diambil dari https://unio-indonesia.org/2019/02/19; ilustrasi dari album Blog Domus
MENGAPA ORANG DIMINTA “MENGASIHI MUSUH” ?
Rekan-rekan yang baik!
Gagasan pokok Injil Luk 6:27-38 bagi Minggu Biasa VII/C ini ialah “mengasihi musuh”. Tetapi apakah ada pastor paroki di wilayah pedesaan yang akan menasihati seorang petani agar diam saja bila saluran air ke sawahnya disempitkan orang dan malah menganjurkannya untuk merelakan seluruh jatah aliran airnya ke orang yang merugikannya itu? Apakah ini mengasihi musuh menurut Injil? Apakah penyalur tunggal suatu produk tidak akan protes bila tahu bahwa pabrik juga mengecer produk yang sama ke konsumen dengan harga yang lebih rendah? Bagaimana bila direktur pabrik itu mengutip Injil hari ini? Orang saleh ya saleh tapi apa akan berlaku begitu? Karikatur ini menunjukkan bahwa mengasihi musuh, memberkati orang yang mengutuk, mendoakan orang yang menjahati, membiarkan diri dianiaya memang acap kali terasa mengawang jauh dari kenyataan. Lalu bagaimana mengerti warta Injil hari ini dan membahasakannya bagi orang zaman ini?
BERNALAR TENTANG “MENGASIHI”
Memberikan sebelah pipi lain agar juga ditampar bukan hal yang gampang dicerna. Biasanya orang tidak terima dan segera membalas. Namun bila kasus menampar ini dimengerti sebagai kasus contoh tindakan kekerasan pada umumnya, duduk perkaranya bisa lebih membuat orang berpikir. Orang yang menjalankan kekerasan sering bukan orang yang merdeka. Mereka melakukannya untuk mempertahankan kekuasaan, kedudukan, perasaan lebih atas, ideologi, atau juga kebalikannya, perasaan ditindas. Orang-orang yang menjalankan kekerasan umumnya terbelit kekerasan yang melembaga. Dan inilah kenyataan dosa yang mengurung manusia. Tapi orang dapat memilih untuk tidak membalas kekerasan dengan kekerasan dan dengan demikian belajar untuk tidak melanggengkan atau membiarkan diri terlilit kekerasan. Dalam perumpamaan anak yang hilang (Luk 15:11-32), sang ayah mengeluarkan anak tadi dari kungkungan kekerasan. Ia tak membiarkan anaknya menghukum diri dengan hidup sebagai budak. Ia malah diperlakukan ayahnya secara khusus ketika pulang kembali. Anaknya yang sulung yang bekerja sepanjang hari merasa kurang senang. Namun ayah itu mengajarkan agar kesalahan jangan dibalas dengan hukuman, jangan kekerasan dilanggengkan. Perumpamaan itu menunjukkan bahwa non-kekerasan dapat dipakai sebagai jalan hidup yang membongkar rantai kebersalahan-hukuman-perasaan bersalah.
Pembicaraan dalam ketiga ayat pertama Injil hari ini (Luk 6:27-30, yakni mengasihi musuh, memberkati yang mengutuk, mendoakan yang menjahati, memberikan pipi lain agar juga ditampar, memberikan juga baju kepada yang meminta mantel, tak mengharapkan kembali) ditampilkan sebagai kasus-kasus contoh untuk membuat orang berpikir mengenai apa itu mengasihi. Dengan cara ini orang akan memperoleh ketajaman batin. Berbagai perilaku yang disebutkan di sana kiranya dimaksud untuk memperlihatkan bahwa pola tingkah laku yang ditentukan ukuran-ukuran “kawan-lawan”, “balas-membalas”, “memberi dengan perhitungan mendapat kembali” bukan pilihan satu-satunya.
Lebih jauh lagi, dalam ayat 31-35a dijelaskan bahwa sikap mengasihi, menginginkan kebaikan orang lain tanpa terpengaruh oleh kebusukannya, kesediaan memberi lebih sekalipun sulit dan menyakitkan disodorkan sebagai alternatif bagi pola pikiran orang yang tak merdeka, pola pikiran orang berdosa. Dalam hubungan inilah petunjuk “yang kauinginkan agar terjadi padamu, perbuatlah itu kepada orang lain” bisa menjadi dasar tingkah laku yang keluar dari akal sehat.
Alasan terdalam untuk memilih sikap mengasihi dst. itu kemudian terungkap dalam ayat 35b-36, yakni agar orang makin dapat memahami apa itu menjadi “anak-anak yang Maha Tinggi” dan lebih lagi, siapa sebenarnya Dia itu yang dipercaya semua orang. Sikap hidup yang bisa menghadirkan Bapa yang murah hati itu dirumuskan dalam bentuk petuah dalam ayat 37-38; jangan menghakimi, jangan menghukum, ampuni, berilah lebih, dan ukuran yang kamu pakai akan diukurkan kepadamu juga.
