Judul
tulisan ini memang memakai bahasa Jawa, yaitu Ngati-ati Ngadhepi Pepinginan yang berarti “Hati-hati dalam
Menghadapi Keinginan”. Judul ini menjadi topik dalam Seminar Dua Jam yang
menjadi bagian program Novena Ekaristi Seminar yang terjadi di Domus Pacis
Puren pada Minggu 5 Agustus 2018. Program ini menjadi alternatif pendampingan
iman kaum lansia Katolik. Pembicara dalam seminar hari itu adalah Prof. Dr.
Agustinus Supratiknya, seorang dosen dari Universitas Sanata Dharma.
A.
Macam-Macam Pepinginan
Bapak
Pratiknya mengetengahkan ada berbagai macam pepinginan
(keinginan) yang muncul dalam pengalaman hidup seseorang. Dalam hal ini orang
harus mampu memilah atau mengkatogerisasi adanya jenis-jenis pepinginan. Untuk hal ini beliau merujuk
ke Maslow, seorang ahli ilmu jiwa. Maslow membuat kategori kebutuhan dalam
gambaran piramidal sebagaimana terpapar di bawah.
Gambaran
piramidal yang teriris menjadi tiga menunjukkan adanya tiga kategori besar
kebutuhan hidup. Irisan terbawah merupakan kebutuhan-kebutuhan dasar yang kalau
terpenuhi akan meningkatkan kebutuhan di atasnya sampai ke kebutuhan puncak.
Bapak Pratiknya dalam paparannya mengatakan bahwa kebutuhan paling bawah
berkaitan dengan sikap cari untuk diri sendiri. Makin meningkat pemenuhan
kebutuhan makin membuat orang keluar dari dirinya sendiri.
Lebih untuk pemuasan diri
Yang
paling pertama untuk kebutuhan dasar berkaitan dengan kepentingan fisik.
Katanya yang terpenting untuk menjaga fisik adalah ketersediaan air yang
merupakan unsur terbesar dalam tubuh seseorang. Kemudian untuk rasa aman orang
menginginkan adanya pangan, sandang, dan papan (makan, pakaian, dan rumah). Rasa keberadaan dicintai akan
menjadi isi tingkat kerinduan berikutnya. Akhirnya rasa dihargai dalam hidup
bersama menjadi yang tertinggi dalam kebutuhan dasar.
Keluar dari diri
Pada
tahap ini orang makin keluar dari dirinya sendiri. Di sini orang akan mencari
dan berusaha memiliki pengetahuan untuk memahami apapun yang dihadapi. Kalau
ini terpenuhi, orang akan menginginkan adanya keindahan. Dengan terpenuhinya
keindahan orang akan menikmati segala yang baik dan teratur yang berbuahkan
pengembangan karakter dan watak.
Semakin keluar dari diri
Pada
tahap ini orang berjuang mewujudkan sikap cintanya pada orang lain. Segala
kewajiban dalam kebersamaan tidak dihayati sebagai beban tetapi sebagai
aktualisasi diri. Hal ini akan membawa sikap seseorang memandang segalanya
sebagai sarana mempersatukan diri dengan Yang Maha Tinggi. Semuanya untuk
memuliakan Tuhan.
B.
Cara Mensikapi Pepinginan
Satu
hal yang ditekankan adalah bahwa pepinginan
itu netral. Yang harus diwaspadai adalah bagaimana cara orang menyikapinya.
Untuk bagian ini Pak Pratiknya menggunakan pokok-pokok yang ditulis oleh almarhum
Rm. Y.B. Mangunwijaya, Pr. Dalam buku Ragawidya.
Ini adalah buku tentang kebijaksanaan orang berhadapan dengan keinginan-keinginan
ragawi (keinginan manusiawi?). Ada tiga cara yang disajikan.
·
Nguja-raga: Ini adalah
pemenuhan segala macam pepinginan
secara berlebihan atau tanpa batas. Orang berjuang untuk memuaskan diri dengan
menikmati apapun yang diinginkan. Keinginan ini, dengan merujuk ke bagan
Maslow, dapat yang ada dilapisan dasar atau menengah atau yang bagian atas.
·
Mati-raga: Mematikan
segala macam pepinginan secara tidak
wajar. Di sini orang menegatifkan keinginan sebagai hal yang membahayakan
keluhuran hidup.
·
Widi-raga: Orang memenuhi
pepinginan secara terukur. Sikap ini
mencerminkan sifat pribadi yang matang atau berintegritas.
C.
Sikap Hati-hati
bagi Kaum Usia Lanjut
Pada
bagian terakhir Pak Pratiknya mengetengahkan penghayatan pepinginan untuk
orang-orang di mana tua. Untuk ini ditampilkan pandangan Ericson baik bagan
perkembangan kepribadian orang dan sikap penghayatan tidak ideal dan yang ideal.
Penghayatan yang tidak ideal
- Mencerminkan sifat-sifat
buruk yang diperoleh dalam tahap-tahap perkembangan sebelumnya: sikap
tidak percaya pada orang lain, rasa malu, rasa bersalah, rasa rendah diri,
dan menunjukkan kekaburan bahkan kekacauan jati diri.
- Mencerminkan keyakinan
bahwa semua yang mereka capai hingga kini merupakan nasib atau kebetulan
belaka.
