Pembicaraan yang terjadi dalam Novena
Domus Pacis pada tahun 2018 mengajak kita untuk memiliki sikap HATI-HATI.
Sekalipun untuk semua generasi sikap hati-hati merupakan keutamaan yang
seharusnya dimiliki, bagi kaum lanjut usia (lansia) hal ini amat penting.
Karena usianya kaum lansia pada umumnya mengalami keadaan rentan baik secara
ragawi maupun jiwani. Bahkan dalam hidup keagamaan kaum lansia juga dapat
mengalami permasalahan karena kelemahan untuk mengalami pengembangan ungkapan
dan wujud hidup beragama. Dalam Novena Domus 2018 kita diajak untuk
berhati-hati dalam hal: 1) agama dan penghayatan iman bersama Rm. Kendar dan
Rm. Dwi Harsanto (Maret dan Oktober); 2) kesehatan bersama dokter Suharnadi dan
dokter Kris Dinarti (April dan Juni); 3) pengalaman berhadapan dengan kaum
lansia di panti bersama Br. Kontrad (Mei); 4) gencarnya iklan-iklan produksi
bersama bapak Purwanto (Juli); 5) menghadapi berbagai berita hoaks dalam media
sosial bersama Rm. Agoeng (Agustus); dan 6) keinginan-keinginan jiwani bersama
bapak Supratiknya (September). Sikap hati-hati itu akan terjadi kalau kita
mengalami kesadaran hati sehingga selalu éling
lan waspada (berada dalam kesadaran hati).
1. Berpegang
pada Gereja
Rm. Dwi Harsanto mengingatkan kita bahwa
untuk menghayati hidup dengan benar orang Kristiani harus melandaskan diri pada
hidup Gereja. Dari berbagai penjelasan yang disampaikan oleh beliau, kita
menghayati Gereja dalam kaitannya dengan Allah Tri Tunggal di tengah-tengah kehidupan
kongkret. Untuk hal ini definisi Gereja yang terdapat dalam dokumen Konsili
Vatikan II, yaitu Gaudium et Spes no. 1, bisa menjadi pegangan. Nyanyian
berikut berisi kata-kata dari rumusan definisi tersebut:
GEREJA (GS 1)
___ ____ ____
____ ____ ___
____ ____ ____
? : 3 4 | 5 5 5 5 6 6 i 6 |
5 5 5 6 5 (5)
3
2 |
Ge- re-
ja i
- a - lah per-se-ku- tu- an
orang-orang yang di
Dibimbing o-leh Roh Ku-dus dalam zi- a- rah
mereka me-nu-
I
____ ___ ___ II ___
___ ___
1 1 1 1 2 1 2 |
3 . 0 :? 1 1 1
1 2 3 2 |
1 . 0
persatukan dalam Kristus. 2.
ju Kera-ja-an Ba - pa,
____ ____
6 |
5 5 4 4 2 |
3 . . 3 | 4 4 4 5 6 |
5 . 0
dan te-
lah me-ne- ri-ma warta ke- se - la-ma-tan
___ ____
6 |
5 5 4 2 |
3 . . 2 3 |
4 4 4 3 2 |
1 . 0 \
un- tuk
di-sampai-kan ke-pa-da se-mu- a
o-rang.
Dari satu sisi Gereja merupakan persekutuan
orang-orang yang melandaskan hidup dalam Persekutuan Ilahi (Bapa, Putra, dan
Roh Kudus). Kristus menjadi pemersatu. Dalam penghayatan perjalanan hidup di
tengah dunia dalam perkembangan situasi hidup dan budaya setempat, Gereja
dibimbing oleh Roh Kudus. Roh Kudus membimbing persekutuan orang-orang beriman
dalam perjalanan menuju haribaan Bapa. Dari sisi lain kehidupan dalam
Persekutuan Ilahi menyadarkan Gereja akan hidupnya sebagai buah warta
keselamatan yang disampaikan oleh Tuhan Yesus Kristus. Dan sebagai murid
Kristus Gereja harus mewartakan warta keselamatan atau damai sejahtera ilahi
itu kepada siapapun yang dijumpai. Dengan demikian penghayatan akan Persekutuan
Allah Tri Tunggal itu menjadikan Gereja sebagai persekutuan murid-murid Kristus
yang misioner.
2. Menyadari
Bimbingan Roh Kudus
Karya Roh Kudus ada dalam setiap orang
sehingga setiap orang menjadi bait Roh. Kediaman Roh dalam masing-masing orang
menjadi kurnia bawaan. Setiap orang mendapatkan karunia Roh untuk beriman
kepada Kristus. Karena ada banyak orang maka ada aneka macam kurnia Roh. Dan
semua itu bukan untuk kepentingan sendiri tetapi untuk kepentingan bersama.
