diambil dari https://sabdalangit.wordpress.com/category
TINGKAT 1 (Neng;
sembah raga)
Jumeneng; menjalankan
“syariat”. Namun makna syariat di sini mempunyai dimensi luas. Yakni dimensi
“vertikal” individual kepada Tuhan, maupun dimensi sosial “horisontal” kepada
sesama makhluk. Neng, pada hakekatnya sebatas melatih dan membiasakan diri
melakukan perbuatan yang baik dan bermanfaat untuk diri pribadi, dan lebih
utama untuk sesama tanpa pilih kasih. Misalnya seseorang melaksanakan sembahyang
dan manembah kepada Tuhan dengan cara sebanyak nafasnya, guna membangun
sikap eling danwaspadha. Neng adalah tingkat
dasar, barulah setara “sembah raga” misalnya menyucikan diri dengan air,
mencuci badan dengan cara mandi, wudlu, gosok gigi, upacara jamasan, tradisi
siraman dsb. Termasuk mencuci pakaian dan tempat tinggal. Orang dalam tingkat
“neng”, menyebut dan “menyaksikan” Tuhan barulah melalui pernyataan dan ucapan
mulut saja. Kebaikan masih dalam rangka MELATIH diri mengendalikan hawa nafsu
negatif, dengan bermacam cara misalnya puasa, semadi, bertapa, mengulang-ulang
menyebut nama Tuhan dll. Melatih diri mengendalikan hawa nafsu agar bersifat
positif dengan cara misalnya sedekah, amal jariah, zakat, gotong royong, peduli
kasih, kepedulian sosial dll. Melatih diri untuk menghargai dan mengormati
leluhur, dengan cara ziarah kubur, pergi haji, mengunjungi situs-situs sejarah,
belajar dan memahami sejarah, dst. Melatih diri menghargai dan menjaga alam
semesta sebagai anugrah Tuhan, dengan cara upacara-upacara ritual, ruwatan
bumi, larung sesaji, dst. Tahapan ini dilakukan oleh raga kita, namun BELUM
TENTU melibatkan HATI dan BATIN kita secara benar dan tepat.
Kehidupan
sehari-harinya dalam rangka latihan menggapai tataran lebih tinggi, artinya
harus berbuat apa saja yg bukan perbuatan melawan rumus Tuhan. Tidak hanya
berteori, kata kitab, kata buku, menurut pasal, menurut ayat dst. Namun
berusaha dimanifestasikan dalam perilaku dan perbuatan kehidupan sehari-hari. Perbuatannya
mencerminkan perilaku sipat zat (makhluk) yang selaras dengan sifat hakekat (Tuhan). Tanda
pencapaiannya tampak pada SOLAH. Solah artinya perilaku atau
perbuatan jasadiah yang tampak oleh mata misalnya; tidak mencelakai orang lain,
perilaku dan tutur kata menentramkan, sopan dan santun, wajah ramah, ngadi busana atau cara
berpakaian yang pantas dan luwes menghargai badan. Akan tetapi perilaku
tersebut belum tentu dilakukan secara sinkron dengan BAWA-nya.BAWA yakni “perilaku”
batiniah yang tidak tampak oleh mata secara visual.
Titik Lemah
Pada tataran awal ini
meskipun seseorang seolah-olah terkesan baik namun belum menjamin pencapaian
tataran spiritual yang memadai, dan belum tentu diberkahi Tuhan. Sebab
seseorang melakukan kebaikan terkadang masih diselimutirahsaning karep atau nafsu negatif;
rasa ingin diakui, mendapat nama baik atau pujian. Bahkan seseorang melakukan
suatu kebaikan agar kepentingan pribadinya dapat terwujud. Maka akibat yang
sering timbul biasanya muncul rasa kecewa, tersinggung, marah, bila tidak
diakui dan tidak mendapat pujian. Kebaikan seperti ini boleh jadi bermanfaat
dan mungkin baik di mata orang lain. Akan tetapi dapat diumpamakan belum
mendapat tempat di “hati” Tuhan. Kredit point nya masih nihil.Banyak orang merasa
sudah berbuat baik, beramal, sodaqah, suka menolong, membantu sesama, rajin
doa, sembahyang. Tetapi sering
dirundung kesialan, kesulitan, tertimpa kesedihan, segala urusannya mengalami
kebuntuan dan kegagalan. Lantas dengan segera menyimpulkan bahwa musibah atau
bencana ini sebagai cobaan (bagi orang-orang beriman).
