dari http://health.kompas.com Senin, 10 Januari 2011 | 09:38 WIB
ilustrasi dari koleksi Blog Domus
”Saya
seorang nenek dari beberapa cucu, tinggal bersama suami, sudah
merayakan ulang tahun perkawinan yang ke-50, jadi bisa ditebak usia saya
sudah di atas 70.
Kami hanya tinggal berdua, ditemani pembantu, anak-anak sudah punya rumah sendiri, secara berkala kami saling menengok. Rasanya tak banyak masalah, kecuali saya sudah mengidap penyakit, seperti osteoporosis, kolesterol, ada jantung juga.
Meskipun begitu, ada kegiatan menyenangkan yang tak pernah kami tinggalkan, yaitu bertemu teman- teman sebaya sejak masih muda dulu. Mereka adalah kelompok lansia mantan teman kantor suami dulu. Kami melakukan pertemuan arisan sebulan sekali, kadang piknik atau berolahraga bersama. Beberapa teman kami kemudian satu per satu meninggal dunia.
Nah, kami jadi suka mengamati dan membicarakan gejala ini. Beberapa teman laki-laki setelah ditinggal meninggal oleh istrinya lewat setahun, lalu datang ke arisan sambil membawa istri barunya. Sementara yang perempuan, meski sudah ditinggal suaminya bertahun-tahun, mereka tetap saja menjanda. Padahal, waktu baru ditinggal istri, mereka kelihatannya sedih sekali, tapi lewat setahun kok sudah punya gandengan lagi, dan pasti dengan perempuan yang jauh lebih muda.
Kami jadi bertanya-tanya, mengapa laki-laki lansia kok cenderung mudah ”melupakan” pasangannya yang sudah meninggal. Apa memang laki-laki itu secara psikologis dasarnya kurang setia ya?
Ny EMT di P
Lansia dan dampaknya
Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu diuraikan terlebih dahulu beberapa gambaran tentang lansia. Bila mengacu pada catatan dari WHO, usia rata-rata wanita di dunia delapan tahun lebih panjang dibandingkan pria, artinya usia harapan hidup wanita lebih lama. Dengan demikian, di masa lansia pasti lebih banyak jumlah wanita daripada prianya dan karenanya jauh lebih banyak wanita yang menjanda karena ditinggal meninggal lebih dahulu oleh pasangannya.
Selain itu, ada kecenderungan bahwa wanita menikah dengan pria yang lebih tua. Kesempatan untuk menikah lagi pada wanita lansia menjadi terbatas karena hanya ada sedikit pria di kelompok usianya. Pada usia 80-an ke atas, akan jauh lebih banyak wanita yang terus hidup daripada prianya, tapi mereka lebih mungkin mengalami sakit dan hidup dalam kemiskinan.
Peran jender dan standar ganda
Gambaran lansia di atas diperkuat oleh hal-hal yang telah dikondisikan selama kehidupan sebelumnya. Baik pria maupun wanita sejak kecil sudah terpapar pada yang disebut sebagai ”peran jender” masing-masing, yang kadang kala sangat terpisah secara kaku.
Menurut Janet Hyde (2007), dalam pola hubungan dengan lawan jenis, sejak masih muda wanita disosialisasi untuk meyakini bahwa aktivitas seksual adalah cara untuk menarik dan menjaga pasangan prianya, dan karena itu wanita harus mengendalikan atau memperlunak dorongan-dorongan seksual pria. Wanita terlibat dalam perilaku seksual hanya bila perlu memuaskan kebutuhan-kebutuhan pasangannya, sedangkan kebutuhan wanita sendiri tidak dipertimbangkan.
Di antara kaum muda, dikenal istilah having sex yang merupakan tujuan kaum pria, sedangkan kaum wanita ditekankan untuk avoiding sex, tapi wanita harus tetap menjaga daya tariknya secara fisik agar menarik perhatian pria.
Berkembanglah berbagai stereotipe yang menyatakan perilaku ini pantas buat pria, tapi tak pantas buat wanita. Misalnya wanita dipergunjingkan bila menikah dengan pria yang usianya jauh lebih muda, selain dianggap tak pantas, juga dianggap melanggar norma. Pertanyaannya: Norma mana yang dilanggar?
Berkembang pula adanya standar ganda seksualitas, seperti keterlibatan remaja pria dalam perilaku seksual memberi status tinggi dan menyatakan kedewasaan pada mereka. Tapi, bagi remaja putri, hubungan seksual akan merendahkan status, mengurangi penghargaan diri, dan dihubungkan dengan hal yang buruk.
