Tulisan ini adalah renungan Henri Nouwen dalam Jesus A Gospel yang diterjemahkan oleh
Mgr. Ignatus Suharyo (Nouwen Henri. Jesus
A Gospel. Yogyakarta, Kanisius, 2012:169-170.
Barangkali tulisan ini dapat menjadi referensi bagi
kaum tua yangpernah atau kini masih menjadi menjadi tokoh atau pemimpin.
“Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya
ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan
ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan
mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke
tempat yang tidak kaukehendaki." (Yoh. 21:18)
Menerima Tingkatan-Tingkatan Baru
Kerentanan dan Ketidakpastian
Ini adalah kata-kata yang membuat saya bisa berpindah dari Harvard ke L’Arche[1].
Kata-kata itu menyentuh langsung inti kepemimpinan Kristiani dan diucapkan
untuk memberikan kepada kita lagi dan lagi, jalan-jalan baru untuk meninggalkan
kekuasaan dan mengikuti jalan Yesus yang sederhana. Dunia berkata, “Ketika
engkau masih muda, engkau tergantung dan tidak bisa pergi ke tempat yang
kaukehendaki. Tetapi ketika engkau menjadi tua, engkau akan bisa mengambil
keputusanmu sendiri, pergi ke mana kaukehendaki dan mengontrol tujuanmu
sendiri.” Namun, Yesus mempunyai pandangan lain mengenai kematangan: kematangan
adalah kemampuan dan kerelaan untuk dibawa ke tempat yang sebenarnya tidak Anda
kehendaki.
Segera sesudah Petrus diberi tugas untuk menjadi gembala bagi
domba-domba-Nya[2], Yesus menghadapkan dia
pada kebenaran yang berat, yaitu bahwa pelayanan-pemimpin adalah pemimpin yang
rela dibawa ke tempat-tempat yang tidak dikenal, tidak dikehendaki, dan yang
menyakitkan. Jalan seorang pemimpin Kristiani bukanlah jalan bergerak naik
sebagaimana yang ditempuh dan dibayar mahal oleh dunia, melainkan jalan
bergerak turun yang akan berakhir di salib. Ini mungkin kedengarannya pahit
atau terkesan menyiksa diri. Namun, bagi mereka yang sudah mendengar pesan kasih
yang pertama dan mengatakan “ya” kepadanya, jalan bergerak turun yang telah
ditempuh oleh Yesus adalah jalan kegembiraan dan damai dari Allah, kegembiraan
dan damai yang bukan dari dunia ini.
Di sini kita menyentuh ciri yang paling penting dari kepemimpinan Kristiani
masa depan. Bukan kepemimpinan kekuasaan dan kontrol, melainkan kepemimpinan
yang rendah hati dan tanpa kekuasaan. Di dalam kepemimpinan itu, Yesus Kristus,
Hamba Allah yang menderita, menjadi nyata. Jelas saya tidak berbicara mengenai
kepemimpinan yang secara psikologis lemah, dalam arti pemimpin Kristiani
sekadar menjadi korban pasif dari manipulasi lingkungannya. Bukan. Saya
berbicara mengenai kepemimpinan di mana kekuasaan ditinggalkan dan kasih
ditempatkan di depan. Itulah kepemimpinan rohani yang sejati. Sikap rendah hati
dan sikap meninggalkan kekuasaan dalam hidup rohani tidak menunjuk pada
orang-orang yang tidak mempunyai pendapat dan yang membiarkan semua orang
mengambil keputusan bagi mereka. Sikap-sikap itu menunjuk pada orang-orang yang
begitu mencintai Yesus sehingga mereka siap mengikuti Dia ke mana pun Dia
menuntun mereka, sambil terus percaya bahwa bersama Dia, mereka akan menemukan
hidup dan menemukannya secara berlimpah-limpah.
[1] (Catatan Blog Domus) Henri Nouwen pada mulanya adalah dosen di Harvard
dan pada suatu saat pindah ke L’Arche di sebuah rumah hidup bersama para cacad ganda.
[2] (Catatan Blog Domus) Lihat
Yohanes 21:15-17. Yesus, yang menemui para murid sesudah kebangkitan-Nya,
bertanya tiga kali kepada Simon Petrus apakah dia mencintaiNya. Setiap kali
Simon Petrus menjawab “ya”, Yesus memberi tugas kepemimpinan dengan mengatakan “Gembalakanlah
domba-domba-Ku”.
1 comments:
Sugeng Enjang Romo.. berkah dalem.. semangattttttttt
Post a Comment