- Mencerminkan
ketidak-mampuan untuk menerima kenyataan bahwa inilah satu-satunya
kehidupan yang mereka miliki dan bahwa semua yang terjadi dalam kehidupan
tersebut merupakan buah dari usaha mereka sendiri.
- Mencerminkan sikap takut
menghadapi kematian dan tidak mampu menerima kenyataan bahwa kematian
merupakan bagian siklus kehidupan yang tak terelakkan.
- Mencerminkan
kecenderungan menyalahkan pihak lain atas berbagai kesulitan dan/atau
kegagalan yang pernah mereka alami.
- Mencerminkan
ketidak-mampuan menghadapi berbagai kesulitan dan/atau ancaman fisik
maupun ekonomi.
- Mencerminkan
kecenderungan melihat kembali kehidupan di masa lalu dengan perasaan serba
kurang puas dan penuh penyesalan.
- Mencerminkan sifat-sifat
orang yang tidak bahagia, pesimis, dan kurang puas dengan kehidupan
mereka.
- Mencerminkan sifat orang
yang menyongsong tahap akhir kehidupan sebagai pribadi yang gagal mencapai
kepenuhan diri.
- Mencerminkan sikap orang
yang terjebak pada perasaan kecewa dan serba menyalahkan pihak lain,
sehingga tidak mampu belajar menjadi lebih arif dari berbagai kesalahan
yang pernah diperbuat.
- Mencerminkan sikap dasar penuh kekecewaan-penyesalan, merasa tidak berdaya, dan tidak mampu menerima diri apa adanya.
Penghayatan yang ideal
- Mencerminkan sifat-sifat
baik yang diperoleh dalam tahap-tahap perkembangan sebelumnya: sikap
percaya pada orang lain, sifat mandiri, sifat penuh inisiatif, sifat
rajin, dan menunjukkan jati-diri yang jelas.
- Mencerminkan keyakinan
bahwa semua yang mereka capai hingga kini merupakan buah dari pilihan dan
usaha mereka sendiri.
- Mencerminkan keyakinan
bahwa inilah satu-satunya kehidupan yang mereka miliki dan bahwa semua
yang terjadi dalam kehidupan itu merupakan buah dari usaha mereka sendiri.
- Mencerminkan sikap mampu
menerima kematian sebagai bagian siklus kehidupan yang tak terelakkan.
- Mencerminkan kemampuan
untuk mengakui di hadapan diri mereka sendiri maupun di hadapan semua
orang lain bahwa mereka sendirilah yang bertanggung jawab atas semua
kesulitan dan kegagalan yang pernah mereka alami.
- Mencerminkan kemampuan
untuk tetap mempertahankan martabat dalam menghadapi aneka kesulitan yang
bersifat fisik maupun ekonomi.
- Mencerminkan kemampuan
melihat kembali kehidupan di masa lalu dengan penuh rasa puas, syukur, dan
penghargaan.
- Mencerminkan sifat-sifat
orang yang bahagia, optimis, dan puas dengan kehidupan mereka.
- Mencerminkan sifat orang
yang mampu menyongsong tahap akhir kehidupan sebagai pribadi yang mencapai
kepenuhan diri.
- Mencerminkan kemampuan
mengintegrasikan aneka pengalaman di masa lalu dengan realitas yang ada
sekarang, sehingga memiliki “kearifan” tentang cara menjalani kehidupan
secara penuh dan mengatasi aneka persoalan secara efektif.
- Mencerminkan sikap dasar
penuh rasa syukur, memiliki kendali atas kehidupannya sendiri, serta menerima
diri maupun orang lain apa adanya.
D.
Yang Pokok
Terukur
Dari
tanya-jawab yang muncul, akhirnya disimpulkan bahwa pepinginan itu netral. Orang bebas memiliki keinginan apapun. Yang
paling penting adalah cara memenuhinya. Di dalam Ragawidya almarhum Rm. Mangun menyatakan bahwa pegangan yang baik
adalah widi-raga, yaitu pemenuhan
keinginan secara terukur. Di dalam pembicaraan disadari bersama bahwa ukurannya
adalah sejauh tidak menimbulkan masalah
baik bagi diri sendiri maupun banyak orang. Dalam hal ini Rm. Bambang
merujuk pada salah satu ayat kutipan Kitab Suci yang menjadi bacaan Liturgi
hari itu “Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan
untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal, yang akan diberikan
Anak Manusia kepadamu; sebab Dialah yang disahkan oleh Bapa, Allah, dengan
meterai-Nya.” (Yoh 6:27) Bagi orang beriman pemenuhan keinginan harus menjadi
pewujudan iman, yaitu untuk mengikuti Tuhan Yesus Kristus sesuai dengan
perkembangan situasi hidup dan budaya setempat. Sebagai contoh adalah kondisi
orang sudah kena penyakit diabetes. Orang harus menyadari keadaan dirinya dan
menata yang disantap agar penyakit tidak menimbulkan masalah dalam menjaga kesegaran
tubuh dan tidak merepotkan orang lain karena menderita keparahan. Contoh lain,
sebagai kaum usia lanjut orang harus sadar mudah mengalami kerentanan penyakit
dan kejiwaan. Orang harus menata menu yang disantap dan tak perlu
membangga-banggakan kesuksesan masa lalu yang menimbulkan kemuakan generasi
masa kini.
0 comments:
Post a Comment