Domus Pacis Ber-Medsos
Sebagai
umat Katolik Keuskupan Agung Semarang (KAS), saya berjuang menghayati gambaran
Gereja sebagai persekutuan paguyuban-paguyuban murid-murid Tuhan Yesus Kristus.
Hal ini sungguh saya sadari lewat beberapa Arah Dasar Umat Allah (KAS). Dengan
gambaran Gereja ini wajah paguyuban sungguh menjadi amat sentral. Tetapi
paguyuban sungguh Kristiani kalau menjadi paguyuban terbuka. Kalau tertutup
matilah paguyuban sebagai murid Kristus. Membangun paguyuban terbuka inilah
yang saya ikut kembangkan bersama Rm. Agoeng di Wisma Domus Pacis Puren. Di
samping berceritera kepada umat sebagai sisipan ilustratif kalau menjalani pelayanan seperti misa atau
tampil menjadi nara sumber mulai dengan tahun 2011, Rm. Agoeng mulai
mensosialisasikan Domus lewat buletin electronik lewat e-mail.
Atas
bimbingan dan pelatihan dari Rm. Agoeng sayapun ikut masuk dalam kegiatan media
sosial lewat FB, e-mail, Blog, dan WA. Dengan media ini saya diminta oleh Rm.
Agoeng untuk membuat dan mengirimkan renungan-renungan iman dan juga sharing
tentang peristiwa dan kegiatan yang ada di Domus Pacis. Dari sini Domus Pacis
Puren dikenalkan sebagai tempat yang juga menjadi ajang pastoral terutama untuk
kaum usia lanjut. Bahkan di dalam Blog www.domuspacispuren.blogspot.com Rm. Agoeng
menulis dalam salah satu kop halaman:
Domus Pacis
Domus
Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman,
Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. “Tua tak mungkin
terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya”
Data Hingga Jumat 16 November 2018
Saya
masuk menjadi penghuni Domus Pacis Puren sejak 1 Juli 2010. Berkaitan dengan
kegiatan ber-medsos untuk pengembangan pastoral Domus Pacis secara praktis saya
mulai tertatih pada tahun 2012. Pada hari Jumat 16 November 2018 saya melihat
Blog Domus pada jam 04.35 mencatat 560.000 kali dibuka. Sedang jumlah pembuka
saat itu ada 66.170 orang. Dari sini kemudian saya melihat data dalam FB dan
WA, karena di ketiga macam media ini saya memberi perhatian untuk mem”publish”
tayangan Domus Pacis Puren. Dari data saya menemukan informasi sebagai berikut
:
- Blog Domus. Ini adalah media yang saya gunakan mulai Februari 2013. Pada tanggal 16 November 2018 saya melihat ada 66.170 orang pembuka. Frekuensi rata-rata Blog Domus dibuka ada sekitar 200 kali untuk rata-rata 3 materi yang di”publish”. Kalau satu orang diperkirakan membua 3 kali, sehari ada sekitar 67 orang pembuka atau 0,10% dari keseluruhan orang pembuka.
- Face Book (FB). Pada hari itu dalam FB saya membaca 4.144 orang menjadi teman. Kecuali berkaitan dengan status peristiwa perorangan dari rama Domus yang disertai gambar rama bersangkutan, yang memberi jempol atau gambar hati rata-rata ada 25 orang (0,60%).
- WhatsApp (WA). Di dalam WA hingga hari itu saya mempunyai 167 kontak. Sekalipun yang membuka status kadang lebih dari 20 orang, tetapi biasanya berjumlah sekitar 18 orang (10,77%).
Sedikit Tapi Membukit
Kalau
dihitung dari segi persentase ternyata makin besar jumlah pembuka makin kecil persentasenya.
Yang ratusan (WA) bisa mencapai 10,00%, yang ribuan (FB) mencapai 0,60%, dan
yang puluhan ribu (Blog) mencapai 0,10%. Untuk Blog pembuka yang masuk memang
ada sekitar 67 orang. Kalau mempertimbangkan pembuka dari Indonesia ada 67%, ada indikasi jumlah orang Indonesia
pembuka Blog Domus ada 44 orang. Yang menjadi soal adalah dari 44 orang, berapa
orang yang ada di Jawa dan berapa orang yang Katolik dan menjadi warga
Keuskupan Agung Semarang. Pertanyaan ini masih dapat ditambah dengan berapa
orang yang menjadi pembuka harian.
