Berikut ini
adalah terjemahan yang tidak resmi (unofficial translation) dari
ensiklik Paus Fransiskus yang berjudul Lumen Fidei (Terang
Iman). Jika anda ingin mengutip terjemahan ensiklik ini, mohon
mencantumkan www.katolisitas.org sebagai sumbernya, sehingga kalau ada masukan
dapat diberitahukan kepada kami.
AN
UNOFFICIAL INDONESIAN TRANSLATION OF THE ENCYCLICAL LUMEN FIDEI (The Light
of Faith)
@COPYRIGHT 2014 – KATOLISITAS
@COPYRIGHT 2014 – KATOLISITAS
Surat
Ensiklik
TERANG IMAN
TERANG IMAN
dari Sri Paus
FRANSISKUS
Kaum Religius dan Umat Awam
Tentang IMAN
Iman karena pendengaran dan penglihatan
29. Tepatnya
karena pengetahuan- iman terkait dengan perjanjian dengan Seorang Allah yang
setia yang masuk ke dalam suatu hubungan kasih dengan manusia dan mengatakan
sabda-Nya kepada manusia, Alkitab menghadirkannya sebagai sebuah bentuk
pendengaran, hal ini terkait dengan indera pendengaran. Santo Paulus ingin
menggunakan sebuah rumusan yang menjadi klasik: fides ex auditu, “iman
timbul dari pendengaran” (Rom 10:17). Pengetahuan yang terkait dengan sebuah
kata adalah selalu pengetahuan yang bersifat personal; yang mengenali suara
dari seseorang yang berbicara, membukakan kepada orang itu dalam kebebasan dan
mengikuti dia [laki-laki atau perempuan] dalam ketaatan. Paulus bisa dengan
demikian berbicara tentang “ketaatan iman” (bdk. Rom 1:5; 16:26).[23] Iman juga sebuah
pengetahuan yang terikat pada jalur waktu, karena kata-kata membutuhkan waktu
untuk diucapkan, dan iman adalah sebuah pengetahuan yang diserap hanya
sepanjang perjalanan permuridan. Karena itu, pengalaman dari pendengaran dapat
membantu untuk menghasilkan dengan lebih jelas ikatan antara pengetahuan dan
kasih itu.
Seringkali,
di mana pengetahuan akan kebenaran dirisaukan, pendengaran telah
dipertentangkan dengan penglihatan; telah diklaim bahwa penekanan pada
penglihatan merupakan karakteristik kebudayaan Yunani. Jika terang membuat
mungkin bahwa kontemplasi akan keseluruhan yang kepadanya umat manusia selalu
bercita-cita, itu juga akan nampaknya tidak meninggalkan ruang bagi kebebasan,
karena ia [terang itu]turun dari surga secara langsung ke mata, tanpa menuntut
sebuah tanggapan. Ia [terang]juga nampaknya menuntut semacam kontemplasi yang
tidak berubah, jauh terpisah dari dunia sejarah dengan segala sukacita dan
penderitaannya. Dari sudut pandang ini, pemahaman Alkitab tentang pengetahuan
menjadi bertentangan dengan pemahaman Yunani, karena yang terakhir ini [paham
Yunani]telah mengaitkan pengetahuan kepada penglihatan dalam upayanya untuk
mencapai sebuah pemahaman yang komprehensif dari realitas.
Pertentangan
yang terduga ini, bagaimanapun, tidak sesuai dengan fakta Alkitab. Perjanjian
Lama telah menggabungkan kedua jenis pengetahuan, sejak pendengaran sabda Allah
disertai dengan keinginan untuk melihat wajah-Nya. Oleh karena itu, dasar telah
diletakkan untuk sebuah dialog dengan budaya Helenistik, sebuah dialog hadir di
inti Kitab Suci. Pendengaran menekankan panggilan pribadi dan ketaatan, dan
fakta bahwa kebenaran dinyatakan dalam waktu. Penglihatan memberikan sebuah
visi dari keseluruhan perjalanan dan menerima perjalanan tersebut untuk
ditempatkan dalam rencana Allah secara keseluruhan; tanpa visi ini, yang
tersisa pada kita hanyalah bagian-bagian yang tidak berhubungan dari sebuah
keseluruhan yang tidak diketahui.
