubungan batin dengan sang Guru sendiri. Demikianlah tindakan para murid tidak bersumber dari diri dan kemauan mereka sendiri. Tindakan mereka dijiwai oleh kehadiran guru mereka dalam diri mereka.
KESATUAN BATIN
Maju selangkah lebih dalam. Yesus sendiri menjelaskan dari mana kekuatan-kekuatan tadi berasal. Pada awal petikan ini disebutkan “seperti Bapa telah mengasihi aku, demikianlah juga aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasihku itu. Kekuatan mengasihi itu bersumber pada Yang Maha Kuasa sendiri dan yang menjadi nyata dalam kehidupan Yesus dan dihayatinya bersama para muridnya.
Bagaimana saling mengasihi itu dapat dibahasakan bagi orang sekarang? Boleh jadi gagasan sepenanggungan, atau solidaritas bisa membantu. Bila ada solidaritas orang mulai mudah saling percaya. Dan bila orang mulai makin saling percaya hubungan-hubungan selanjutnya bisa terbangun. Juga kesulitan pun menjadi perkara yang tidak lagi membuat putus asa. Inilah bagian “pengetahuan” terakhir yang diturunkan Yesus sang Guru kepada murid-muridnya. Yang diwariskan Yesus itu ialah keyakinan untuk bersama-sama memperbaiki kemanusiaan, mulai dengan cara kecil-kecilan, dengan saling memberi perhatian. Kita diminta menemukan jalan-jalan baru yang belum terpikirkan sebelumnya. Ini kemanusiaan baru. Inilah yang menunjukkan Tuhan tetap mengasihi manusia. Dan pengajaran yang diturunkan kepada murid-murid tadi itu juga bisa menjadi warisan bagi kita juga. Setiap orang dapat menghidupkan apa itu kasih kepada sesama dengan pelbagai cara. Ini spiritualitas yang kreatif. Itulah Injil yang bersumber pada Yesus sendiri. Dapat dipelajari walau tidak dapat begitu saja diterapkan seperti sebuah pola yang sudah jadi. Memang orang dapat merasakan bila kehadirannya samar-samar belaka. Namun bila hadir, kreativitas saling mengasihi itu akan membuka wilayah-wilayah kehidupan baru.
Sebuah tambahan. Beberapa waktu belum lama silam dibicarakan tentang sebuah naskah berbahasa Kopt tentang Yudas. Di situ tindakan Yudas menyerahkan Yesus kepada para imam kepala sebagai yang diajarkan gurunya sendiri, sebagai jalan bagi Yesus melepaskan diri dari kungkungan badannya. Maklum dalam ajaran kebatinan gnostik seperti yang ada dalam naskah itu, badan termasuk yang buruk dan yang bersih ialah roh. Beberapa pembicaraan belakangan ini juga berusaha menghubung-hubungkan kata-kata Yesus dalam Injil Yohanes yang menyuruh Yudas segera menjalankan yang hendak ia jalankan tadi sebagai suruhan agar Yudas pergi menemui orang-orang yang memusuhinya. Gambaran mengenai Yesus seperti itu tidak cocok dengan yang muncul dalam Injil Yohanes. Yesus justru menjauhkan Yudas terlebih dari kalangan murid-murid yang kemudian diberinya ajaran murni yang datang dari Bapanya sendiri: saling mengasihi, saling berbagi ingatan mendalam mengenai dirinya. Inilah Kabar Gembira yang murni yang sampai kepada kita juga.
DARI BACAAN PERTAMA: SALING MENGASIHI (1Yoh 4:7-10)?
Senada dengan Injil di atas, bacaan kedua menegaskan bagaimana “saling mengasihi” itu jalan untuk mendekat ke kenyataan hadirnya Yang Ilahi sendiri dan cara paling jelas untuk mengenali-Nya. Namun pernyataan seperti ini bisa terlalu luas cakupannya dan menjadi sekadar kata-kata tentang kasih dan saling mengasihi yang malah bisa jadi amat berbeda dengan yang sebetulnya dimaksud. Kerap orang amat berbeda-beda dalam memahami apa itu “saling mengasihi”. Malah bisa ironik, yang bagi segolongan bernama “mengasihi”, bagi pihak lain dirasa sebagai “tak peduli”. Bisa dikatakan “kasih” dan “saling mengasihi” itu sikap dan tindakan yang sering dipaksa-paksakan dan memunculkan salah pengertian. Batasnya dengan sikap mementingkan diri serta pelbagai bentuk egoisme dalam kenyataannya amat kabur. Ini masalah yang tentu saja dipahami oleh penulis surat Yohanes kali ini. Bahkan boleh diperkirakan, dalam komunitas para pengikut Kristus yang dilayaninya, apa itu saling mengasihi menjadi soal. Inilah sebabnya penulisnya mengangkatnya sebagai pokok pembicaraan dalam suratnya. Pemecahannya menarik. Ia tidak begitu saja menyalahkan pendapat tertentu atau membenarkan pendapat lain. Pembicaraan dalam arah itu tidak akan membawa hasil dan masalahnya semakin keruh.
Pemecahannya yang ditampilkannya amat lain. Ia menunjuk pada kehidupan Yesus sebagai ujud apa itu kasih dari pihak Allah bagi manusia. Di dalam kehidupan Yesus – termasuk penyaliban serta kebangkitannya – terwujudlah kenyataan bahwa Allah mau mendekat ke kemanusiaan. Bahkan Dia dikatakan mendatangi kemanusiaan dalam kehidupan Yesus, orang yang amat dekat pada-Nya sendiri dan dalam bahasa alkitab disebut sebagai anak-Nya. Tokoh yang amat dekat ini membawakan wajah Allah sendiri sehingga kehadiran-Nya bisa semakin dikenali. Inilah ujud nyata apa itu kasih Allah bagi manusia. Mereka yang menyadari hal ini dan suka mendalaminya boleh dikatakan sudah mulai menemukan kasih Allah. Mereka bersama bisa disebut sudah “saling mengasihi”. Inilah kiranya pemahaman surat itu akan “kasih” yang sering kabur serta mudah diputarbalikkan demi kepentingan sepihak. Penjelasan serta arah yang ditunjuk sebenarnya amat sederhana: membawa orang mendalami kehidupan Yesus sebagai orang yang terdekat dengan Yang Ilahi sendiri dan belajar daripadanya mengenali kehadiran Allah dalam kehidupan ini.
Salam hangat,
A. Gianto
A. Gianto
0 comments:
Post a Comment