Kolom "Pastoral Ketuaan" akan menyajikan tulisan tentang bagaimana menata hidup
batin. Tulisan ini ditulis oleh Henri J.M. Nouwen dalam buku Tarian Kehidupan yang diterjemahkan
secara anonim dan tidak dinyatakan dari penerbit dan percetakan apa.
Terasingkan
... Tulisan Thomas Merton menjadi pintu masuk bagi kesunyian dan keheningan yang sebenarnya. Menulis baginya betul-betul menjadi satu-satunya jalan menuju kesucian. "Jikalau aku menjadi orang suci," tulisnya , "Aku juga harus menuliskan sudah menjadi apakah aku. ... Menuliskan tentang diriku di atas kertas ... dengan kesederhanaan dan integritas paling lengkap, tanpa menutup-nutupi apapun ..." (The Sign of Jesus, hlm. 288-9).
Dalam karyanya sebagai penulis, Merton juga menemukan suatu pengalaman akan kemiskinan yang baru. Oleh tulisannya ia telah membuat dirinya dan perasaan batinnya yang terdalam serta pemikiran-pemikirannya sebagai milik publik. Dengan cara ini ia melepaskan kepemilikan dirinya dan memperbolehkan orang lain untuk memasuki kesunyian pertapaannya. Dengan cara ini kemasyhurannya telah membuatnya miskin secara spiritual. Tetapi kemiskinan yang sama ini membuat dunia di sekelilingnya tampak baginya dalam cara yang baru. Sepertinya segala sesuatu menjadi miliknya pada saat di mana tidak ada apapun kepunyaannya yang dapat disebut sebagai "milik pribadinya". Udara, pepohonan, seluruh dunia, kini bernyanyi memuji Allah dan ia merasakan ada api dan musik di dunia di bawah kakinya. Keindahan ciptaan membuatnya miskin dan kaya pada saat yang sama dan memberinya kedamaian serta kebahagiaan. Keindahan ini menyisihkannya untuk ingin mengalami alam sebagai suatu milik, tetapi membantunya mengalami kesunyian dan keheningannya secara mendalam. Tetapi keheningan dan istirahat ini secara kejam terganggu selama periode kecemasan dan ketidak-pastian. Pada bulan Desember 1949, dalam keputus-asaan sebagai seorang yang sakit dan mengalami depresi yang baru saja kehilangan orientasinya dan merasa terasingkan sepenuhnya dari dirinya sendiri, Merton menulis: "Ketakutanlah yang mendorongku ke dalam keheningan" (The Sign of Jesus, hlm. 248). Sepertinya segala sesuatu terpecah berantakan dan sepertinya tak tersisa apapun dari ideal-ideal kontemplatif yang indah. "Aku kelelahan dan ketakutan," (The Sign of Jesus, hlm. 248) tulisnya. Sesudah delapan tahun hidup dipertapaan, ia merasa tidak bahagia, penuh dosa, bersalah dan tanpa mempunyai prospek apapun. Keheningan kini dirasakan sebagai hal yang kejam, sulit dan menyakitkan serta memberinya pengalaman menjadi kosong dan bahkan "ketiadaan" yang lengkap. Tetapi lalu di dalam kedalaman penderitaan, ia kembali menemukan Allah dan sesama manusia. Ketika semuanya gelap, ia menemukan dirinya di dalam keheningan Allah.
dari Thomas Merton: Contemplative Critic
0 comments:
Post a Comment