
Ternyata pagi ini pun Rama Yadi masih mengatakan belum sembuh. "Rak pun ngombe obat, ta? Pun teng dokter gigi dereng, ta?" (Sudah minum obat, ta? Sudah ke dokter gigi belum, ta?) tanya Rama Bambang. Rama Yadi menyambung "Mangke kula tak teng dokter gigi. Obate nika rak mboten marekke. Mung ngurangi rasa lara" (Nanti saya ke dokter gigi. Obat yang ada pada saya bukan untuk menyembuhkan. Tetapi hanya untuk mengurangi rasa sakit). Ketika menyinggung obat tersebut, Rama Bambang teringat peristiwa beberapa hari lalu. Rama Tri Wahyono pada siang hari sekitar jam 11.00 masuk kamar Rama Bambang. "Untuku lara. Kowe duwe obat?" (Gigiku sakit. Kamu punya obat?) kata Rama Tri. Rama Bambang menjawab "Ora duwe, je. Obat nggo ngurangi lara, ta?" (Saya tidak punya. Obat untuk mengurangi rasa sakit, ta?). Rama Tri mengiyakan. Ternyata ketika makan siang Mas Raharjo, yang sempat mengatakan di Domus Pacis obat itu sudah habis, membawa enam biji sambil berkata "Niki onten sisa enem" (Ini ada sisa enam). Rama Bambang kemudian minta Mas Rahajo agar membeli. Ternyata Rama Yadi titip khusus untuk membeli khusus bagi beliau sendiri. Ketika berbicara tentang obat itu terjadi suasana geli disertai tertawa terbahak-bahak. Hal ini terjadi karena ketika Rama Tri minta obat itu, beliau lupa namanya. Rama Yadi juga lupa. Mas Raharjo pun pada awalnya juga kebingungan. Akhirnya Mas Raharjo menyebut nama ponstan yang dibenarkan oleh semua rama yang ikut makan. Nama ponstan diingat ketika Rama Bambang berkata "Kuwi, lho, obat wong wedok nek pas kelaran" (Itu, lho, obat perempuan bila kesakitan). "Sakit napa, rama?" (Sakit napa, rama?) tanya Mas Raharjo. "Niku, lho, nek pas kelaran mens" (Itu, lho, kalau pas kesakitan karena datang bulan atau menstruasi). Mas Raharjo langsung bilang "Ooooo .... Ponstaaaaan".
0 comments:
Post a Comment