Secara
riil pembuka media sosial Domus Pacis hanya berjumlah sedikit. Tetapi yang
sedikit atau kecil ini kalau dihubungkan dengan perkembangan keadaan Wisma
Domus Pacis Puren, ada hal-hal yang barangkali amat erat berhubungan. Beberapa
hal dapat saya sampaikan sebagai berikut :
- Jadi sasaran gerakan umat. Kondisi Domus Pacis Puren hingga Agustus 2011 dapat dikatakan memprihatinkan. Yang paling terasa tidak nyaman adalah kondisi konsumsi harian. Pada waktu itu saya sering mengatakan bahwa “Gedung dan kamar-kamar Domus Pacis itu seperti klas utama RS Panti Rapih, tetapi makannya seperti Bangsal Puspita”. Bangsal Puspita adalah nama ruangan RS Panti Rapih tempo dulu untuk kaum miskin. Tetapi dalam hal perhatian selain makan, keterurusan Domus Pacis juga amat meprihatinkan. Sebagai contoh adalah dinding yang catnya sudah kusam dan tak sedikit yang terkelupas. Sebetulnya Mgr. Haryo, ketika masih menjadi Uskup Agung Semarang, sudah beberapa kali meminta untuk dicat lagi. Dalam hal ini pihak Keuskupan meminta Minister Domus untuk membuat proposal. Pembuatan proposal terjadi beberapa kali setiap ada pergantian tahun. Pengecatan tak pernah terlaksana hingga Mgr. Haryo pindah ke Keuskupan Agung Jakarta pada tahun 2009. Tetapi suasana memprihatinkan ini mulai tergerus ketika Rm. Agoeng mulai mengirimkan Buletin Elektrik bulanan lewat e-mail yang berisi tulisan pengalaman dan pikiran rama-rama Domus. Sebagai contoh adalah pengecatan dinding. Dengan bekal uang yang ada hasil dari cari dana spontan dalam salah satu Misa Minggu di Kumetiran, Rm. Agoeng membuat cat sendiri atas pertolongan petunjuk dari salah satu warga Katolik kota Semarang. Kemudian datang beberapa kali pada hari Minggu beberapa umat Lingkungan secara bergantian dari Paroki Kelor, Gunung Kidul. Mereka datang bergotong royong mengecat dan membersihkan kebun Domus dengan membawa konsumsi sendiri. Peristiwa ini tentu masuk dalam berita lewat e-mail dan FB. Tampaknya gerakan Kelor ini menyentuh hati beberapa penggerak dari beberapa paroki lain. Muncul beberapa kelompok paroki yang datang untuk kerja bakti di Domus Pacis.
- Hadirnya relawan. Para rama Domus mulai makan bersama tiga kali sehari sejak Idul Fitri hari pertama pada 30 Agustus 2011. Momen makan bersama ternyata menjadi forum omong-omong ini itu tentang kehidupan bersama. Salah satu gagasan muncul untuk memperluas cakrawala bagaimana menjaga kegembiraan sekalipun sudah tua. Untuk merealisasinya Rm. Agoeng dan saya dapat menghadirkan Prof. Dr. Dicky, dosen psikologi di Universitas Gajah Mada. Dengan pertimbangan kalau yang ikut hanya para rama Domus yang hanya berjumlah sedikit, maka pelaksanaannya dijadikan momen open house dengan membuka kesempatan terutama pada kaum awam usia lanjut kenalan Rm. Bambang. Dari yang diperkirakan akan datang sekitar 30 atau 40an orang, ternyata yang mendaftar untuk ikut ada banyak. Di luar penghuni Domus, yang datang ikut pada tanggal 5 Februari 2012 ada 137 orang. Karena harus ada penyediaan konsumsi, Rm. Bambang meminta bantuan tiga orang ibu dari Paroki Pringwulung (Bu Titik Untung, Bu Laksana, dan Bu Mumun). Di dalam pelaksanaan datang pula beberapa warga Katolik lain ikut membantu. Hal ini ternyata menjadi awal munculnya relawan-relawati untuk