diambil dari https://mojok.co/kristian-erdianto 25 Juni 2015
Fenomena kekerasan mengatasnamakan agama makin kerap terjadi. Penyalahgunaan agama sebagai alat politiklah yang jadi penyebabnya. Politik kekuasaan atau politik yang mengenyangkan perut. Kalau nggak rame ya nggak makan. Kalau nggak sering mengkafirkan orang ya nggak akan diundang sebagai pembicara di seminar-seminar.
Walaupun begitu, saya selalu percaya bahwa agama tidak pernah menjadi akar kekerasan. Perbedaan isi kepala orang-orang yang seringkali dangkal yang justru membuat agama terlihat menakutkan, dan seakan menjelma sebagai alat penebar teror.
Sejak kuliah saya menyukai tulisan Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur. Tulisan-tulisannya begitu menyejukkan, khususnya yang terkait fenomena agama dan kekerasan—yang akhir-akhir ini masih terus saja terjadi. Agama menjadi perhatian utama Gus Dur karena sering menimbulkan bermacam-macam tafsiran. Dan menurutnya, kekerasan atas nama agama berakar dari fanatisme yang sempit.
Semua agama, menurut saya, adalah sama. Idealnya sama-sama tidak pernah mengajarkan kekerasan. Biarlah saya dicap sebagai orang yang sedang bingung atau mengalami kekosongan pemikiran ketika menganggap semua agama sama. Kalau dari segi lain, misal soal kebenaran dan kehidupan surgawi setelah kematian, saya tidak tahu.
Meski saya sangat yakin dalam iman, namun saya belum bisa mengatakan pada semua orang bahwa agama sayalah yang paling benar dan jalan satu-satunya menuju surga. Selama dua puluh delapan tahun hidup di bumi, sama sekali saya belum pernah merasakan bagaimana nikmatnya berpelesir ke surga.
Saya pikir, toh semua orang—beragama maupun tidak beragama—memiliki tujuan akhir yang sama, walaupun pergi dengan jalan keyakinan yang berbeda-beda.
Sejak hari pertama bulan puasa, saya coba menyisihkan waktu khusus untuk membaca kembali tulisan-tulisan Gus Dur. Waktu khusus, meminjam istilah orang Kristen sebagai “saat teduh”, memang saya ikhtiarkan untuk lebih banyak memahami kehidupan beragama dan bermasyarakat yang toleran, sebagai sebuah konsekuensi dari kemajemukan.
Kebetulan saya memiliki buku kumpulan tulisan Gus Dur yang diambil dari kolom-kolomnya di majalah Tempo dasawarsa 1970-an dan 1980-an. Selain buku Tuhan Tidak Perlu Dibela, saya juga mengoleksi kumpulan esai Gus Dur berjudul Kiai Nyentrik Membela Pemerintah.
Dan tulisan Gus Dur berjudul Sederhana, Syahdu kembali mengingatkan saya akan kesederhanaan yang telah mengajari saya menjadi manusia toleran.
Sederhana, Syahdu merupakan sebuah catatan perjalanan dan curahan perasaan Gus Dur ketika mengunjungi Kapel Rothko di Houston, Texas, Amerika Serikat. Ia menceritakan dengan detail seperti apa rupa bangunan sederhana itu, yang konon merupakan wadah interaksi spiritual berbagai agama dengan kehidupan.
Kapel Rothko didirikan pada tahun 1971 oleh John dan Dominique de Menil. Mereka berdua merupakan pasangan suami-istri kaya-raya, imigran asal Perancis, filantropis, aktivis dan kolektor benda-benda seni. John de Menil adalah seorang bankir, dan istrinya, Dominique merupakan anak dari pasangan Conrad dan Louise Delpech Schlumberger, pendiri perusahaan minyak Slumberger Limited.
Pembangunan Kapel Rothko ditujukan sebagai sebuah bangunan religius yang tidak berafiliasi pada agama dan kepercayaan tertentu, namun terbuka bagi semua orang dari berbagai macam latar belakang agama. Di tempat inilah berbagai macam upacara keagamaan digelar.