LATAR BELAKANG DAN PERSPEKTIF KE MASA KINI
Sebetulnya gagasan mengasihi musuh itu juga sudah muncul dalam Perjanjian Lama. Boleh kita ingat isi Kel 23:4-5 yang bunyinya begini: “Apabila engkau melihat lembu musuh-musuhmu atau keledainya sesat, maka segeralah kaukembalikan binatang itu. Apabila kamu melihat keledai musuhmu itu rebah karena berat bebannya, maka janganlah engkau enggan menolongnya …” Gagasan ini bergema dalam Ul 22:1-4 dan di sana malah ditambah bahwa “musuh”-mu itu sesungguhnya adalah “saudara”-mu juga. Kategori musuh-musuhan diubah menjadi kategori solidaritas.
Boleh jadi bagi orang zaman sekarang juga, kesediaan membantu “musuh” yang sedang ada dalam kesukaran lebih mudah dipahami bila diungkapkan sebagai solidaritas menanggapi kesusahan, suatu cara menyikapi perkara-perkara yang bisa membuahkan rekonsiliasi – mencoret permusuhan. Orang seperti Yesus bisa memiliki solidaritas dengan orang yang jauh dari Tuhan. Bahkan bisa integritas warta Yesus bergantung pada ada tidaknya solidaritasnya dengan orang-orang yang dikasihi Tuhan, sekalipun berdosa. Juga ketepercayaan wartanya bergantung pada terjadi atau tidaknya rekonsiliasi dengan Tuhan dan sesama.
Im 19:18 juga mengungkapkan kesadaran untuk tidak membalas perlakuan buruk dengan perlakuan buruk. Bagian kitab ini termasuk dalam petunjuk-petunjuk hidup suci sebagai Umat Tuhan, khususnya dalam hal upaya rekonsiliasi antar sesama (lihat ayat 17). Dalam ayat itu dikatakan, “Jangan engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia yang seperti engkau itu. Akulah Tuhan”. Kalimat terakhir ini menegaskan bahwa upaya hidup berdamai kembali dengan sesama itu memiliki makna yang dalam bila dimensi sakral “Akulah Tuhan” tadi diterima. Hal ini juga tampil dalam Luk 6:35-36 yang mengutarakan tujuan mengapa orang diajak mengasihi musuh, yakni agar orang makin memahami apa artinya menjadi “anak-anak yang Maha Tinggi” dan lebih lagi, mengenal siapa sebenarnya Dia itu yang dipercaya semua orang.
Jadi dalam bahasa orang zaman ini, solidaritas dan rekonsiliasi dapat ditampilkan sebagai tafsir ajaran mengasihi musuh dalam Injil hari ini. Namun sekali lagi semua itu tidak akan besar maknanya bila dimensi yang ilahi, dimensi sakralnya kehadiran Tuhan tidak diikutsertakan.
DAUD DAN SAUL
Dalam bacaan pertama, yakni 1Sam 26:2.7-9.12-13.22-33, dikisahkan bagaimana Daud mendapati Saul sedang terlena. Sebetulnya Daud dapat membiarkan musuhnya itu dibinasakan Abisai. Memang Saul ingin menyingkirkan Daud. Tetapi tak diizinkannya Abisai membalaskan permusuhan ini. Daud hanya mengambil tombak dan kendi Saul sebagai tanda bahwa bila mau ia bisa mencelakainya. Mengapa ia tidak membiarkan musuhnya itu dihabisi? Daud mengatakan dalam 1Sam 26:9 “Siapakah yang dapat menjamah orang yang diurapi Tuhan dan bebas dari hukuman?” Kemudian dalam ayat 23, ia berkata kepada Saul, kendati musuh, Saul itu tetap orang yang diurapi Tuhan, maka keramat, sakral, tak boleh diganggugugat. Harga nyawa Saul itu tak bergantung pada Saul sendiri, tapi pada pikiran Tuhan mengenai Dia. Siapa yang melanggar bakal tidak selamat. Pada akhir episode ini Daud mohon agar dirinya juga dianggap berharga di hadapan Tuhan. Daud tidak membalas kekerasan Saul dengan kekerasan. Teologi naratif seperti ini mau mengatakan bahwa kekerasan tak perlu selalu dibiarkan berbuntut kekerasan. Kemurahan sebaliknya melahirkan kemurahan pula.
Dalam zaman ini mungkin bisa dikatakan tokoh seperti Daud itu menghadapi orang yang membencinya dengan “non-kekerasan”. Dengan berbuat demikian ia malah menginsyafkan Saul. Dan bahkan akhirnya Saul memberkati Daud (ayat 25, tidak dibacakan hari ini). Kita tahu siapa Daud. Ia bukan orang yang sepenuhnya bersih. Saul juga bukan melulu orang yang berkelakuan buruk. Kisah Saul dan David dalam bacaan pertama ini menunjukkan bahwa rekonsiliasi dan non-kekerasan bisa terjadi di antara orang-orang yang bukan seluruhnya bersih tetapi yang masih bisa menghargai kehadiran Yang Keramat. Gemanya terdengar dalam Injil hari ini juga.
Salam hangat,
A. Gianto
0 comments:
Post a Comment