Pada tataran ini,
seseorang masih rentan dikuasai nafsu ke-aku-an (api/nar/iblis). Diri sendiri
dianggap tahu segala, merasa suci dan harus dihormati. Siapa yang berbeda
pendapat dianggap sesat dan kafir. Konsekuensinya; bila memperdebatkan (kulit
luarnya) ia menganggap diri paling benar dan suci, lantas muncul sikap golek benere dewe,
golek menange dewe, golek butuhe dewe. Ini sebagai ciri seseorang yang belum
sampai pada intisari ajaran yang dicarinya. Durung becus keselak besus !
TINGKAT 2 (Ning;
sembah kalbu)
Wening atau hening; ibarat mati
sajroning urip; kematian di dalam hidup. Tataran ini sepadan dengan tarekat.
Menggambarkan keadaan hati yang selalu bersih dan batinnya selalu eling lan waspadha. Eling adalah sadar dan
memahami akan sangkan paraning dumadi (asal usul dan tujuan manusia) yang digambarkan
sebagai “kakangne mbarep adine wuragil” (lihat dalam posting; Saloka Jati). Waspadha terhadap apa
saja yang dapat menjadi penghalang dalam upaya “menemukan” Tuhan (wushul).
Yakni penghalang proses penyelarasan kehidupan sehari-hari (sifat zat) dengan
sifat hakekat (Tuhan). Ning dicapai setelah hati dapat
dilibatkan dalam menjalankan ibadah tingkat awal atau Neng; yakni hati yg ikhlasdan tulus, hati yang sudah
tunduk dan patuh kepada sukma sejati yang suci dari semua nafsu negatif. Hati
semacam ini tersambung dengan kesadaran batin maupun akal budi bahwa amal
perbuatan bukan semata-mata mengaharap-harap upah (pahala) dan takut ancaman (neraka).
Melainkan kesadaran memenuhi kodrat Tuhan, serta menjaga keharmonisan serta sinergi
aura magis antara jagad kecil (diri pribadi) dan jagad besar (alam semesta).
Tataran ini dicapai melaluiempat macam bertapa; tapa ngeli, tapa
geniara, tapa banyuara, tapa mendhem atau ngluwat.
1. Tapa ngeli;
harmonisasi vertikal dan horisontal. Yakni berserah diri dan menselaraskan
dengan kehendak Tuhan. Lalumensinergikan jagad kecil (manusia) dengan jagad
besar (alam semesta).
2. Tapa geniara;
tidak terbakar oleh api (nar) atau nafsu negatif yakni ke-aku-an. Karena
ke-aku-an itu tidak lain hakekat iblis dalam hati.
3. Tapa banyuara;
mampu menyaring tutur kata orang lain, mampu mendiagnosis suatu masalah, dan
tidak mudah terprovokasi orang lain. Tidak bersikap reaksioner (ora kagetan), tidak berwatak
mudah terheran-heran (ora gumunan).
4. Tapa mendhem;
tidak membangga-banggakan kebaikan, jasa dan amalnya sendiri. Terhadap sesama
selalu rendah hati, tidak sombong dan takabur. Sadar bahwa manusia derajatnya
sama di hadapan Tuhan tidak tergantung suku, ras, golongan, ajaran, bangsa
maupun negaranya. Tapa mendhem juga berarti selalu mengubur semua amal kebaikannya
dari ingatannya sendiri. Dengan demikian seseorang tidak suka
membangkit-bangkit jasa baiknya. Kalimat pepatah Jawa sbb: tulislah kebaikan
orang lain kepada Anda di atas batu, dan tulislah kebaikan Anda pada orang lain
di atas tanah agar mudah terhapus dari ingatan.