kepentingan dan kebutuhan para rama Domus Pacis Puren. Karena desakan beberapa mantan peserta open house, seminar untuk kaum tua dan usia lanjut diadakan lagi pada Minggu tanggal 2 September 2012 dengan menghadirkan Prof. Dr. Supratiknya dari fakultas psikologi Universitas Santa Dharma. Yang menjadi topik pembicaraan adalah beriman di usia lanjut. Pesertanya bertambah banyak sehingga, kalau tadinya hanya duduk di atas tikar di dalam gedung induk, kini harus menyewa tenda dan kursi karena dilaksanakan di luar. Seminar inilah yangmulai tahun 2013 berkembang menjadi Novena Ekaristi Seminar. Sebenarnya selain acara seminar, mulai dengan Desember 2011 para rama Domus Pacis bersepakat mengadakan ulang tahun imamat untuk para anggotanya. Semua ini sungguh menyuburkan kehadiran sosok-sosok warga umat Katolik menjadi pemerhati yang rela menyumbang tenaga dan pemikiran untuk kehidupan Domus Pacis Puren. Hadirnya para relawan ini juga membuat mekanisme baru dalam penyediaan masakan tiga kali sehari mulai dengan September 2013. Kini ada 89 orang menjadi relawan masak. Urusan pemeliharaan fasiltas rumah dan keperluan lain juga banyak ditangani oleh para relawan.
- Jadi tempat wisata pastoral. Kalau menengok ke belakang, ada hal yang amat kontras yang berkaitan dengan ketika Domus Pacis Puren belum ikut menjadi penghuni media sosial dan sesudah ikut. Pada tahun 2011 ke belakang, suasana Domus Pacis terasa didominasi oleh keadaan sepi yang cukup amat jarang mendapatkan jamahan dari orang-orang di luar Domus. Tentu saja hal dini dikecualikan bagi Rm. Harto Widodo yang sehari-hari didatangi oleh banyak tamu untuk minta doa atau konsultasi masalah hidup. Tetapi untuk para rama lain? Mereka terutama biasa dalam pelukan kesendirian di dalam kamarnya. Saya memiliki catatan pada awal pengalaman saya tinggal di Domus Pacis Puren.
Ketika
datang ke kamar saya pada bulan September 2010 untuk memberikan uang saku
bulanan, Rama Suka sang Minister Domus Pacis berkata “Njenengan krasan teng kamar, nggih” (Anda kerasan berada dalam
kamar, ya?). Di dalam catatan agenda Juli dan Agustus 2010 saya keluar untuk:
10 kali memimpin misa, 2 kali memimpin acara malam Selasa Kliwon di makam Rm.
Sanjaya Muntilan, 2 kali membantu Tim MMMPAM Sekolah Lingkungan, 1 kali siaran
TVRI Yogyakarta, 1 kali ibadat minyak suci, 1 kali mengisi acara di Wisma
Salam, dan 1 kali mendampingi anggota Penebar Ragi Kristus sehari semalam. Dari
18 kali keluar saya perkirakan saya menghabiskan waktu selama 89 jam. Padahal
untuk bulan Juli dan Agustus ada 62 hari atau 1.488 jam. Dari hitungan seperti
ini sekitar 1.399 jam (94,01%) saya berada dalam kamar di Domus Pacis. Kalau
saya mengatakan bahwa saya berada dalam kamar, karena segala aktivitas termasuk
makan dan minum terjadi di dalam kamar. Memang ada aktivitas luar kamar, yaitu
Misa. Tetapi itu hanya terjadi maksimum 30 menit di setiap hari, sehingga
berjumpa dengan orang serumah hanya sekitar 210 menit (2,10%) seminggu dan
dalam suasana resmi ritual. Kalau hitungan jam ini dihubungan dengan keadaan
saya berada di Domus selama Juli dan Agustus 2010, yaitu 1.399 jam atau 83.940
menit sedang jumpa Misa dengan orang serumah selama 2 bulan ada 1.680 menit,
maka saya 98,00% tak jumpa dengan teman-teman serumah.
