Pada hari Selasa pagi 1 Oktober 2019
saya mendapatkan kunjungan Maria Paramastri Hayuning Adi yang biasa dipanggil
Astrid. Kini nama lengkapnya dalam undangan perkawinan sudah bertambah dengan
gelar SE dan M.Sc. “Sekarang apa saja acara rama?” tanya Astrid yang saya jawab
“Sangangpuluh persen luwih neng kamar.
Ketemu rama saomah mung pas misa Komunitas karo neng kamar makan sedina ping
telu. Sok-sok diundang misa. Biasane misa arwah” (Berada di kamar lebih dari
90%. Berjumpa dengan rama serumah hanya pada saat misa komunitas dan tiga kali
di kamar makan. Kadang-kadang ada yang minta pelayanan misa. Biasanya misa
arwah). Tampaknya dia ingin berbicara masa lalu ketika masih aktif ikut gerakan
kegiatan di Museum Misi Muntilan Pusat Animasi Misioner (MMM PAM). Maklumlah
Astrid termasuk anggota tim remaja sejak SMP dan SMA dan dulu bersama
keluarganya termasuk dekat dengan saya. Tetapi saya berkata “Nek omong urip ki sing saiki wae. Sing biyen
ki wis kliwat. Kuwi nggo sinau” (Yang dibicarakan yang sekarang saja. Yang
dulu sudah lewat. Itu untuk pembelajaran).
Belajar
Mati untuk Meraih Kehidupan
Sebenarnya kata-kataku yang menekankan
omongan untuk yang riil kini dan disini saya sengaja untuk masuk dalam ikut
menyiapkan Astrid meninggalkan orangtuanya demi bersama suaminya berada di kota
lain. Saya kemudian men-sharing-kan pengalaman
saya masuk rumah tua para rama di Domus Pacis Puren. Berpisah dengan “hidup
harian” masa lalu memang membutuhkan proses. Pada saat meninggalkan kehidupan
harian ketika masih dinas dengan pusat MMM PAM dan kemudian tinggal di Domus,
saya bertindak ekstrim. Kecuali untuk melayani permintaan pelayanan misa, yang
pada bulan Juli-Agustus 2010 hanya amat kadang-kadang, saya sengaja ngendon di
kamar. Dalam hati terpatri kata-kata “Sebelum merasa kerasan di kamar ini, saya
tidak akan pergi-pergi apalagi hanya untuk dolan”. Dari catatan yang saya
miliki, saya memerlukan 59 hari untuk menyadari mengapa hati diwarnai
kegelisahan. Hal itu terjadi ketika saya mengendarai sepeda motor roda tiga di
tengah hujan menuju tempat misa yang harus saya layani. Karena terjadi pada
sekitar jam 18.30, peristiwa itu sungguh membuat saya menderita. Bila kaca helm
ditutup, saya akan mengalami pandangan gelap. Bila dibuka, derasnya hujan
membuat pipi terasa disayat-sayat. Saya hanya mengeluh dalam hati kepada Tuhan.
Tiba-tiba terasa seperti ada sentakan yang mengatakan “Itulah sekarang kinimu.
Kamu sudah bukan pimpinan lembaga yang memiliki fasilitas mobil. Kamu sudah
tidak memiliki tim kerja yang biasa mengiringipun dalam pelayanan”.
Karena suara sentakan itu muncul dalam
doa batin sembari bermotor menempuh kelebatan hujan, dalam renungan-renungan
sesudahnya saya menyadarinya sebagai cahaya terang ilahi. Kesadaran itu saya
yakini karena saya tidak tersinggung akan kata-kata itu. Justru karena
kata-kata itulah yang membuat saya seperti mengalami kebangkitan jiwa. Hati
menjadi tenang. Dan selanjutnya situasi dan kondisi Domus Pacis Puren menjadi
kehidupan baru. Saya teringat ungkapan bahasa Perancis yang kalau tidak keliru
berbunyi partir c’est murir en peau
(perpisahan itu adalah kematian kecil). Segala karya MMM PAM sudah lalu, sudah
mati. Tetapi dengan ikhlas menghayati kematian itu, saya menemukan kehidupan
baru yang tak kalah terasa indah dan membahagiakan. Tentu saja semua ini saya
katakan kepada Astrid sebagai sharing
untuk ikut mengantarnya meninggal ibu dan bapaknya karena akan menghayati
kehidupan baru bersama suaminya.
Èh,
Malah Sadar Mukjizat
Ketika Astrid sudah pulang dan dalam
kesendirian di kamar, ternyata saya terus digerayangi oleh kekinian saya. “Kini
dan di sini” saya adalah Domus Pacis Puren.
