Ketika Datang
Ini terjadi pada
hari Rabu 12 Desember 2018. Pada jam 08.00 lebih saya sudah tiba di gedung
Gereja Santo Antonius dari Padua Kotabaru. Banyak umat sudah tiba lebih dahulu.
Ternyata pada umumnya mereka datang berkelompok-kelompok paroki asal se
Keuskupan Agung Semarang (KAS). Setiap kelompok selalu ada beberapa anak dan
atau remaja yang cacad atau memiliki kelainan. Saya yang duduk di kursi roda
dan didorong menuju sakristi selalu tersendat karena tercegat orang-orang yang
menyalami dan harus secara khusus menyalami para cacad yang ada di antara
mereka. Ketika tiba di sakristi tak ada seorang ramapun dan baru beberapa
petugas panitia. Setelah melihat jam baru pada angka 08.15, saya kembali masuk
gedung Gereja dan berkeliling menyalami sebanyak mungkin para cacad dan tentu
saja termasuk pengantarnya. Oh, ya, saya memang sudah mengenakan jubah begitu
keluar dari mobil. Tampaknya mereka amat senang saya salami secara khusus
dengan setiap kali bertanya “Siapa namamu? ..... Kamu dari mana? .....” Banyak
di antara mereka yang tidak dapat menjawab dengan jelas bahkan tidak sedikit
yang tak mampu berbicara sehingga yang menjawab adalah orang tua atau famili
atau pendampingnya. Barangkali mereka juga terkesan salah satu yang cacad
adalah seorang imam (itu perasakan saya, lhoooo).
Ketika Perayaan Liturgi
Pada hari itu di
Kotabaru memang ada peristiwa khusus, yaitu penerimaan Sakramen Inisiasi
(Baptis, Krisma, dan Komuni Pertama) untuk Umat Berkebutuhan Khusus. Ketika
menyiapkan diri di sakristi, beberapa imam siap ikut menjadi selebran dengan
Mgr. Robertus Rubiatmoko sebagai selebran utama. Termasuk saya ada 7 imam
selebran. Selain Rm. Dwi Harsanto (Vikep Kategorial KAS) dan Rm. Maradio (Vikep
DIY), saya hanya tahu nama satu rama,yaitu Rm. Mahar SY. Yang lain tampak sudah
bersikap akrab dengan saya sehingga terasa sungkan untuk bertanya nama. Sebelum
semua imam mengenakan stola dan casula, ada pengantar dari seorang anggota
panitia. Dia menjelaskan peta Umat Berkebutuhan Khusus (UBK), demikian istilah
untuk para cacad atau difabel, yang akan menerima pelayanan Sakramen Inisiasi.
Mereka terdiri dari beberapa golongan tuna (kekurangan atau cacad): tuna netra
(buta), tuna rungu (tuli-bisu), tuna daksa (cacad tubuh), tuna grahita (cacad
mental), dan tuna laras (sulit menyesuaikan diri). Mereka ada yang menerima
pembaptisan langsung penguatan dan komuni pertama. Ada yang akan menerima
komuni pertama, dan ada yang penguatan. Sekalipun tertulis dalam buku panduan
liturgi jumlah mereka ada 243, tetapi ada tambahan 5 orang sehingga kesemuanya
ada 248 orang.
Prosesi masuk gedung Gereja
Sebetulnya petugas akan membawa
saya langsung ke panti imam. Tetapi, karena ada 4 orang yang disiapkan untuk
menaikkan dan menurunkan saya dengan kursi roda, saya minta untuk mengikuti
prosesi bersama para misdinar dan imam lainnya termasuk Uskup. Begitu masuk
gedung Gereja dari pintu belakang menuju altar, hati saya sungguh
berbunga-bunga. Saya langsung melihat Mas Kus dan Mbak Didik, istrinya, berada
di bagian belakang. Ternyata keluarga ini mengantar Elo, anaknya yang termasuk
berkebutuhan khusus. Mereka kasih dag dengan melambaikan tangan kanannya. Dan
sambil maju menuju panti imam saya menyalami mereka yang saya lewati berdiri di
kanan kiri. Saya melihat wajah mereka yang cacad dan para pendampingnya tampak
berseri-seri. Seusai Uskup mendupai semua imam naik ke panti imam termasuk saya
yang dengan kursi roda diangkat empat orang.