Lebih lanjut, pria dewasa dengan rambut putih dipandang lebih positif karena justru menunjukkan kemapanannya, apalagi bila ia telah berhasil dengan karier kerjanya. Tidak demikian halnya bila itu terjadi pada wanita dewasa madya. Wanita yang tua, cacat, atau gemuk sering dipandang sebagai seseorang yang tak punya hak untuk hal-hal yang seksual karena mereka tidak sesuai dengan standar maskulin tentang kecantikan wanita.
Menjanda atau menduda
Masa menjanda atau menduda sama-sama merupakan suatu peristiwa hidup yang paling menekan (stressful). Menurut Hyde (2007), pada tahun-tahun pertama setelah kematian pasangan, duda maupun janda menunjukkan kehilangan dan kesedihan, tapi kemudian tergantung pada terkondisikan tidaknya mereka dengan peran-peran jender yang kaku sebelumnya. Bila pria terbiasa dirawat dan diladeni oleh pasangannya, maka kehidupan sebagai duda akan menjadi lebih berat. Terlebih bila lingkungannya juga mendorongnya untuk segera mempunyai pendamping.
Kematian pasangan lebih sulit dihadapi pria daripada wanita, apakah diukur dengan munculnya depresi, sakit, atau penyusulan kematian. Wanita jadi lebih mampu mengatasi kondisi menjadi janda. Alasan berikutnya adalah bahwa mereka memiliki persahabatan yang mendalam dengan orang lain yang telah dikembangkan bertahun-tahun sebelumnya. Mereka terbiasa memiliki jejaring sosial lebih besar.
Kemungkinan lain adalah bahwa perempuan lebih baik daripada pria dalam mengatasi masa berkabungnya, yaitu dalam mengekspresikan emosi mereka, sehingga bisa segera bangkit untuk menyesuaikan dirinya kembali. Sebagai janda, lansia juga cenderung memiliki teman senasib (sama-sama hidup sendiri) sehingga secara psikologis merasa lebih siap menghadapi kematian suami.
Jadi, masalahnya bukan pada setia atau tidaknya para lansia pria, tapi untuk melanjutkan kehidupan mereka sebagai duda sendirian tidak begitu didukung oleh ketahanan pribadinya maupun kondisi lingkungannya. Semoga penjelasan ini mencerahkan para orang lansia.
Salam bahagia dan sehat untuk Ibu.
Agustine Dwiputri, psikolog
Kami hanya tinggal berdua, ditemani pembantu, anak-anak sudah punya rumah sendiri, secara berkala kami saling menengok. Rasanya tak banyak masalah, kecuali saya sudah mengidap penyakit, seperti osteoporosis, kolesterol, ada jantung juga.
Meskipun begitu, ada kegiatan menyenangkan yang tak pernah kami tinggalkan, yaitu bertemu teman- teman sebaya sejak masih muda dulu. Mereka adalah kelompok lansia mantan teman kantor suami dulu. Kami melakukan pertemuan arisan sebulan sekali, kadang piknik atau berolahraga bersama. Beberapa teman kami kemudian satu per satu meninggal dunia.
Nah, kami jadi suka mengamati dan membicarakan gejala ini. Beberapa teman laki-laki setelah ditinggal meninggal oleh istrinya lewat setahun, lalu datang ke arisan sambil membawa istri barunya. Sementara yang perempuan, meski sudah ditinggal suaminya bertahun-tahun, mereka tetap saja menjanda. Padahal, waktu baru ditinggal istri, mereka kelihatannya sedih sekali, tapi lewat setahun kok sudah punya gandengan lagi, dan pasti dengan perempuan yang jauh lebih muda.
Kami jadi bertanya-tanya, mengapa laki-laki lansia kok cenderung mudah ”melupakan” pasangannya yang sudah meninggal. Apa memang laki-laki itu secara psikologis dasarnya kurang setia ya?
Ny EMT di P
Lansia dan dampaknya
Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu diuraikan terlebih dahulu beberapa gambaran tentang lansia. Bila mengacu pada catatan dari WHO, usia rata-rata wanita di dunia delapan tahun lebih panjang dibandingkan pria, artinya usia harapan hidup wanita lebih lama. Dengan demikian, di masa lansia pasti lebih banyak jumlah wanita daripada prianya dan karenanya jauh lebih banyak wanita yang menjanda karena ditinggal meninggal lebih dahulu oleh pasangannya.
