Oleh Anne dalam luxveritatis7.wordpress.com 15 Mei 2014
Saya telah
setia dengan kerudung Misa* selama kurang-lebih tiga tahun. Kebanyakan orang
tidak berkomentar, tetapi mereka yang didorong oleh rasa keingintahuan yang
positif kemudian bertanya: “Mengapa?”
Ya, mengapa
saya akhirnya memutuskan untuk mengenakan kerudung Misa? Bukankah itu praktek
yang sudah tua, sudah ketinggalan zaman, dan tidak diharuskan lagi setelah
disahkannya Hukum Kanonik tahun 1983?
Di sini saya
tidak akan membahas kontroversi mengenai harus atau tidaknya mengenakan
kerudung Misa pada masa ini. Bagi saya, tidak diwajibkannya kerudung Misa
justru memperkuat alasan kita untuk mengenakannya atas dasar kasih kepada Yesus
dalam Sakramen Mahakudus. Kasih lahir dari kehendak bebas, dan kini banyak
wanita yang dengan bebas memilih untuk berkerudung Misa.
Alasan
mengapa saya berkomitmen mengenakan kerudung Misa berkembang seiring
bertambahnya pengetahuan teologis saya, dan juga tidak lepas dari awal mula
saya berkenalan dengan sepotong kain ini.
Waktu itu
tahun 2009, saya mendapat sebuah undangan dari forum dunia maya untuk
menghadiri Misa Forma Ekstraordinaria (Misa Latin Tradisional). Undangan
tersebut secara eksplisit menghimbau agar para wanita mengenakan kerudung.
Pada saat
itu saya masih menganggap kerudung Misa hanya sebagai sebuah “kostum” khusus
untuk Misa FE saja. Praktek yang manis, namun sudah tua dan sudah tidak
relevan, dan rasanya sudah tidak cocok untuk wanita modern abad ke-21.
Namun,
petualangan lebih lanjut di internet membawa saya pada sebuah kesimpulan yang
menarik: kerudung Misa rupanya telah kembali, dan banyak wanita muda kini telah
mengadopsi kembali praktek kuno ini.
Di dalam
hati saya mulai muncul sebersit ketertarikan untuk ikut berkerudung. Tetapi
dari awal saya sadar bahwa kerudung Misa tidak main-main; ia adalah sebuah
devosi yang serius dan memerlukan komitmen serta iman yang matang. Apalagi,
devosi ini melibatkan sebuah tanda eksternal yang jelas terlihat, sama halnya
dengan orang yang mengenakan skapular, atau biarawan yang berjubah.
Saya
memerlukan waktu discernment selama kurang lebih dua tahun, disertai
dengan beberapa peristiwa yang mengawali pertobatan pribadi saya, sebelum
akhirnya memutuskan untuk konsisten berkerudung kapanpun saya berada di hadapan
Sakramen Mahakudus.
Kerudung
Misa, Kerudung Pengantin Kristus
Satu
permenungan yang amat menyentuh saya secara spesial adalah bahwa kerudung Misa
(terutama mantilla) membuat saya merasa bagaikan seorang pengantin! Saya
berpikir seperti ini: “Jika banyak wanita menunggu-nunggu hari besarnya di mana
ia akan berkerudung saat menghampiri calon suaminya, mengapa kita enggan
berkerudung saat menyambut Kekasih Surgawi kita? Bukankah Kurban Kalvari, yang
senantiasa dihadirkan kembali di dalam Misa, adalah tanda perkawinan antara
Kristus dengan Gereja-Nya, Kristus dengan saya? Jikalau demikian,
tidakkah semestinya kita mengenakan bukan saja pakaian yang terbaik, melainkan
juga pakaian yang spesial, yang sedikit berbeda dari hari-hari biasa? Betapa
beruntungnya para biarawati yang seumur hidup mengenakan gaun beserta kerudung
pengantin mereka!”
Permenungan
tersebut kemudian menjadi alasan utama saya memutuskan mengenakan kerudung
Misa. Tanpa disadari, kerudung Misa meningkatkan sensitivitas saya terhadap
benda-benda kudus dan atmosfer suci di dalam gereja. Saya memperhatikan bahwa
setiap gerakan doa dan pujian saya lebih teratur, tenang, dan bertujuan;
disposisi batin saya pun lebih terarah kepada Dia yang pantas mendapatkan
seluruh perhatian saya.
Selembar
kain yang tampak remeh ini rupanya sanggup menjadi semacam bentuk disiplin bagi
daging saya yang lemah ini, serta sebuah pengingat bahwa saya adalah kekasih
Kristus, pengantin Tuhan, dan dengan demikian saya harus bersikap selayaknya
seorang pengantin, bukan pelacur. Betul bahwa hal tersebut membutuhkan
pengorbanan dalam bentuk ketundukan (submission); namun apa artinya
kasih tanpa pengorbanan?
Tubuh
Mempengaruhi Roh, Roh Mempengaruhi Tubuh
Aneh tapi nyata,
lambat laun perubahan secara fisik pun juga terjadi, yaitu perubahan isi lemari
pakaian saya. Perlu dicatat bahwa sebelumnya saya agak anti dengan rok dan
hal-hal yang “cewek banget”. Saya menganggap hal-hal feminin itu lemah dan
kurang praktis. Padanan baju saya pun sebagian besar berupa kaus atau kemeja
dan celana jins panjang maupun pendek (jangan ditanya seberapa pendek).
