Ini adalah paparan dari yang terjadi di ruang pertemuan Paroki Santo Ignatius Magelang pada hari Minggu 30 November 2014. Pada hari itu Paroki mengadakan pertemuan untuk para janda dan duda dengan mengundang Rama Bambang dari Domus Pacis, rumah tua para rama praja di Puren, Yogyakarta. Lebih dari 60 orang, yang mayoritas adalah para janda, hadir dalam pertemuan ini. Tim Kerja Pendampingan Umat yang menyelenggarakan pertemuan ini mengambil tema "Menghayati Hidup Kesendirian Sebagai Duda dan Janda dengan Mengandalkan Tuhan dan Kasih Sesama".
PENGALAMAN DITINGGAL PASANGAN
Langkah pertama dari pembicaraan dilakukan dengan menggali pengalaman para peserta dalam hidup sendiri ditinggal oleh pasangan.
1. Perasaan Tidak Enak
Dari sharing yang muncul dari banyak peserta ternyata hidup sendiri ditinggal pasangan menimbulkan perasaan tidak enak pada 2 atau 3 tahun pertama. Perasaan-perasaan yang muncul:
- Lingak linguk. Ini adalah istilah dari bahasa Jawa yang secara harfiah menggambarkan arah pandang kosong dengan menggerakkan kepala dari kanan ke kiri atau dari kiri ke kanan. Istilah lingak-linguk mengungkapkan perasaan dan pikiran yang diwarnai nuansa bingung karena tidak tahu mau berbuat apa. Orang seperti kehilangan pegangan dalam menjalani kehidupan sehari-hari karena ditinggal oleh pasangan.
- Kemba. Istilah kemba terutama muncul dalam dunia kuliner dimana masakan tidak mengandung cukup bumbu atau bahkan lupa akan bumbu tertentu sehingga terasa kurang atau tidak nyaman. Hilangnya pasangan membuat orang merasa ada sesuatu yang kurang sehingga segala tindakan dan pikirannya selalu terasa ada kurangnya.
- Kesepian. Ditinggal oleh pasangan juga dapat membuat orang mengalami hati terasa terpencil seperti tidak ada yang diajak bicara. Dunia pun terasa lengang.
- Nlangsa. Ditinggal oleh pasangan dapat membuat perasaan lengang. Gairah batin dapat hilang dan orang bisa tidak bersemangat dalam menjalani hidup.
Terhadap perasaan tidak enak itu ada pengalaman proses menuju hidup biasa. Ini berkaitan dengan olah batin yang terjadi dalam doa dan keheningan. Dengan proses ini muncul tiga macam pengalaman:
- Pasrah. Rasa tidak enak karena ditinggal oleh pasangan diserahkan kepada Tuhan. Penyerahan diri dengan segala kenyataannya secara terus menerus membuat hidup dapat membiasakan diri dengan keadaan.
- Bersama Yesus tidak takut. Dengan doa dan keheningan ternyata perasaan takut dan khawatir karena hidup sendiri dapat teratasi. Hal ini diyakini karena ada penyertaan Tuhan Yesus dalam hidup sehari-hari.
- Merujuk kehidupan biara. Ada satu pengalaman yang menarik untuk disimak. Seorang peserta dalam gundah kesendiriannya teringat akan pola hidup bakti menjadi suster, bruder, dan imam. Ternyata pola hidup bakti menjadi inspirasi untuk menghayati kesendiriannya tanpa pasangan.
Hidup sendiri ditinggal pasangan rasanya menjadi biasa ketika orang menemukan isi hidup yang memberikan hiburan batin. Beberapa pengalaman muncul:
- Main dengan cucu. Ternyata bagi yang hidup bersama anak dan cucu, kesempatan bermain-main dengan cucu menghadirkan kegembiraan khusus.
- Aktif pelayanan dalam Gereja. Banyak kegiatan diketemukan dalam kehidupan Gereja. Ikut ambil bagian dalam pelayanan keagamaan juga memberikan kebanggaan yang dapat mengisi kesendirian. Bahkan ada seorang ibu yang menjadi Prodiakon Paroki mendapatkan kegembiraan khusus bila mendapatkan jadual pelayanan persis bersamaan dengan cucu yang mendapatkan giliran tugas misdinar.
- Ikut Fransiskan Sekuler. Peserta, yang merujuk ke pengalaman pola hidup bakti, menemukan adanya kesempatan ikut ordo keempat Fransiskan, yang bernama Fransiskan Sekuler. Ini adalah kelompok awam yang menghayati spiritualitas Santo Fransiskus untuk menghayati secara khusus hidup kemurnian. Peserta ini juga membuat salah satu kamar di rumahnya menjadi ruang doa.