Kondisi dalam keterbatasan
Sebagaimana rama-rama lain yang tinggal
di Domus, hidup saya didominasi oleh kangkangan kamar. Saya memang menjadi yang
paling tampak segar dibandingkan dengan para rama lain. Saya masih bisa pergi
baik dengan motor roda tiga maupun mobil matik Ayla. Dalam mobilitas saya
memang bisa menggunakan kruk atau tongkat penyangga. Tetapi karena pernah dua
kali terpeleset dan harus terbaring di RS Panti Rapih karena patah tulang, saya
merasa lebih aman dengan kursi roda. Saya memang menjadi sosok Domus yang
paling banyak pergi untuk pelayanan misa (mayoritas misa arwah) dan
pendampingan penyegaran ajaran agama untuk kelompok lansia. Meskipun demikian,
sekalipun tampaknya paling sibuk, 92,77% hidup saya berada di rumah induk Domus
Pacis Puren. Inilah yang membuat saya berani mengatakan bahwa 90,00% saya lebih
berada dalam kamar. Perjumpaan dengan rama-rama hanya pada waktu misa komunitas
dan tiga kali makan sehari. Dalam mobilitas saya banyak berkursi roda. Kalau
pergi harus lebih membutuhkan bantuan orang lain untuk memasukkan dan
mengeluarkan kursi roda serta mengandalkan bantuan orang lain lebih-lebih kalau
berhadapan dengan jalan tak rata bahkan dengan tangga.
Kondisi seperti itu tentu membuat
cakupan aktivitas saya amat terbatas. Saya hanya melayani misa ujub keluarga, 5
kelompok pendalaman ajaran agama untuk lansia lima kali sebulan, dan Novena Seminar
untuk lansia setiap Minggu Pertama 9 kali dalam setahun. Selain kondisi seperti
itu, saya juga harus memperhatikan kondisi tubuh. Saya harus menjaga diri dalam
hal menu yang saya santap. Ada penyakit-penyakit yang menggerayangi tubuh:
hipertensi, asam urat, kolesterol, trigliserid, dan diabetes. Dalam hal kondisi
tubuh, saya juga tidak mudah untuk menerima acara luar yang harus terjadi pada
waktu pagi hingga sekitar jam 09.30. Kalau harus menerima, saya sudah harus
santap pagi pada antara jam 03.00-04.00. Hal ini disebabkan keadaan saya yang
akan mudah berak sewaktu-waktu walau sudah berak sebelumnya sesudah makan pagi.
Penyelenggara kepentingan tidak kecil
Dengan keterbatasan yang ada, ada
beberapa hal yang menurut saya cukup besar.
1. Novena Ekaristi Seminar. Ini adalah program untuk kaum lanjut usia yang
dirintis pada tahun 2012. Kemudian mulai tahun 2013 hingga kini terjadi 9 kali
berturut-turut dari Maret hingga November pada setiap Minggu Pertama jam
09.00-12.00. Dengan program ini para peserta diharapkan mendapatkan wawasan
realitas dunia kelansiaan. Setiap akhir pembicaraan memang ada pegangan Injili
yang diharapkan dapat menjadi landasan untuk menghayati iman sesuai dengan
situasi hidup yang dihadapi. Sesudah pembicaraan pada bagian seminar, ada misa
kudus. Dalam program ini ketika datang para peserta selalu mendapatkan minuman
teh dan snak sederhana. Sesudah misa makan siang pun disajikan untuk semua.
Jumlah pendaftar biasa menembus angka 300. Ini adalah program yang melibatkan tidak
sedikit orang untuk berbagi. Para pembicara, yang sungguh ahli dalam bidang
masing-masing, datang berbagi wawasan tanpa honorarium. Ibu Tatik Santo menjadi
sosok berbagi tenaga untuk menyiapkan santap siang dengan beaya yang amat
rendah. Bu Rini menjadi penyedia snak juga dengan harga murah. Mas Handoko
mengurus perlengkapan seperti tata kursi dan soundsystem. Bu Sri Handoko, Bu Sri
dari Ambarrukmo, Bu Mumun, Bu Mardi, Bu Mardanu, Bu Dini, Bu Titik Waluyanti
biasa datang untuk membantu Bu Tatik dan Bu Rini. Bu Titik dari Puren mengurus
altar, hosti, anggur, dan buku misa. Semua datang berbagi tenaga juga tanpa
honorarium. Untuk program ini yang membutuhkan beaya hanya konsumsi. Uang
diperoleh dari kolekte para peserta. Kadang-kadang ada peserta yang memberikan
tambahan sumbangan. Maka para peserta mendapatkan kesempatan berbagi harta.
Dalam hal berkolekte, hal ini sungguh bersifat suka rela dan bukan keharusan.
Hasil kolekte dipakai untuk pembeayaan konsumsi bulan selanjutnya.
2.