Selain itu, ada kecenderungan bahwa wanita menikah dengan pria yang lebih tua. Kesempatan untuk menikah lagi pada wanita lansia menjadi terbatas karena hanya ada sedikit pria di kelompok usianya. Pada usia 80-an ke atas, akan jauh lebih banyak wanita yang terus hidup daripada prianya, tapi mereka lebih mungkin mengalami sakit dan hidup dalam kemiskinan.
Peran jender dan standar ganda
Gambaran lansia di atas diperkuat oleh hal-hal yang telah dikondisikan selama kehidupan sebelumnya. Baik pria maupun wanita sejak kecil sudah terpapar pada yang disebut sebagai ”peran jender” masing-masing, yang kadang kala sangat terpisah secara kaku.
Menurut Janet Hyde (2007), dalam pola hubungan dengan lawan jenis, sejak masih muda wanita disosialisasi untuk meyakini bahwa aktivitas seksual adalah cara untuk menarik dan menjaga pasangan prianya, dan karena itu wanita harus mengendalikan atau memperlunak dorongan-dorongan seksual pria. Wanita terlibat dalam perilaku seksual hanya bila perlu memuaskan kebutuhan-kebutuhan pasangannya, sedangkan kebutuhan wanita sendiri tidak dipertimbangkan.
Di antara kaum muda, dikenal istilah having sex yang merupakan tujuan kaum pria, sedangkan kaum wanita ditekankan untuk avoiding sex, tapi wanita harus tetap menjaga daya tariknya secara fisik agar menarik perhatian pria.
Berkembanglah berbagai stereotipe yang menyatakan perilaku ini pantas buat pria, tapi tak pantas buat wanita. Misalnya wanita dipergunjingkan bila menikah dengan pria yang usianya jauh lebih muda, selain dianggap tak pantas, juga dianggap melanggar norma. Pertanyaannya: Norma mana yang dilanggar?
Berkembang pula adanya standar ganda seksualitas, seperti keterlibatan remaja pria dalam perilaku seksual memberi status tinggi dan menyatakan kedewasaan pada mereka. Tapi, bagi remaja putri, hubungan seksual akan merendahkan status, mengurangi penghargaan diri, dan dihubungkan dengan hal yang buruk.
Lebih lanjut, pria dewasa dengan rambut putih dipandang lebih positif karena justru menunjukkan kemapanannya, apalagi bila ia telah berhasil dengan karier kerjanya. Tidak demikian halnya bila itu terjadi pada wanita dewasa madya. Wanita yang tua, cacat, atau gemuk sering dipandang sebagai seseorang yang tak punya hak untuk hal-hal yang seksual karena mereka tidak sesuai dengan standar maskulin tentang kecantikan wanita.
Menjanda atau menduda
Masa menjanda atau menduda sama-sama merupakan suatu peristiwa hidup yang paling menekan (stressful). Menurut Hyde (2007), pada tahun-tahun pertama setelah kematian pasangan, duda maupun janda menunjukkan kehilangan dan kesedihan, tapi kemudian tergantung pada terkondisikan tidaknya mereka dengan peran-peran jender yang kaku sebelumnya. Bila pria terbiasa dirawat dan diladeni oleh pasangannya, maka kehidupan sebagai duda akan menjadi lebih berat. Terlebih bila lingkungannya juga mendorongnya untuk segera mempunyai pendamping.
Kematian pasangan lebih sulit dihadapi pria daripada wanita, apakah diukur dengan munculnya depresi, sakit, atau penyusulan kematian. Wanita jadi lebih mampu mengatasi kondisi menjadi janda. Alasan berikutnya adalah bahwa mereka memiliki persahabatan yang mendalam dengan orang lain yang telah dikembangkan bertahun-tahun sebelumnya. Mereka terbiasa memiliki jejaring sosial lebih besar.
Kemungkinan lain adalah bahwa perempuan lebih baik daripada pria dalam mengatasi masa berkabungnya, yaitu dalam mengekspresikan emosi mereka, sehingga bisa segera bangkit untuk menyesuaikan dirinya kembali. Sebagai janda, lansia juga cenderung memiliki teman senasib (sama-sama hidup sendiri) sehingga secara psikologis merasa lebih siap menghadapi kematian suami.
Jadi, masalahnya bukan pada setia atau tidaknya para lansia pria, tapi untuk melanjutkan kehidupan mereka sebagai duda sendirian tidak begitu didukung oleh ketahanan pribadinya maupun kondisi lingkungannya. Semoga penjelasan ini mencerahkan para orang lansia.
Salam bahagia dan sehat untuk Ibu.
Agustine Dwiputri, psikolog
0 comments:
Post a Comment