Salah satu peserta yang sudah cukup lama ditinggal suami ternyata selalu gelisah justru karena merasakan anak yang selalu ingat ayahnya. Anak ini sejak kecil amat dekat dengan almarhum. Terutama dalam peristiwa-peristiwa khusus sampai sudah menjadi mahasiswa pun si anak kerap melamun berpikir tentang sang ayah.
BEBERAPA MASUKAN
Terhadap pengalaman-pengalaman tersebut muncullah masukan sebagai berikut.
1. Sadar Realita
Pengalaman peserta menunjukkan bahwa dengan menyadari kenyataan bahwa kini hidup sendiri, hal ini menjadi pintu datangnya kehidupan yang wajar dan memberikan ketenangan. Yang biasa mengganggu adalah bila seseorang berpikir secara irasional, yang membuat hidup tidak sesuai dengan kenyataan. Hal ini amat penting karena dengan berpegang pada kenyataan orang justru mudah terpacu bersikap dinamis dan terbuka pada kemungkinan-kemungkinan baru. Hal ini amat penting untuk menghayati iman Kristiani, karena sesuai dengan Arah dasar Umat Allah Keuskupan Agung Semarang (Ardas KAS) beriman iadalah mengikuti Tuhan Yesus Kristus dalam perkembangan situasi hidup dan budaya setempat (band Ardas KAS1996-2000).
2. Pentingnya Olah Batin
Bagaimanapun hidup tanpa pasangan membuat orang banyak mengalami kesendirian. Orang dapat berceritera tentang anak-anak dan bahkan cucu-cucu dengan berbagai corak hidupnya. Tetapi dalam realita dapat terjadi anak-cucu itu tidak tinggal bersama. Dia sendirian di rumahnya. Atau dapat saja seorang duda atau janda tinggal bersama dengan anak dan cucu-cucunya. Namun demikian mereka sibuk dengan tugas dan kegiatannya sehingga kesempatan untuk berjumpa bercengkerama harus dengan perjanjian. Sebagian besar waktunya terisi dalam kesendirian. Apalagi kenyataan umur yang makin tua membuat kegiatan fisik menjadi amat minim sehingga tidur sebentar saja badan sudah segar. Tidur malam pun sudah terbangun pada dini hari. Waktu terjaga jauh lebih banyak.
Keadaan banyak terjaga dalam kesendirian sebenarnya adalah rahmat untuk olah batin menghayati diri sebagai ciptaan yang dianugerahi roh ilahi. Kesempurnaan batin seseorang menurut Beata Theresa berpusat pada keheningan. Dengan hening orang berdoa, dengan doa orang beriman, dengan iman orang mengasihi, dengan kasih orang melayani, dengan melayani orang mengalami kedamaian. Kedamaian ini menjadikan orang hidup dalam keheningan sehingga itu menjadi proses dialektika hidup rohani. Di dalam pola hidup orang Jawa ini menjadi proses pengembangan hidup yang berproses secara dialektik dengan ungkapan NENG NING NUNG NANG. Neng kependekan dari kata meneng yang berarti diam. Untuk melakukan olah batin orang harus membiasakan diri mengambil waktu untuk "diam". Dalam hati orang mengucapkan kata untuk menyebut berkali-kali Allah misalnya dengan kata "Tuhan" atau "Gusti" atau "Yesus" atau sebutan lain. Di sini orang akan mengalami ning, kependekan kata wening, sebagai keadaan "hening" atau jernih sehingga orang dapat menyadari apapun yang dipikir, dirasa, dan dibayangkan. Dengan membiasakan menjalani proses ini berkali-kali dari hari ke hari, orang akan sampai pada nung atau dunung yang berarti "memahami". Dari keheningan orang dapat tahu apa yang sebaiknya dibuat atau dilakukan untuk kemajuan dan perkembangan hidupnya. Dan akhirnya, karena semua itu adalah pengalaman dibimbing oleh Roh, orang akan nang atau menang, yaitu "mampu melaksanakan" apa yang dipahami. Dengan demikian kesendirian justru menjadi rahmat orang untuk mengalami bimbingan Roh sehingga hatinya selalu hening dalam keadaan apapun. Dari sini orang memiliki daya untuk selalu maju dan berkembang sekalipun sudah tua bahkan lansia sesuai dengan situasi kongkret.
0 comments:
Post a Comment