Kehadiran umat
Katolik atau siapapun untuk Domus Pacis secara umum sungguh amat langka. Saya
mencatat selama tahun 2011 hanya ada 5 rombongan berkunjung: 1) Rama-rama rayon
kota Yogyakarta; 2) Mantan seminaris Mertoyudan angkatan 1976; 3) Ibu-ibu
Paroki Wedi; 4) Dewan Paroki Ignatius Magelang; dan 5) Ibu-ibu Lingkungan
Gatak, Paroki Pangkalan. Kelompok-kelompok kunjungan ini, sesudah ada tayangan
khusus Domus Pacis Puren dalam media sosial, sungguh amat meningkat jumlahnya.
Di luar acara-acara Domus yang membuat banyak orang hadir seperti seminar
ketuaan, ulang tahun imamat, dan keperluan lain, saya mencatat dari tahun ke tahun:
12 kali tahun 2012; 20 kali tahun 2013; 20 kali tahun 2014; 24 kali tahun 2015;
31 kali tahun 2016; 32 kali tahun 2017; dan 33 kali tahun 2018 hingga 18
November. Tentu saja kedatangan para relawan, baik secara perorangan untuk
kepentingan tertentu atau beberapa untuk acara tertentu, tidak masuk catatan.
Dari beberapa orang Paroki Pringwulung saya mendengar komentar sekitar “Wah, Domus Pacis saiki kaya tempat ziarah”
(Domus Pacis kini seperti tempat peziarahan). Saya sendiri kerap menyebut Domus
Pacis kini menjadi seperti tempat wisata rohani. Rombongan datang dapat seperti
untuk menemukan pemandangan kehidupan ketuaan dengan jumpa omong-omong tanya
jawab sana-sini. Tidak sedikit yang datang minta semacam rekoleksi. Minta
pelayanan misa juga tidak jarang terjadi. Bahkan perayaan-perayaan hari besar
yang diadakan oleh umat-umat Lingkungan juga sering terjadi di Domus Pacis
bersama rama-rama Domus sambil beranjangkasih.
Iman sebesar biji sesawi?
Tayangan-tayangan
Domus Pacis Puren di FB, WA, dan e-mail biasa diarahkan ke Blog Domus www.domuspacispuren.blogspot.com. Dengan Blog
ini Domus Pacis berusaha untuk ikut ambil bagian dalam gerak pewartaan dan
pengembangan iman. Dengan data di atas berkaitan dengan jumlah pembaca dan
frekuensi membukanya, peran pastoral Domus Pacis yang memfokuskan diri di
bidang ketuaan sungguh amat kecil sekali. Tetapi bagi Domus Pacis yang amat
kecil itu telah membuatnya menjadi bagian Gerejani sekalipun mungkin hanya di
tempat yang tidak amat strategis yang luput dari fokus perhatian. Akan tetapi
yang kecil ini telah membuahkan hadirnya damai sejahtera yang hanya dapat
disikapi dengan rasa syukur. Rama-rama Domus mengalami kasih perhatian
berlimpah. Bangunan kompleks Domus Pacis amat terjaga tidak hanya dari uluran
institusional keuskupan. Dampak tangan-tangan umat sungguh amat besar.
Peristiwa pembuatan talud, ruang serba guna, penggantian genting karena
kebocoran yang parah, hingga pembuatan Kapel Santo Barnabas menjadi bukti yang
amat sangat kasat mata. Hal ini tentu merupakan bagian perhatian iman yang
terpercik dari para relawan, kelompok-kelompok, dan para pembaca yang tak bisa
hadir langsung ke Domus tetapi mengulurkan hati lewat cara lain. Yang dibuat
dari Domus memang hanya amat kecil. Apa artinya seminar dua jam dalam program
Novena Ekaristi Seminar dalam derap perhatian pada pastoral ketuaan? Apa
artinya program Jagongan Iman dalam keseluruhan pendampingan keagamaan bagi
kaum tua dan lansia? Apa artinya ikut menjual batik untuk ikut membantu SMK
Sanjaya Pakem dalam usaha dana sebagai salah satu sekolah yang menampung
sebagian besar siswa terhitung miskin? Tetapi dari yang kecil ini, saya merasa
boleh mengalami yang dikatakan oleh Tuhan Yesus Kristus “Sesungguhnya sekiranya
kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung
ini: Pindah dari tempat ini ke sana, --maka gunung ini akan pindah, dan takkan
ada yang mustahil bagimu.” (Mat 17:20)
0 comments:
Post a Comment