Sejak berdiri, Kapel Rothko telah menjadi landmark spiritual dan pusat berkumpul bagi orang yang peduli dengan perdamaian, kebebasan, dan keadilan sosial di seluruh dunia.
Menurut penuturan Gus Dur, Kapel Rothko merupakan perlambang gairah kerohanian yang sangat pekat. Serba sederhana, tanpa tanda-tanda kemegahan apapun yang terpasang. Alat peribadatan tidak ada yang terpasang secara permanen dalam ruangan utama, sehingga semua harus membawa sendiri ke dalam ruangan itu untuk dipergunakan.
Kalau orang Katolik ingin menggunakannya untuk misa, mereka membawa sendiri altar mereka. Orang Muslim boleh menghamparkan tikar sembahyang mereka, dan menghadapkannya ke arah kiblat di tenggara.
Beberapa orang Swami dari India pernah mengadakan meditasi dan peragaan Yoga. Kelompok Yahudi dan kelompok Sufi Turki Mevleviyati, yang terkenal dengan sebutan The Wirling Dervishes pun pernah menggunakan Kapel Rothko. Semuanya tentu terpukau dengan kesyahduan yang meliputi ruangan pagelaran serba sederhana. Kesederhanaan itu, menurut Gus Dur, memunculkan keharuan dan kesyahduan yang diperlukan manusia modern dalam pergumulannya dengan kehidupan.
Kesederhanaan bercampur rasa syahdu yang dilukiskan Gus Dur itu setidaknya saya rasakan juga di keluarga saya.
Jika orang-orang di Houston memiliki Kapel Rothko, saya juga memiliki rumah buyut di Pacitan—yang setiap Lebaran memberikan pengalaman menjadi seorang Muslim tanpa harus menghilangkan identitas saya sebagai seorang Katolik. Layaknya sebuah tempat persinggahan dalam perjalanan spiritual para peziarah.
Dulu, menjelang hari raya Idul Fitri, kakek kerap membawa saya pulang ke Pacitan, kampung halamannya. Sebagai orang Jawa, kakek tidak pernah bisa meninggalkan kebiasaan lamanya untuk bersilahturahmi—nilai-nilai budaya lokal yang selalu ia tanamkan kepada saya, meski kami bukanlah penganut Islam. Setiap saat itu datang, saya selalu menyambutnya dengan riang gembira karena bisa ikut “merayakan” Ramadan.
Dari seluruh keluarga besar kakek dan nenek, hanya mereka berdua yang memeluk agama Katolik. Saudara, kakak, dan adik mereka semuanya adalah pemeluk Islam. Tapi sebagai seorang Kristiani, kakek justru lebih memilih mudik saat lebaran, bukan saat Natal ataupun Paskah.
Pada saat Idul Fitri tiba, saya diperlakukan keluarga besar layaknya seorang muslim. Sungkeman, saling bermaafan dan makan opor ayam. Saya tidak pernah merasa dibedakan atau diperlakukan sebagai orang asing. Tidak pernah merasa diasingkan
Dari sanalah saya belajar mengenal makna toleransi sesungguhnya: memanusiakan manusia lain tanpa harus memiliki tendensi untuk menghakimi.
Apa yang saya rasakan saat itu mungkin tidak jauh berbeda dengan apa yang dirasakan oleh orang-orang yang pernah mengunjungi Kapel Rothko. Terkesima oleh kesederhanaan yang kontemplatif.
Sejatinya manusia akan saling terkait satu sama lain, dan agama bisa berfungsi sebagai salah satu pondasi yang menyokong kehidupan masyarakat majemuk. Seperti yang pernah dikatakan oleh Gus Dur: bukankah dengan saling memiliki pengertian mendasar antaragama, masing-masing agama akan memperkaya bekal perjuangan menegakkan moralitas, keadilan, dan kasih sayang?
0 comments:
Post a Comment