2. Wajib Bersedekah
“Jadi
apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti
yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong, supaya
mereka dipuji orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat
upahnya. Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu
apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi,
maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.” (Mat 6:2-4)
Pada
zaman kini demi transparansi dana-berdana biasa dilakukan dengan pencatatan.
Hal ini dapat terjadi misalnya ketika ada media membuka kesempatan menyumbang bencana
alam. Di dalam Gereja hal itu juga terjadi. Uang dana yang dikumpulkan di
Lingkungan atau kelompok umat juga dicatat dan dilaporkan. Namun demikian Tuhan
Yesus dalam ayat-ayat itu tidak berbicara tentang kegiatan kebersamaan yang
berkaitan dengan tata organisasi. Tuhan berbicara tentang tindakan personal
dalam bersedekah sebagai salah satu kewajiban agama.
Menjadi Pribadi Utuh
Satu
hal yang menarik adalah bahwa memberi sedekah dikaitkan dengan olah sikap agar
tidak seperti orang munafik. Sikap munafik terungkap dalam tindakan penonjolan
diri. Tindakan berdana tidak dilandasi oleh motivasi batin untuk menyumbang
atau memberi secara cuma-cuma tanpa mengharapkan balasan. Pemberian derma
dijadikan sarana atau alat untuk unjuk diri agar mendapatkan sanjungan dari
banyak orang lain. Bagi kaum lanjut usia agar terbebas dari sikap munafik
kiranya perlu menyadari kesejatian lasia. Kitab Suci berkata bahwa “Rambut
putih adalah mahkota yang indah, yang didapat pada jalan kebenaran.” (Ams
16:31) Kaum lanjut usia sejatinya menjadi tanda keindahan bagi kehidupan
bersama terutama di tengah generasi di bawahnya. Hal ini terjadi karena orang
yang sungguh menghayati kesejatian lanjut usia akan menjadi sosok bijaksana
(band. Mzm 90:12). Memang, kebijaksanaan kaum lanjut usia diperoleh karena
ketekunannya menjalani hidup penuh perjuangan sehingga “kebanggaannya adalah
kesukaran dan penderitaan” (Mzm 90:10). Hal ini tentu cocok dengan ajaran Jawa
bahwa ngèlmu (bukan “ilmu” yang
berkaitan dengan pengetahuan, tetapi ngèlmu[1]
adalah kebijaksanaan) itu adalah buah dari susah payah perjuangan hidup.
Perjuangan hidup itu tetap
terjadi di masa lanjut usia, yaitu kalau kaum lanjut usia bersedia hidup dalam
dampingan, bimbingan, dan petunjuk kaum muda. Hal ini dikatakan oleh Tuhan
Yesus Kristus “jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu
dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak
kaukehendaki.” (Yoh 21:18) Orang yang sudah masuk lanjut usia seharusnya sudah
sampai pada tahap mampu tidak hidup menurut kehendaknya sendiri. Sebagai
pengikut Tuhan Yesus dia sudah sampai pada tahap endapan penghayatan hidup
mengikuti kehendak Allah sebagaimana Ibu Maria yang berkata “Sesungguhnya aku
ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Luk 1:38)
Orang yang dapat menghayati perkembangan diri di lanjut usia akan mengalami
kepribadian utuh dan tak ada keretakan antara yang terungkap dan terwujud
secara lahiriah dengan yang sebenarnya ada dalam batin. Seorang psikolog, H.
Erikson, menyatakan bahwa kaum lanjut usia yang berkembang secara positif akan
mengalami hidup bijaksana. Dia menggambarkan perkembangan psikososial seseorang
dalam grafik berikut[2].
Sedekah Model Lanjut usia
Berbicara tentang sedekah sebagai
kewajiban beragama jelas berkaitan dengan masalah uang. Sedekah ini pada masa
Prapaskah di banyak keuskupan biasa disebut sebagai dana APP (Aksi Puasa
Pembangunan). Tetapi sebagai kewajiban beragama sedekah tidak hanya di masa
Prapaskah. Dalam hal ini kaum lanjut usia pun termasuk yang kena wajib
bersedekah. Berkaitan dengan kondisi ekonominya, merujuk ke Undang-undang Nomor
13 Tahun 1998, ada dua macam corak hidup kaum lanjut usia (lihat http://zelously.blogspot.com/2016/04):
- Lanjut Usia Potensial adalah lanjut usia yang masih mampu melakukan aktivitas pekerjaan dalam kata lain masih mampu menghasilkan barang dan jasa.