Dengan demikian karena setiap daya kemampuan disadari sebagai pencurahan Roh, para
murid Kristus mengembangkan kebersamaan bagaikan wujud tubuh dimana Kristus
menjadi kepala dan kita masing adalah anggota-anggota.
Bertapa untuk kesadaran hati
Orang-orang
bijak dan yang mencari kekudusan, yaitu hidup dalam tuntunan kebaikan, akan
mencari saat khusus untuk melakukan kegiatan yang disebut bertapa atau bersamadi.
“Bertapa atau semedi adalah
aktivitas mengheningkan diri supaya masuk ke dalam alam suwung yang hampa
persepsi dan penuh dengan kedamaian. Salah satu jenis bertapa yang
terkenal adalah Tapa Brata. Tujuan dari tapa ini tak lain adalah mencapai
kemurnian jiwa sehingga seperti seseorang lahir kembali menjadi bayi. Sedangkan
jenis bertapa atau tentang bagaimana prosesnya ada banyak.” (https://www.lihat.co.id/misteri) Ada yang mengutarakan
macam-macam tapa yang berjumlah 20: tapa
ngalong, tapa ngluwat, tapa bisu, tapa bolot, tapa ngidang, tapa ngramban, tapa
ngambang, tapa ngeli, tapa tilem, tapa mutih, tapa mangan, tapa pati geni, tapa
karsa, tanpa nafsu hewan, tapa dunya, tapa nyepi, tapa paningalan, tapa
pamirengan, tapa gugur gunung, tapa nyambet gawe.
Bagi
orang-orang yang memiliki kesibukan sehari-hari dan terserap dalam kesibukannya
barang kali tapa gugur gunung dan tapa nyambet gawe dapat menjadi rujukan.
“Tentu sering dengar istilah Gugur Gunung dalam bahasa Jawa. Ini jika dalam
bahasa Indonesia diartikan turun gunung alias turun dari ketinggian. Artinya,
seseorang mesti meletakkan jabatan atau takhtanya, untuk kembali membaur dengan
masyarakat kecil. Belajar menjadi di bawah. ..... Jenis
Bertapa Nyambet Gawe merupakan lanjutan dari Gugur Gunung. Istilahnya adalah
Gugur Gunung Nyambet Gawe. Artinya, ketika seseorang sudah membaur di bawah.
Maka ia diwajibkan untuk bekerja sebagaimana orang lain. Berbuat kebaikan dan
jangan mengeluh. Tujuan dari Gugur Gunung Nyambet Gawe adalah supaya menjadi
pribadi yang lebih welas asih dan bersyukur atas karunia yang Tuhan berikan.
Serta untuk membuka pancaran karisma, supaya lebih sukses dalam hidup.” (idem)
Tapa ngramé
Barangkali tapa gugur gunung
nyambet gawe sama dengan jenis kegiatan rohani yang disebut tapa ngramé. Salah satu sharing tentang tapa ngramé disampaikan oleh Mahatma Chryshna pada 3 Maret 2010 “Enam tahun yang lalu, aku mulai kuliah di Jakarta. Di
awal kuliah, aku sowan ke rumah simbah cilik dan beliau berkata “le,
luwih becik menawa kowe neng jakarta uga nggladi tapa ngrame. Kui luwih abot
tinimbang tapa liyane. Katone urip bebrayat kaya adate, nanging iso ngrekasa
lan wigati marang awakmu ing antarane wong rame.” Terjemahan bebas dari
nasehat simbah cilik itu kurang lebih “lebih baik bertapa di tengah keramaian
dunia ini, lebih menantang dan lebih dapat menemukan diri”. (http://mahatmaberkata-kata.blogspot.com) Dia juga berkata “Waktu
untuk diri sendiri, tetap penting, di tengah ramai dunia. Tetapi, tapa
ngrame bukan mengasingkan diri, tetapi menghadapi dan tinggal di
dalamnya. Ini adalah kearifan lokal, khas Jawa yang melihat bahwa situasi dunia
memang tak bisa dihindari. Langkah nyata dan konkret adalah tapa
ngrame, mau menolong orang lain tanpa pamrih, menawarkan bantuan bagi
mereka yang membutuhkan bantuan, semata untuk membersihkan diri. Bentuk lain
adalah mendengarkan suara hati dan kemanusiaan.”