Bacaan Pertama
Ternyata
petugas lektor berasal dari salah satu anak tuna yang akan ikut menerima
sakramen inisiasi. Tiba-tiba ada layar terbuka di dalam benak saya. Di situ
terputar rekaman film tahun 1967. Ada misa yang dipimpin oleh Bapak Justinus
Kardinal Darmojuwana di Kapel Sanata Dharma, Mrican. Tampaknya itu Misa Minggu
Biasa. Saya berdiri dari bangku dan berjalan pincang menuju mimbar dan kemudian
membacakan Kitab Suci. Sebagai pembaca Kitab Suci saya agak dipaksa oleh Ketua
Kring (kini Lingkungan) Ambarrukmo. Sebenarnya saya telah menolak ketika tugas
itu dilontarkan dalam Sembahyangan Kring. Kepada Pak Ketua Kring saya dengan
jujur berkata “Kula pincang, pak. Kula
isin yèn kedah mlampah teng ngajeng umat” (Saya pincang, pak. Saya malu
kalau harus berjalan di muka umat). Pak Kring diam sejenak dan kemudian berkata
“Iya, bener. Ning maca ki ora nganggo
sikil. Nganggo tutuk. Lan suaramu sero lan las-lasan” (Betul. Tetapi
membaca itu tidak pakai kaki, namun pakai mulut. Padahal suaramu keras dan terdengar
jelas). Maklumlah pada waktu itu belum ada kebiasaan gedung Gereja memakai sound system. Dan ini adalah peristiwa
yang tampaknya membuat almarhum Bapak Kardinal mulai tahu saya.
Khotbah uskup
Mgr.
Rubi menyapa mereka yang berkebutuhan khusus dengan sebutan “Adik-adik”. Tentu
ini sesuai usulan yang memberi pengantar di sakristi. Pada waktu itu Mgr. Rubi
bertanya “Aku kudu nyebut apa?”
(Sebutan apa yang harus kukatakan?) untuk para tuna yang akan menerima Sakramen
Inisiasi. Waktu itu ada jawaban langsung “Adik-adik”. Tampaknya sebutan ini
membuat suasana bagian khotbah menjadi bersahabat. Isi khotbah secara
keseluruhan menempatkan semua yang berkebutuhan khusus sebagai yang spesial.
Ini tentu sesuai dengan tema yang tertulis dalam buku panduan “Everyone Is
Special”. Entah bagaimana saya tidak memperhatikan isi detail khotbah Mgr.
Rubi. Tetapi setiap kali beliau menyebut kata “Yesus” ada sesuatu yang
menyentuh kecacadan saya. Saya mulai mengalami ketidaknormalankaki kiri,
katanya, mulai berumur 1 tahun. Sebelum itu, katanya, saya sudah mulai mampu
berjalan. Sakit panas membuat saya mendapatkan suntikan, yang kata almarhum
Dokter Supranjono pada tahun 1975 berisi obat kedaluwarsa. Saya mulai dapat
berjalan dengan pincang pada umur 5 tahun. Dan mulai umur 57 tahun saya mulai
kesulitan untuk berjalan tanpa harus dibantu dengan krug (tongkat penyangga)
dan kemudian sejak 60 tahun saya lebih banyak dengan kursi roda hingga kini.