Titik Lemah
Jangan lekas puas dulu
bila merasa sudah sukses menjalankan tataran ini. Sebab pencapaian tataran
kedua ini semakin banyak ranjau dan lobang kelemahan yang kapan saja siap
memakan korban apabila kita lengah. Penekanan di sini adalah pentingnya
sikap eling dan waspadha. Sebab kelemahan
manusia adalah lengah, lalai, terlena, terbuai, merasa lekas puas diri. Tataran
kedua ini melibatkan hati dalam melaksanakan segala kebaikan dalam perbuatan
baik sehari-hari. Yakni hati harus tulus dan ikhlas. Namun..ketulusan dan
keikhlasan ini seringkali masih menjadi jargon, karena mudah diucapkan oleh
siapapun, sementara pelaksanaannya justru keteteran. Dalam falsafah hidup
Kejawen, setiap saat orang harus selalu belajar ikhlas dan tulus setiap saat
sepanjang usia.
Belajar ketulusan merupakan mata pelajaran yang tak pernah usai sepanjang masa.
Karena keberhasilan Anda untuk tulus ikhlas dalam tiap-tiap kasus belum tentu
berhasil sama kadarnya. Keikhlasan dipengaruhi oleh pihak yang terlibat,
situasi dan kondisi obyektifnya, atau situasi dan kondisi subyek mental kita
saat itu.
TINGKAT 3 (Nung; sembah
cipta)
Kesinungan ; yakni
dipercaya Tuhan untuk mendapatkan anugrah tertentu. Orang yang telah mencapai
tataran Kesinungan dialah
yang mendapatkan “hadiah” atas amal kebaikan yang ia lakukan. Ini mensyaratkan
amal kebaikan yang memenuhi syarat, yakni kekompakan serta sinkronisasi lahir
dan batin dalam mewujudkan segala niat baik menjadi tindakan konkrit. Yakni
tindakan konkrit dalam segala hal yang baik misalnya membantu & menolong
sesama. Syarat utamanya; harus dilakukan terus-menerus hingga menyatu dalam
prinsip hidup, dan tanpa terasa lagi menjadi kebiasaan sehari-hari.
Pencapaian tataran ini
sama halnya laku hakekat.
Laku hakekat adalah meliputi keadaan hati dan batin; sabar, tawakal, tulus,
ikhlas, pembicaraannya menjadi kesejatian (kebenaran), yang sejati menjadi
kosong, hilang lenyap menjadi ada. Tataran ini ditandai oleh pencapaian
kemuliaan yang sejati, seseorang mendapatkan kebahagiaan dan kemuliaan di dunia
dan kelak setelah ajal. Pada tahap ini manusia sudah mengenal akan jati dirinya
dan mengenal lebih jauh sejatinya Tuhan. Manusia yang telah lebih jauh memahami
Tuhan tidak akan berfikir sempit, kerdil, sombong, picik dan fanatik. Tidak munafik
dan menyekutukan Tuhan. Ia justru bersikap toleran, tenggang rasa, hormat
menghormati keyakinan orang lain. Sikap ini tumbuh karena kesadaran
spiritual bahwa ilmu sejati, yang nyata-nyata bersumber pada Yang Maha Tunggal,
hakekatnya adalah sama. Cara atau jalan mana yang ditempuh adalah persoalan
teknis. Banyaknya jalan atau cara menemukan Tuhan merupakan bukti bahwa Tuhan
itu Mahaluas tiada batasnya. Ibarat sungai yang ada di dunia ini jumlahnya
sangat banyak dan beragam bentuknya; ada yang dangkal, ada yang dalam,
berkelok, pendek dan singkat, bahkan ada yang lebar dan berputar-putar. Toh
semuanya akan bermuara kepada Yang Tunggal yakni “samudra luas”.