Hajatan. Domus
Pacis Puren biasa mengadakan hajatan terutama ulang tahun tahbisan. Tetapi kini
yang jadi hajatan besar adalah ulang tahun imamat ke 40 atau dimungkinkan ke
50. Secara praktis itu memang saya yang bertanggungjawab. Selain hajatan untuk
kepentingan rama penghuni, ada juga hajatan besar yang berkaitan dengan
keperluan saya pribadi seperti pertemuan trah dan peringatan arwah ibu saya. Untuk
hajatan Mas Handoko akan secara ekstra mengurus perlengkapan dan apapun yang
dibutuhkan selain konsumsi. Bu Titik Waluyanti dan Bu Rini akan sibuk mengurus
konsumsi. Tentu saja beberapa ibu yang ikut membantu program Novena juga ikut
terlibat dalam hari pelaksanaan.
3.
Rumah Tangga Domus Pacis Puren. Saya memang sudah terbiasa membantu mengurus
kebutuhan Domus. Tetapi secara resmi diserahi tanggungjawab memang baru terjadi
mulai Agustus 2018. Domus memang memiliki karyawan dan tenaga pramurukti yang
berasal dari RS Panti Rini. Untuk kebutuhan-kebutuhan khusus internal Domus ada
beberapa orang yang setiap saat siap membantu: Bu Rini, Mas Handoko, dan
suami-istri Pak Naryo – Bu Ninik. Orang-orang ini sungguh meringankan saya
dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan Domus. Mereka berperan dalam mendapatkan
bantuan-bantuan in natura (berupa
barang) atau paling tidak mendapatkan barang kebutuhan dengan harga ekstra
murah. Bu Ninik dan Bu Rini bersama 6 orang ibu lain (Bu Tatik, Bu Wulan, Bu
Mardi, Bu Riwi, Bu Vero, dan Bu Mumun) dapat menghimpun 89 orang untuk
pengadaan lauk pauk sehari 3 kali yang diantar ke Domus Pacis Puren. Delapan
puluh sembilan orang ini menyumbang tambahan beaya untuk pengadaan masakan.
Dalam pengamatan saya rata-rata per orang menyumbang sebesar Rp. 50.000,00.
Memang, saya secara pribadi sering mendapatkan bantuan berupa uang dari
donator. Sumbangan ini tentu amat bermanfaat menutup kekurangan finasial yang
saya terima per bulan. Dana Keuskupan yang saya minta lewat Rm. Sapta Nugraha
paling banyak menutup kebutuhan finansial sebesar 75,00%. Apalagi kalau bantuan
barang seperti beras, pempers, dan tambahan untuk makan dihitung uang, dana-dana
ini untuk Domus mendukung kekurangan minim 39,15%.
Mukjizat penyertaan Tuhan
Dari permenungan ini saya sungguh
menyadari diri saya yang terbatas. Keterbatasan disabilitas kaki membuat saya
baru sekali masuk rumah Pak Naryo – Bu Ninik. Di rumah Bu Rini, yang paling
banyak berada di Domus Pacis Puren, saya hanya bisa masuk di ruang bawah yang
tidak biasa untuk menerima tamu. Itupun belum sampai sepuluh kali. Biasanya
saya hanya berada di halaman rumahnya dan itupun berada di dalam mobil. Untuk
sungguh masuk ruang penerimaan tamu orang harus naik lewat jalan
bertangga-tangga banyak. Apalagi di tempat tinggal Mas Handoko. Untuk naik ke
tingkat 5 rumah susun sungguh di luar kemungkinan.
Untuk kontak dengan semua
relawan-relawati baik yang siap secara harian, dalam acara-acara khusus, maupun
yang menyediakan diri menyiapkan masakan, saya hanya biasa lewat SMS, WA, dan
telepon. Tetapi kehadiran mereka selalu bersifat fisik face to face. Kontak saya banyak diwarnai model non lahiriah tetapi
yang terjadi adalah lahiriah sesuai kebutuhan kongkret baik yang diharapkan
maupun yang di luar harapan tetapi amat baik jadinya. Entah bagaimana saya
merasa bahwa apa yang saya kontakkan dengan alat komunikasi adalah seperti
sebuah doa yang relasinya bercorak batiniah. Dan dari “doa” itu datanglah
mereka dengan segala karyanya. Dalam hal ini saya berkeyakinan bahwa kehadiran
mereka adalah kehadiran kasih berkepedulian. Padahal kasih berkepedulian adalah
karya ilahi. Maka semua relawan-relawati adalah ujud-ujud bagian raga ilahi.
Yang terjadi adalah mukjizat dalam hidup para penghuni atau komunitas Domus
Pacis Puren. Dengan ini saya sungguh disadarkan bahwa, dengan kesungguhan hidup
“kini dan di sini” dalam perjalanan sehari-hari, sadar atau tidak sadar saya
boleh mengalami mukjizat yang sungguh nyata.
3 Oktober
2019
0 comments:
Post a Comment