Berkaitan tersentuhnya saya
dengan kata “Yesus” yang berkali-kali muncul dalam khotbah Mgr. Rubi, hal ini
mengingatkan saya yang baru ketika berumur 16 tahun pada Malam Paskah tanggal
25 Maret 1967 menerima Sakramen Permandian oleh Rm. Prajasuta SY di Baciro.
Saat itu saya duduk di kelas I SMA. Ingatan kekatolikan menjadi seperti tombol
monitor yang membuka youtube imajiner peristiwa tahun 1977. Pada tahun itu
saya, yang sudah menjadi calon imam dan sedang TOP di Seminari Mertoyudan, pada
waktu libur menyertai teman-teman muda
cacad tubuh ikut Konggres Nasional Bhakti Nurani di Bandung. Bhakti Nurani
adalah nama organisasi salah satu angkatan muda cacad tubuh (tuna daksa) dimana
saya ikut aktif sejak tahun 1974. Pada waktu acara diskusi panel saya terlibat
perbedaan pendapat dengan salah satu panelis tidak cacad yang mengatakan bahwa
“Adik-adik itu sama dengan kami. Semua orang punya cacad”. Di dalam pembicaraan
saya ngotot “Bagaimanapun juga kami adalah orang-orang cacad”. Ketika beliau
berkata “Kami juga punya kecacadan dalam hal lain. Jangan minder”, saya bilang
“Saya tidak minder. Tetapi saya harus menerima kenyataan diri saya. Saya harus
maju dan berkembang sesuai dengan keadaan cacad saya”. Sebetulnya perbedaan
pendapat ini sudah kerap muncul di antara saya dan para aktivis dan penggerak
Bhakti Nurani. Di dalam organisasi ada perjuangan yang dirumuskan dengan
kata-kata sekitar persamaan antara kaum cacad dengan masyarakat umum.
Layar
youtube kemudian membawa ke gambar ketika pada malam hari saya duduk-duduk
santai bersama teman-teman termasuk yang dari Bandung. Dalam duduk-duduk itu
ada yang bertanya “Mas, apakah kamu tidak memiliki rasa malu dan takut untuk
tampil di kalangan umum yang tidak cacad?” Pada waktu itu saya berceritera
bahwa saya juga mengalami rasa malu yang mendalam dan takut berjumpa dengan
umum. Ada dua hal yang menyebabkannya. Pertama, saya pincang. Pada waktu kecil
saya kerap diejek oleh teman-teman karena kaki kiri saya. Kerap terjadi mereka
membunyikan suara musik dengan mulutnya ketika saya berjalan di depannya.
Hingga remaja kalau saya akan melakukan hal yang sedikit pakai tenaga, misalnya
mengangkat kursi, ada saja kaum dewasa yang melarang. Kalau saya nekad tak
jarang ada suara “Ora ngrumangsani sikile
dheglog” (Tidak tahu diri kalau berjalan saja tidak imbang). Pengalaman
kedua adalah latabelakang keluarga. Saya tidak lahir dalam keluarga Katolik (walau
dikemudian hari bapak saya membangun keluarga Katolik dengan ibu tiri terakhir).
Saya lahir ketika bapak ibu sudah bercerai. Ketika mulai tidak dapat jalan
sesudah kena suntikan karena sakit panas, saya hidup bersama bapak. Satu hal
yang membuat saya malu dan takut berjumpa orang lain adalah bapak saya yang
kawin cerai. Saya mengalami ibu tiri sampai tiga kali. Dalam hal ini tidak
jarang ada yang bertanya “Jan-jané ibumu
dhéwé ki endi?” (Siapa yang sebetulnya jadi ibu kandungmu?). Sesudah saya
mensharingkan pengalaman malu dan takut berjumpa dengan orang umum, ada teman
cacad dari Bandung bertanya “Tetapi mengapa Mas Bambang sekarang enak saja
berhadapan dengan siapa saja. Apakah ada resep untuk menghilangkannya?” Terhadap
pertanyaan ini saya terdiam. Ketika ada desakan untuk menjawab saya berkata
“Ini rahasia hati saya”. Karena terus saja didesak, akhirnya saya berkata “Baik
akan saya katakan. Tetapi tidak boleh didebat. SAYA JADI BERANI SESUDAH IKUT
YESUS.”
Penerimaan Sakramen Baptis dan Krisma
Ketika
penerimaan sakramen terjadi, saya hanya mampu terpesona melihat banyak anak dan
remaja dari berbagai macam tuna mendapatkan pelayanan penuh kesabaran dari
Bapak Uskup dibantu oleh beberapa rama. Saya juga amat kagum terhadap Rm. Dwi
Harsanto yang membuka pintu kaum cacad mendapatkan fasilitas dengan semacam
dispensasi liturgis. Mgr. Rubi dan Rm. Santo bukanlah bagian kaum tuna tetapi
dapat menjadi seperti Yesus dan murid-Nya yang merayakan Sakramen Inisiasi
dalam nuansa ketunaan. Kadang-kadang ada layar benak yang menayangkan diri saya
ketika menjadi pengurus Bhakti Nurani hingga sekitar tahun 1983 karena ketika
menjadi imam di Paroki Salam sudah terlibat penuh dalam Komisi Karya Misioner
KAS. Kadang-kadang muncul pula ketika saya sering ikut dalam
pertemuan-pertemuan kaum tuna rungu. Tetapi semua adalah kelompok gerakan.
