diambil dari http://katakombe.org/para-kudus
Pujangga Besar Gereja ini lahir pada tanggal 13 November 354 di Tagaste, Algeria, Afrika Utara dan diberi nama Aurelius Augustinus. Ia dibesarkan dan dididik di Karthago, dan dibaptis di Italia. Ibunya, St.Monika, adalah seorang Katolik yang saleh, sementara ayahnya, Patrisius seorang kafir. (Kelak ibunda St.Agustinus juga dinyatakan sebagai orang kudus dan menjadi pelindung bagi para ibu rumah tangga). Agustinus sendiri memilih menganut aliran Manikeanisme, yaitu aliran yang menolak Allah dan sangat mengagungkan rasionalisme.
Agustinus adalah seorang yang sangat cerdas. Pendidikan dan karier awalnya ditempuhnya dalam bidang filsafat dan retorika, seni persuasi dan bicara di depan publik. Awalnya Ia mengajar di Tagaste dan Karthago, namun ia ingin pergi ke Roma karena ia yakin bahwa di sanalah para ahli retorika yang terbaik dan paling cerdas berlatih. Karena itu pada usia 29 tahun Agustinus dan Alypius, sahabatnya, pergi ke Roma Italia. Setelah beberapa saat tinggal di ibukota kerajaan itu; Agustinus kembali merasa kecewa dengan sekolah-sekolah di Roma, yang dikatakan sangat menyedihkan dan kurang bermutu. Sahabat-sahabatnya yang mengetahui kecerdasannya segera memperkenalkannya kepada kepala kota Roma, Simakhus, yang saat itu sedang mencari seorang dosen retorika untuk istana kerajaan di Milano.
Agustinuslah yang kemudian mendapatkan pekerjaan itu dan pindah ke Milan untuk menerima jabatan itu pada akhir tahun 384. Pada usia 30 tahun karier Agustinus semakin bersinar. Ia dikenal sebagai seorang Professor yang sangat disegani di Milano. Namun demikian, Agustinus merasakan ketegangan dalam kehidupan di istana kerajaan.
Suatu hari ketika ia sedang duduk di keretanya untuk menyampaikan sebuah pidato penting di hadapan kaisar, ia melihat seorang pengemis mabuk yang dilewatinya di jalan ternyata hidupnya begitu bebas dan tidak diliputi kecemasan dibandingkan dirinya. Hal ini membuat ia semakin hari merasa semakin gelisah. Sama seperti kebanyakan dari kita di jaman sekarang, ia mencari-cari sesuatu dalam berbagai aliran kepercayaan untuk mengisi kekosongan jiwanya. Tanpa kehadiran Tuhan dalam hidupnya, jiwanya itu tetap kosong. Semua buku-buku ilmu pengetahuan yang dibacanya, tapi ia tidak menemukan kebenaran dan ketentraman jiwa.
Sejak awal tak bosan-bosannya ibunya menyarankan kepada Agustinus untuk membaca Kitab Suci di mana dapat ditemukan lebih banyak kebijaksanaan dan kebenaran daripada dalam ilmu pengetahuan. Tetapi, Agustinus meremehkan nasehat ibunya. Kitab Suci dianggapnya terlalu sederhana dan tidak akan menambah pengetahuannya sedikit pun.
Pada usia 31 tahun Agustinus mulai tergerak hatinya untuk kembali kepada Tuhan berkat doa-doa ibunya serta berkat ajaran St.Ambrosius, Uskup kota Milan. Namun demikian ia belum bersedia dibaptis karena belum siap untuk mengubah sikap hidupnya yang bergelimang kemewahan. Suatu hari, ia mendengar tentang dua orang yang serta-merta bertobat setelah membaca riwayat hidup St.Antonius Pertapa. Agustinus merasa malu.
“Apa ini yang kita lakukan?” teriaknya kepada Alypius. “Orang-orang yang tak terpelajar memilih surga dengan berani. Tetapi kita, dengan segala ilmu pengetahuan kita, demikian pengecut sehingga terus hidup bergelimang dosa!” Dengan hati yang sedih, Agustinus pergi ke taman dan berdoa, “Berapa lama lagi, ya Tuhan? Mengapa aku tidak mengakhiri perbuatan dosaku sekarang?” Sekonyong-konyong ia mendengar seorang anak menyanyi berulang-ulang, “Ambillah dan bacalah!” Agustinus mengambil Kitab Suci dan membukanya tepat pada ayat, “Marilah kita hidup dengan sopan seperti pada siang hari… kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya.” (Roma 13:13-14). Ini dia! teriak professor Agustinus dalam hatinya. Inilah yang ku cari. Sejak saat itu, Agustinus memulai hidup baru.
Pada tanggal 24 April 387 Agustinus dipermandikan oleh Uskup St.Ambrosius. Ia memutuskan untuk mengabdikan diri pada Tuhan dan dengan beberapa teman dan saudara hidup bersama dalam doa dan meditasi. Pada tahun 388, setelah ibunya wafat, Agustinus tiba kembali di Afrika. Ia menjual segala harta miliknya dan membagi-bagikannya kepada mereka yang miskin papa. Ia sendiri mendirikan sebuah komunitas religius. Atas desakan Uskup Valerius dan umat, maka Agustinus bersedia menjadi imam. Empat tahun kemudian Agutinus diangkat menjadi Uskup kota Hippo.
Semasa hidupnya Agustinus adalah seorang pengkhotbah yang ulung (lebih dari 350 khotbahnya yang terlestarikan diyakini otentik), dan dikenang akan perjuangannya melawan ajaran sesat Manikeanisme yang pernah dianutnya. Ia juga merupakan pahlawan iman Gereja melawan bidaah Donatis yang telah banyak meyesatkan umat beriman. Agustinus berusaha sekuat tenaga untuk membendung aliran sesat itu. Dalam sebuah debat terbuka dengan para Donatis, Agustinus mematahkan semua argumen mereka sehingga membuat banyak orang telah disesatkan berbalik kembali ke pangkuan Gereja Katolik.
Agustinus menulis surat-surat, khotbah-khotbah serta buku-buku dan mendirikan biara di Hippo untuk mendidik biarawan-biarawan agar dapat mewartakan injil ke daerah-daerah lain, bahkan ke luar negeri. Gereja Katolik di Afrika mulai tumbuh dan berkembang pesat.
Di dinding kamarnya, terdapat kalimat berikut yang ditulis dengan huruf-huruf yang besar : “Di sini kami tidak membicarakan yang buruk tentang siapa pun.” dan “Terlambat aku mencintai-Mu, Tuhan”. Agustinus menghabiskan sisa hidupnya untuk mencintai Tuhan dan membawa orang-orang lain untuk juga mencintai-Nya.
Agustinus wafat pada tanggal 28 Agustus 430 di Hippo dalam usia 76 tahun. Makamnya kini terletak di Basilika Santo Petrus di Roma. Kumpulan surat, khotbah serta tulisan-tulisannya adalah warisan Gereja yang amat berharga. Di antara ratusan buku karangannya, yang paling terkenal ialah “Pengakuan-Pengakuan” dan “Kota Tuhan”.
0 comments:
Post a Comment