NAH, orang seperti ini
akan “menuai” amal kebaikannya. Berkat rumus Tuhan di mana kebaikan akan berbuah
kebaikan pula. Kebaikan yang anda berikan, “buahnya” akan anda terima pula.
Namun demikian kebaikan yang anda terima belum tentu datang dari orang yang
sama, malah biasanya dari pihak lainnya. Kebaikan yang anda peroleh itu
merupakan “buah” dari “pohon kebaikan” yang pernah anda tanam sebelumnya.
Selebihnya, kebaikan yang anda lakukan akan menjadi pagar gaib yang selalu menyelimuti
diri anda. Singkat
kata, pencapaian Nung,
ditandai dengan diperolehnya kemudahan dan hikmah yang baik dalam segala
urusan. Pagar gaib itu akan membuat kita tidak dapat dicelakai orang lain.
Sebaliknya selalu mendapatkan keberuntungan. Dalam terminologi Jawa inilah yang
disebut sebagai “ngelmu beja”.
Untuk meraih tataran
ini, terlebih dahulu kita harus mengenal jati diri secara benar. Dalam diri
manusia setidaknya terdapat 7 lapis bumi yang harus diketahui manusia. Jika
tidak diketahui maka menjadi manusia cacad dan akan gagal mencapai tataran ini.
Bumi 7 lapis tersebut adalah ; retna, kalbu, jantung, budi, jinem, suksma, dan
ketujuhnya yakni bumi rahmat.
1. Bumi Retna;
jasad dan dada manusia sesungguhnya istana atau gedung mulia.
2. Bumi Kalbu;
artinya istana iman sejati.
3. Bumi Jantung;
merupakan istana semua ilmu.
4. Bumi budi;
artinya istana puji dan zikir.
5. Bumi Jinem;
istananya kasih sayang sejati.
6. Bumi suksma;
yakni istana kesabaran dan rasa sukur kepada Tuhan; sukma sejati.
7. Bumi Rahmat;
istana rasa mulia; rahsa sejati.
Titik Lemah
Nung, setara dengan
Hakekat, di sini ibarat puncak kemuliaan. Semakin tinggi tataran spiritual,
maka sedikit saja godaan sudah dapat menggugurkan pencapaiannya. Maka,
semakin tinggi puncak dan kemuliaan seseorang ; maka semakin besar resiko
tertiup angin dan jatuh. Seseorang yang merasa sudah PUAS dan
BANGGA dengan pencapaian hakekat ini bersiko terlena. Lantas menganggap
orang lain remeh dan rendah. Yang paling berbahaya adalah menganggap tataran
ini merupakan tataran tertinggi sehingga orang tidak perlu lagi berusaha
menggapai tataran yang lebih tinggi.
Tingkat 4 (Nang;
sembah rahsa)
Nang merupakan
kemenangan. Kemenangan adalah anugrah yang anda terima. Yakni kemenangan
anda dari medan perang. Perang antara nafsu negatif dengan positif. Kemenangan
NUR (cahya sejati nan suci) mengalahkan NAR (api; ke-aku-an/”iblis”). Manusia
NAR adalah seteru Tuhan (iblis laknat). SEBALIKNYA; manusia NUR adalah memenuhi
janji atas kesaksian yg pernah ia ucapkan di mulut dan hati. Manusia NUR
memenuhi kodratnya ke dalam kodrat Ilahi, sipat zat yg
mengikuti sifat hakekat,
menselaraskan gelombang batin manusia dengan gelombang energi Tuhan. Sifat zat
(manusia) menyatu dengan sifat hakekat (Tuhan) menjadi “loroning atunggil“. Yang menjadi jumbuh (campur tak bisa
dipilah) antara kawula dengan Gusti. Inilah pertanda akan kemenangan manusia dalam “berjihad” yang
sesungguhnya. Yakni kemenangan terindah dalam kemanunggalan; “manunggaling kawula-Gusti“. Bila Anda muslim, di situlah tatar makrifat dapat
ditemukan.
Salam sejati
0 comments:
Post a Comment