Kadang-kadang teman-teman Bhakti Nurani termasuk yang tidak Katolik ikut misa
kalau ada acara misa di teman Katolik. Memang ada juga pertemuan menyambut
tahbisan saya di tahun 1981. Dengan teman-teman tuna rungu juga ada pertemuan-pertemuan
dengan misa. Tetapi semua adalah gerakan teritorial. Tidak seperti yang saya
ikuti di gedung Gereja Kotabaru. Ini adalah pastoral resmi. Ini adalah
kebijakan hirarkis. Ini adalah putusan apostolik karena Uskup adalah pengganti
dan penerus tugas rasuli. Ini adalah model resmi pastoral baru paling tidak di
Indonesia. ADA KEVIKEPAN KATEGORIAL KEUSKUPAN AGUNG SEMARANG.
Ketika di Rumah
Setelah
berada kembali di rumah, yaitu Domus Pacis Puren, hingga membuat tulisan ini,
saya sungguh masih diwarnai peristiwa Perayaan Ekaristi Penerimaan Sakramen
Inisiasi Umat Berkebutuhan Khusus. Terus terang ketika masuk gedung Gereja
Kotabaru rasanya seperti Simeon atau Hana yang masuk Bait Allah seperti
dikisahkan dalam Lukas 2:25-38. Rm. Santo dengan undangan tertulis yang meminta
saya ikut jadi salah satu selebran terasa seperti penampakan Roh Kudus yang
membawa Simeon masuk Bait Allah. Di situ saya seperti ikut menyambut dan
menatang Yesus kecil yang tampak dalam diri anak-anak tuna. Dan seperti Hana
saya “mengucap syukur kepada Allah dan berbicara tentang Anak itu kepada semua
orang” (Luk 2:38). Hati saya memang diwarnai kegembiraan. Saya memang berbicara
tentang peristiwa itu pertama-tama di depan rama-rama Domus Pacis Puren pada
waktu makan. Saya tidak berbicara langsung tentang banyak hal. Yang saya
ceritera hanya sedikit pada waktu makan. Tetapi nuansa kisahnya sungguh
menggairahkan paling tidak dalam hati saya. Saya masih banyak menyimpan kisah
Kotabaru, dan ini saya sampaikan secara bertahap kalau ada kesempatan pas.
Mudah-mudahan dengan kisah-kisah ini kami para rama yang sudah meninggalkan
arena resmi berpastoral dapat menghayati makna kata-kata Simeon:
“Sekarang, Tuhan, biarkanlah
hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku
telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu, yang telah Engkau sediakan di
hadapan segala bangsa, yaitu terang yang menjadi penyataan bagi bangsa-bangsa
lain dan menjadi kemuliaan bagi umat-Mu” (Luk 2:29-32).
Puren, 14 Desember 2018
4 comments:
Romo Bambang, matur nuwun, sudah kersa rawuh! Saya juga nyalami Romo sehabis foto bersama, tapi kelihatannya romo sdh kesupen sama saya ya? Saya mengantar mbakyu ipar yg berkebutuhan khusus juga. Mugi awet sehat, Romo!
Atas nama panitia Everyone Is Special kami haturkan limpah terima kasih kepada Romo. Terima kasih sudah berkenan hadir dan memberi kegembiraan luar biasa pada perayaan ekaristi penerimaan sakramen inisiasi UBK 2018. We love you romo prikitieww...ha.ha.ha..
Wah Romo Bambang bikin terharu... Ndherek bingah Romo. Maturnuwun sharing dan refleksi nya. Ditunggu edisi selanjutnya dan ditunggu buku nya.
Romo2 yg Hebatttt...membuahkan banyak nilai2 yg patut kami teladani. Saya sebagai umat Katolik turut bangga membaca tulisan Romo Bambang dan karya dari Romo Santo dan Romo2 yg mendukung terlaksananya sakramen inisiasi oleh Bapa Uskup Romo Ruby utk saudara2 yg berkebutuhan khusus. Terus berkarya Romo...sehat selalu, Berkah Dalem
Post a Comment