- Lanjut Usia Non Potensial adalah lanjut usia yang tidak bisa mencari nafkah sehingga hidupnya tergantung pada orang lain.
Berkaitan dengan kekuatan ekonomi,
yang perlu diperhatikan adalah berapa besar uang yang riil dimiliki secara
tunai. Bisa jadi yang potensial besaran pemasukan secara nyata lebih kecil
daripada yang non potensial karena dia mendapatkan pemberian lebih besar.
Memang, bisa saja yang potensial pendapatannya masih ditambah pemberian rutin
misalnya dari anak-anak atau sanak saudara bahkan mungkin masih ada dana
pensiun. Meskipun demikian, sekalipun potensial atau bahkan potensial
plus tambahan pemberian, hal yang juga harus dicermati adalah sebesar apa
pengeluaran rutinnya. Barangkali dia harus menanggung sendiri pajak-pajak bulanan.
Barangkali dia juga masih harus membeayai sendiri pengobatan-pengobatan karena
kaum lanjut usia pada umumnya sudah rentan akan penyakit. Atau lebih berat lagi
barangkali dia juga masih menanggung atau paling tidak membantu kehidupan anak
dan atau cucu.
Dalam bersedekah kaum lanjut usia
harus memperhitungkan kekuatan nyata yang bisa untuk ambil bagian dalam berdana.
Besar atau kecilnya dana tidak ditentukan oleh Gereja. Tuhan Yesus hanya
berkata “Setiap orang yang kepadanya banyak diberi, dari padanya akan banyak
dituntut,” (Luk 12:48). Sesedikit apapun jumlah sedekah, yang paling pokok itu
adalah wujud totalitas diri mempersembahkan hidup kepada Allah. Sekalipun
memberi banyak kalau itu hanya sekedar memenuhi wajib lahiriah dan hanya bagian
dari kelimpahan, dapat terjadi itu belum menyentuh lubuk hati rela berkorban.
Inilah yang terjadi ketika Tuhan Yesus membandingkan sedekah janda miskin dan
kaum kaya. “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih
banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan.
Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari
kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya.” (Mrk 12:43-44)
Penghalang Utama
Kemunafikan adalah hal yang
menjadi peringatan utama dari Tuhan Yesus untuk bersedekah. Dari sini kaum lanjut
usia perlu memiliki kesadaran batin akan hal-hal yang bisa membuatnya bersikap
munafik, yaitu bersedekah untuk menonjolkan diri. Kalau dikuasai oleh rasa
ingin terpandang karena tak ketinggalan dalam bersedekah, kaum lanjut usia bisa
tidak memperhitungkan perkembangan situasi hidupnya. Barangkali dia memang
punya uang banyak. Tetapi barangkali kali dia mengesampingkan kebutuhan-kebutuhan
yang juga membutuhkan beaya besar seperti pajak dan obat-obat rutin.
Sebaliknya, barangkali yang
terjadi adalah realita keuangan amat minim. Tetapi demi dihargai oleh orang
lain kaum lanjut usia menyumbang melebihi kekuatan dengan meminta uang tambahan
dari anak dan atau cucu dengan desakan dan tekanan. Paling celaka kalau dia
menyumbang dengan uang hasil berhutang. Tuhan berkata “Tetapi jika engkau
memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan
kananmu.” Larangan kiri mengetahui yang diperbuat oleh tangan kanan barangkali
juga dapat diperluas dengan larangan untuk mulut menceriterakan dan jari-jari
menulis dijadikan kabar untuk orang lain.
[1] Dalam tembang pucung (salah satu model kidung
tradisional Jawa) ada ajaran: Ngèlu iku;
Kelakoné kanthi laku; Lekasé lawan kas; Tegesé kas nyantosani; Setya budya
pangekesé dur angkara (Kebijaksanaan itu; Terjadi sebagai buah perjuangan
hidup sehari-hari; Dasarnya adalah kas;
Kata kas berarti daya batin;
Kesetiaan dalam segala tindakan menjadi penangkal kejahatan).
[2] Grafik itu diambil dari tulisan
Prof. Dr. Agustinus Supratiknya dalam Seminar 2 Jam di Domus Pacis Puren pada
hari Minggu 5 Agustus 2018. Seminar itu
diadakan sebagai program Domus Pacis Puren untuk lanjut usia.
(ada lanjutan)
0 comments:
Post a Comment