Ini kisah yang terjadi pada Jumat malam 20 September 2013. Komunitas Rama
Domus Pacis mendapatkan kunjungan sosial dari Kelompok Kor Gregorius Paroki
Pulomas, Jakarta. Kunjungan di Domus Pacis sebenarnya hanya salah satu acara program
ulang tahun ke 26 dari kor ini. Kelompok ini, yang dari Jakarta naik kereta
api, memiliki acara: ziarah ke Gua Maria Jatiningsih (Jumat pagi), kunjungan
sosial ke Domus Pacis (Jumat malam), ziarah ke Gua Maria Tritis (Sabtu pagi),
kunjungan sosial di Panti Asuhan Ngawen (Sabtu siang), dan tugas kor misa di gereja
Pugeran (Minggu pagi). Menurut kata-kata dari sambutan wakilnya, pada mulanya
anggota kor adalah bapak-bapak anggota Dewan Paroki yang selesai masa baktinya.
Almarhum Rama Wiyanto, Pr., yang pada saat itu menjadi Pastor Paroki Pulomas,
meminta agar mereka terus mengabdi lewat kelompok kor. Para anggota kor, yang
ketika datang di Domus berjumlah 20an orang, berusia di atas 60 tahun kecuali 1
orang bapak yang baru berusia 55 tahun. Mereka datang dengan para istri. Ketika
berada di Domus ada juga beberapa orang sanak keluarganya yang ada di
Yogyakarta ikut bergabung. Dalam kunjungan ini para rama Domus Pacis mengajak beberapa
kelompok tua yang biasa ikut Novena Seminar. Mereka berasal dari Sleman,
Minomartani, dan Pringwulung. Dengan demikian kesemuanya ada lebih dari 110
orang. Sebelum acara dimulai, semua yang hadir dipersilahkan lebih dahulu
menikmati snak tradisional dengan minuman jahe dan atau kajang hijau. Urusan
konsumsi ditangani oleh kelompok relawati Novena Domus yang dikoordinasi oleh
Bu Titik Untung.
Acara dibuka dengan Ibadat Sore seperti biasa terjadi di Pertapaan
Rawaseneng tetapi ada tambahan beberapa lagu. Sesudah ibadat ada beberapa
sambutan dan sharing. Suasana memang meriah penuh sukacita kegembiraan karena
segala sambutan dan sharing sering ditambah komentar-komentar singkat dari Rama
Bambang yang bertindak sebagai MC. Memang, kadang juga muncul suasana yang
membuat suasana haru seperti ketika Rama Yadi menyampaikan sharing singkat
perkembangan kehidupan para rama Domus Pacis dari masa lampau hingga menjadi
semarak karena adanya kedekatan dengan cukup banyak umat dan kunjungan. Tetapi
suasana tertawa lebih banyak muncul seperti ketika wakil Kor Gregorius
menyampaikan beberapa hambatan yang dialami karena ada beberapa bapak dalam
usianya yang tua menjadi sering lupa. Kalau kelompok kor selalu menyiapkan
lagu-lagu untuk disajikan dalam setiap pergantian sambutan dan sharing,
kelompok umat penerima tamu yang menemani para Rama Domus juga menyajikan
nyanyian dan tarian. Ibu Ambar dari Sleman yang sudah berusia 65 tahun
menarikan Tarian Menak Koncar.
Segala pembeayaan konsumsi acara kunjungan ini disumbang oleh kelompok Kor
Gregorius. Bahkan Komunitas Rama Domus juga mendapatkan sumbangan untuk
mendukung karya pastoral. Yang jelas acara kunjungan itu, yang berlangsung dari
jam 18.00 hingga jam 20.00, ternyata sungguh saling memperkaya para tamu dan
pihak penerima tamu. Para Rama Domus dan umat sahabatnya mendapatkan contoh
semangat tak pernah henti untuk ambil bagian dalam kehidupan menggereja.
Sementara para tamu mendapatkan inspirasi dari derap pembinaan kaum tua untuk
selalu dinamis ikut Tuhan Yesus di tengah perkembangan situasi hidup dan
budaya. Barangkali karena gambaran rumah tua pada umumnya sebagai tempat yang
sering membuat orang menderita kesepian, sebelum penutup dengan santap malam,
Kor Gregorius menyajikan satu nyanyian dengan judul Hadapilah Hidup dengan Senyum. Sebelum menyanyikannya ada pengantar
yang kira-kira berbunyi “Lagu ini kami persembahkan kepada rama-rama di Domus
Pacis. Kami mengajak para rama untuk menghadapi hidup, sekalipun sudah tua dan
di rumah tua, dengan senyum. Hidup ini indah.” Terhadap pengantar ini Rama
Bambang menanggapi dengan kata-kata “Maaf, kebetulan para rama dan kami semua
kaum tua yang biasa ikut pembinaan di Domus Pacis, bertekad menghadapi hidup dengan
gembira. Dengan tetap menghayati Injil, kami akan berjuang untuk bergembira.
Biar tua tetap gembira. Sebagaimana dikatakan oleh Ibu Bari yang tadi sharing ‘Tua
tidak renta, sakit tidak sengsara, mati masuk surga’, kami berjuang membangun
hati selalu gembira. Untuk ini kami TAK HANYA TERSENYUM, tetapi TER-TA-WA.
Bahkan, nanti ketika mati dan sudah ada di dalam peti mati, kami akan meminta
agar mulut kami tidak dikatupkan. Sehingga setiap orang yang akan berdoa di
peti kami akan tertawa karena melihat mulut mayat kami menganga tertawa. Jadi
mayat pun kami berharap bisa menghibur orang lain dengan tertawa.” Kata-kata
ini ternyata menunda doa makan beberapa saat karena menunggu tertawa yang hadir
selesai.
0 comments:
Post a Comment