3. Tapa Ngramé Katolik: Sebuah Sharing
Dari sharing
Mahatma Chryshna saya terkesan pada kata-kata “mendengarkan suara hati dan
kemanusiaan.” Ada dua hal penting yang harus diperhatikan, yaitu suara hati dan
kemanusiaan. Bagi saya ini adalah suara
Roh Kudus yang ada di dalam relung hati dan situasi nyata dari yang kita hadapi.
Kesadaran
hati
Di dalam bertapa
orang akan berusaha membuka hati pada terang Roh untuk sungguh menghayati hidup
beriman. Di dalam hidup Kristiani beriman adalah semakin mengikuti Tuhan dalam
perkembangan situasi hidup dan budaya setempat. Beriman justru menjadi sikap
terbuka pada situasi kongkret dan di situ berjuang semakin hidup sesuai dengan
kehendak-Nya. Dalam hal ini kiranya tapa
ngramé menjadi cara tepat untuk olah rohani bagi orang biasa yang bukan
ahli hidup rohani.
Dalam tapa
ngramé yang pertama-tama terjadi adalah keheningan
hati. Dalam pengalaman saya hening hati terjadi ketika apapun yang masuk
dalam indera jadi “bayangan”, entah sesaat entah beberapa saat, dan kemudian
masuk dalam hati. Barangkali ini sejalan dengan model kerohanian spontan Bunda
Maria kalau mengadapi kejadian kongkret. “Maria menyimpan segala perkara itu di
dalam hatinya dan merenungkannya.” (Luk 2:19) Ada penyimpanan di hati dan ada
renungan. Yang jadi pertama adalah penyimpanan dalam hati. Yang disimpan itu
adalah yang masuk dalam benak, yang sadar atau tidak sadar telah menjadi
“bayangan”. Kemampuan membayangkan ini, entah sesaat entah beberapa saat atau
dengan lama tertentu, membuat orang mendapatkan yang dinamakan pengalaman. Dan
memang hanya yang mampu punya “bayangan” yang masuk dalam hatilah yang akan
menjadi sosok berpengalaman.
Buat lamunan
iman
Secara praktis
kegiatan batin membayang-bayangkan itu menjadi seperti lamunan. Tetapi ini adalah
lamunan beriman. Dalam kesendirian benak dan hati terisi bayangan-bayangan peristiwa baik
yang terjadi di tengah kehidupan maupun dalam khasanah Gereja. Khasanah Gereja
itu dapat berupa rumusan-rumusan Kitab Suci dan dapat pula rumusan-rumusan ajaran-ajaran
serta tulisan-tulisan lain. Dari perjumpaan antara kehidupan kongkret dan yang
ada dalam Gereja (mis. ayat-ayat Kitab Suci, isi khotbah, bacaan rohani), dari
kedalaman batin saya seperti mendengar kata-kata luhur yang dapat menjadi
kesadaran dan pegangan hidup baik. Dari sini saya juga disadarkan suara lain
yang bisa menjadi penghambat.
Buah-buah spiritual
Dengan
membiasakan diri menjalani lamunan iman sebagai bentuk tapa ngramé saya merasa ada dua macam buah kerohanian:
- Dalam hubungan dengan yang dihadapi. Ada tiga keutamaan yang di dalam pandangan hidup Jawa menjadi amat penting. Pertama rila, yaitu dapat membiarkan yang dihadapi berada sesuai adanya. Kedua nrima, makin mampu menerima keadaan yang dihadapi. Dan yang ketiga adalah sabar. Ini adalah sikap toleran yang membuat orang mampu ada bersama dengan yang berbeda dan bahkan berlawanan.
- Dalam hubungan dengan Tuhan. Orang mengikuti Tuhan selalu dalam kehidupan kongkret. Di tengah-tengah situasi dan kondisi kongkret orang beriman Kristiani akan semakin mengikuti Tuhan Yesus Kristus. Di sini kita akan semakin bisa terlibat dalam tritugas Kristus. Tugas pertama adalah menyucikan. Kita akan makin mempersembahkan segalanya kepada Tuhan sehingga segalanya dihayati sebagai karya Roh Kudus. Tugas kedua adalah mengajar. Kita makin berani berpegang teguh pada kebenaran dan keadilan. Terhadap yang sudah baik kita ikut meneguhkan. Terhadap yang salah kita berani menegur. Yang ketiga adalah tugas mengelola. Ini terkait dengan tatanan hidup demi kebaikan. Semakin beriman kita akan makin mampu mengatur diri dan makin ikut menjaga keteraturan bersama baik dalam rumah, dalam pergaulan dan mungkin juga dalam tugas kewajiban masing-masing.
Puren, 27
Oktober 2018
D BAMBANG
SUTRISNO, PR.
0 comments:
Post a Comment