30. Ikatan
antara penglihatan dan pendengaran dalam pengetahuan-iman yang paling jelas
terbukti dalam Injil Yohanes. Bagi Injil ke-Empat ini, percaya adalah mencakup
hal mendengar maupun melihat. Pendengaran iman muncul sebagai sebuah bentuk
dari pengenalan yang layak bagi kasih: pendengaran ini merupakan sebuah
pendengaran pribadi, seseorang yang mengenali suara Sang Gembala Yang Baik
(bdk.Yoh 10:3-5); sebuah pendengaran yang menuntut pemuridan, seperti halnya
dengan para murid-murid Kristus yang pertama: “Mendengar apa yang dikatakan-Nya
itu, [lalu]mereka pergi mengikuti Yesus” (Yoh. 1:37). Namun iman juga
dihubungkan dengan penglihatan. Melihat tanda-tanda yang telah diperbuat Yesus
seringnya menimbulkan iman, seperti dalam kasus orang-orang Yahudi yang,
setelah kebangkitan Lazarus, “setelah menyaksikan apa yang Dia lakukan, percaya
kepada-Nya” (Yoh 11:45). Di saat-saat yang lain, iman itu sendiri mengarah
kepada visi yang lebih dalam: “Jikalau kamu percaya, kamu akan melihat
kemuliaan Allah” (Yoh 11:40). Pada akhirnya, kepercayaan dan penglihatan
bersinggungan: “Siapapun yang percaya kepada-Ku, percaya kepada Dia yang telah
mengutus Aku. Dan barangsiapa melihat Aku, ia melihat Dia yang telah mengutus
Aku.” (Yoh 12:44-45). Digabungkan dengan pendengaran, penglihatan kemudian
menjadi sebuah cara dari mengikuti Kristus, dan iman muncul sebagai sebuah
proses dari tatapan, yang di mana mata kita berangsur terbiasa dengan memandang
dengan tajam jauh ke dalam. Maka, Paskah pagi diteruskan dari Yohanes yang,
berdiri di kegelapan awal pagi di hadapan makam yang kosong, “melihat dan
percaya” (Yoh 20:8), kepada Maria Magdalena yang, setelah melihat Yesus (bdk.
Yoh 20:14) dan ingin memegang-Nya, diminta untuk memandang-Nya saat Dia naik
kepada Bapa-Nya, dan akhirnya, kepada pengakuan penuh Maria Magdalena dihadapan
para murid-Nya: “Aku telah melihat Tuhan!” (Yoh 20:18).
Bagaimana
seseorang mencapai perpaduan antara pendengaran dan penglihatan ini? Hal ini
menjadi mungkin melalui pribadi Kristus sendiri, yang dapat dilihat dan
didengar. Dia adalah Sang Sabda yang menjadi daging, yang kemuliaan-Nya telah
kita lihat (bdk. Yoh 1:14). Terang iman adalah terang dari sebuah wajah yang di
dalamnya Bapa terlihat. Dalam Injil ke-Empat, kebenaran yang dicapai oleh iman
adalah wahyu dari Bapa dalam Sang Putra, dalam daging-Nya dan
perbuatan-perbuatan-Nya di bumi, sebuah kebenaran yang dapat didefinisikan
sebagai “kehidupan yang dipenuhi terang” dari Yesus.[24] Ini berarti bahwa
pengetahuan- iman tidak mengarahkan pandangan kita kepada sebuah kebenaran dalam
batin belaka.
Kebenaran
yang diungkapkan iman kepada kita adalah sebuah kebenaran yang berpusat pada
sebuah perjumpaan dengan Kristus, pada kontemplasi hidup-Nya dan pada kesadaran
akan kehadiran-Nya. Santo Thomas Aquinas berbicara tentang fides oculata
para rasul – sebuah iman yang melihat! – dalam kehadiran tubuh Tuhan yang
bangkit.[25] Dengan mata kepala mereka sendiri mereka
melihat Yesus yang bangkit dan mereka percaya; dengan kata lain, mereka mampu
untuk melihat lebih tajam ke kedalaman pemahaman dari apa yang telah mereka
lihat dan untuk mengakui iman mereka kepada Putera Allah, yang duduk di sebelah
kanan Bapa-Nya.
31. Hanya
dengan cara inilah, dengan menjadi daging, dengan berbagi kemanusiaan kita,
maka Pengetahuan yang tepat untuk kasih itu bisa sampai kepada buah hasil yang
penuh. Karena terang Kasih lahir ketika hati kita tersentuh dan kita membuka
diri kita terhadap kehadiran sang Kekasih itu di dalam hati, yang memampukan
kita untuk mengenali misteri-Nya. Dengan demikian kita dapat memahami mengapa,
bersama-sama dengan pendengaran dan penglihatan, Santo Yohanes dapat berbicara
tentang iman sebagai sentuhan, saat ia berkata dalam Surat Pertamanya: “Apa
yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami dan yang telah
kami raba dengan tangan kami, tentang Firman hidup” (1 Yoh 1:1). Dengan
menjelma menjadi daging dan datang di antara kita, Yesus telah menyentuh kita,
dan melalui sakramen-sakramen Dia terus menyentuh kita bahkan sampai hari ini,
dengan mengubah hati kita, Dia tak henti-hentinya memampukan kita untuk
mengakui dan menyatakan diri-Nya sebagai Putera Allah. Dalam iman, kita dapat
menyentuh-Nya dan menerima kekuatan rahmat-Nya. Santo Agustinus, berkomentar
tentang wanita yang menderita pendarahan yang telah menyentuh Yesus dan
disembuhkan (bdk. Luk 8:45-46), mengatakan: “Untuk menyentuh-Nya dengan hati
kita: itulah apa yang dimaksud dengan percaya”.[26] Kerumunan orang mendesak
Yesus, tetapi mereka tidak menggapai-Nya dengan sentuhan iman secara pribadi,
yang menangkap misteri bahwa Dia adalah sang Putera yang menyatakan Bapa-Nya.
Hanya ketika kita dibentuk menjadi satu dengan Yesus kita memperoleh mata yang
dibutuhkan untuk melihat-Nya.
0 comments:
Post a Comment