Namun
setelah beberapa lama berkerudung Misa, saya mulai mengevaluasi kembali pakaian
dan penampilan saya. Pertama, dari segi kecocokan, saya merasa bahwa kerudung
Misa sesungguhnya memang paling cocok jika disandingkan dengan gaun atau rok
yang sopan, jadi saya mulai secara eksklusif mengenakan rok untuk ke gereja.
Kedua, bagaimana mungkin seorang wanita yang menudungi kepalanya tidak
melindungi tubuhnya juga? Demikianlah kini saya menjadi lebih modest,
tidak hanya dalam berbusana, melainkan juga dalam tindak-tanduk, perkataan, dan
cara berpikir.
Identitas
dan Misteri Perempuan
Bisa
dibilang, memang, bahwa praktek berkerudung mengubah pribadi saya menjadi lebih
feminin. Di masa modern ini, terutama di kehidupan perkotaan yang banyak
terpengaruh budaya barat, menjadi feminin merupakan bahan cemoohan. Diri saya
beberapa tahun yang lalu juga pasti akan mencemooh saya yang sekarang.
Tetapi jika
dipikirkan, mengapa wanita takut menjadi feminin? “Feminin” berasal dari kata “female”,
perempuan, sehingga feminin berarti hal-hal yang berkaitan dengan perempuan.
Menjadi feminin sesungguhnya mengukuhkan identitas seorang perempuan, yang
sejajar dengan pria namun tetap berbeda, salah satunya berbeda dalam hal
kehormatan menjadi bejana sakral pembawa kehidupan baru. Tabernakel dan
piala yang berisikan Tubuh dan Darah Tuhan — Sang Kehidupan itu sendiri —
juga dikerudungi, mengapa wanita tidak? Padahal, di dalam tubuh wanitalah
terjadi misteri cinta yang melahirkan kehidupan! Kerudung Misa menegaskan
realita ini dan mengangkatnya ke dalam makna teologis yang tinggi dan mendalam.
Mungkin,
itulah mengapa pudarnya praktek berkerudung Misa berbarengan dengan meluasnya
gerakan revolusi seksual dan ideologi feminisme radikal pada tahun 1960-an,
yang kemudian melahirkan aborsi dan kontrasepsi. Gerakan revolusi seksual
berusaha meyakinkan para perempuan bahwa mereka sama dengan laki-laki, harus
meniru laki-laki dalam segala hal, dan bahwa hal-hal yang feminin — termasuk
peran sebagai istri dan ibu — hanya akan menjadi penghambat kebebasan dan
prestasi. Kerudung Misa, beserta segenap nilai-nilai kesederhanaan dan
keteraturan tradisional yang diwakilinya, merupakan tamparan keras di wajah
sang feminis karena ia mengusung martabat perempuan sebagai makhluk yang unik,
yang istimewa dalam feminitasnya, yang setara dengan, namun tidak sama dan
tidak akan pernah sama dengan, laki-laki.
Holier-than-thou?
Tentunya, saya
tidak menganggap bahwa wanita dengan kerudung Misa itu lebih suci dibanding
wanita yang tidak berkerudung. Justru, karena saya belum sucilah, saya membutuhkan
devosi ini untuk membantu mendisiplinkan kedagingan saya dan mengarahkan saya
kepada Kehadiran Allah.
Saya juga
mengakui, perubahan-perubahan yang saya jabarkan di atas berlangsung sedemikian
halus (subtle), dan banyak yang lebih berkaitan dengan suasana internal
jiwa saya, sehingga sulit rasanya jika harus dijelaskan melalui tulisan. Anda
yang membaca ini pun mungkin susah membayangkannya, apalagi mempercayainya.
Maka, bisa dipahami apabila anda masih merasa skeptis. Akan tetapi saya berani
meyakinkan anda bahwa sungguh inilah yang terjadi: kerudung Misa mendorong
pertobatan saya secara fisik dan membuat saya lebih memahami konsep
kesederhanaan (modesty), kemurnian (chastity), dan keindahan (beauty)
menurut Iman Katolik.
Kerudung
Misa mungkin hanya terlihat sebagai sepotong kain yang cantik belaka, tetapi
percayalah, sebagai sebuah bentuk devosi, kerudung Misa amat powerful
dan dengan rahmat Allah, ia akan membantu anda lebih mudah tunduk kepada Sang
Mempelai yang Tersalib.
***
Catatan:
Dalam
artikel ini, saya menggunakan istilah “kerudung Misa” (chapel veil), bukan “mantilla”,
karena sesungguhnya mantilla adalah satu jenis khusus dari kerudung Misa, yaitu
kerudung dari bahan lace (brokat atau renda). Sebenarnya, lebih akurat
lagi jika saya menggunakan istilah “tudung kepala” (headcovering),
mengingat praktek “menudungi kepala” bagi wanita Kristen tidak terbatas pada
kerudung sungguhan, melainkan juga syal atau skarf, bandana besar, serta
topi-topi resmi seperti yang rutin dikenakan oleh wanita-wanita Inggris hingga
saat ini.
0 comments:
Post a Comment