diambil dari https://www.facebook.com/Katolisisme/posts/772043746152440;
renungan ini diambil dari tanggal 13 Juli 2014
Rekan-rekan yang budiman!
Dalam petikan Injil Minggu Biasa XV tahun A ini (Mat 13:1-23), Yesus menerangkan kepada murid-murid-Nya arti perumpamaan mengenai seorang penabur yang pernah disampaikannya kepada orang banyak dalam Mat 13:1-9. Menurut ayat 18-23 perumpamaan ini dimaksud menjelaskan bahwa sabda Tuhan datang kepada siapa saja. Tetapi belum tentu pada semua orang sabda itu akan tumbuh dan membawa hasil berlimpah. Benih sabda yang tertabur di pinggir jalan tak sempat tumbuh karena dimakan burung. Ada yang sempat tumbuh tapi tidak berakar seperti yang jatuh ke tanah berbatu-batu atau segera mati terhimpit semak duri. Hanya yang jatuh ke tanah subur bisa bertumbuh dan berbuah berlipat ganda. Apa warta perumpamaan itu? Dan apa maksud penjelasan yang khusus ditujukan kepada para murid?
DARI KEHIDUPAN BERCOCOK TANAM
Cara bercocok tanam pada zaman itu tidak selalu sama dengan yang dikenal sekarang. Dulu biasanya biji disemai sebelum tanah digarap. Bukan sebaliknya. Jadi tanahnya memang belum dibajak atau dicangkul atau dialiri air. Baru kemudian tanah yang sudah ada bijinya itu akan digemburkan. Praktek ini berkebalikan dengan yang biasa dibayangkan orang sekarang. Apa relevansinya bagi tafsir?
Biji yang disebut jatuh di pinggir jalanan itu bukan karena penaburnya menyemai secara acak atau tanpa rencana. Rekannya atau dia sendiri nanti akan menggemburkan tanah di pinggir jalanan yang baru saja ditaburinya tadi. Tetapi apa lacur, seperti diceritakan dalam perumpamaan itu, sebelum tanah sempat digarap, benih yang ditabur di situ keburu dimakan burung.
Yang jatuh ke tanah yang berbatu-batu? Yang dimaksud ialah tanah yang keras, berkapur dan kersang, seperti yang ada di wilayah Gunung Kidul. Penabur tidaklah kebetulan menabur di tanah berbatu-batu. Di situ sengaja ditaburkan benih. Lahan itu nanti akan dibajak, dicangkul, digemburkan sebisanya. Pendengar pada zaman dulu tentu tersenyum mendengar cerita ini. Mereka tahu bahwa tanah berbatu-batu seperti itu akan tetap kurang baik bagi pertumbuhan biji tak peduli usaha perbaikan macam apapun. Juga bila diairi, dengan cepat akan kering karena airnya terserap ke kedalaman dan kecambah tidak akan mendapat air tanah.
Mengapa si penabur tetap menyemai di situ? Karena termasuk ladangnya? Karena ia masih berharap ada yang luar biasa? Pendengar akan dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan ini dan akan belajar satu dua hal mengenai tekad sang penabur.
Begitu pula dengan biji yang jatuh di antara semak duri. Semak seperti itu bisa tumbuh di tanah kersang dan berbatu-batu sekalipun. Meski tanah yang akan digarap itu dibersihkan dari onak duri, sebentar lagi tentu akan tumbuh kembali. Dan benih yang disemai di tanah yang beronak itu tidak bakal tumbuh baik. Akan terhimpit. Kok dibiarkan saja? Kenapa penabur tetap menabur di situ? Sekali lagi pendengar diajak ikut memikirkan dan membaca kehidupan yang sering seperti hidup di tengah onak duri. Apa yang bisa terjadi?
Lalu apa itu tanah yang baik? Dari semula tentu tanah ini sudah baik. Benih yang ditabur di situ nanti akan tumbuh baik, tentunya setelah tanah digemburkan. Bagaimanapun juga perlu penggarapan agar benih bertumbuh baik dan berbuah melimpah. Tetapi apa bedanya dengan tanah di pinggir jalan? Biji yang jatuh ke tanah baik sebetulnya juga menghadapi risiko dimakan burung. Tetapi tidak begitu kejadiannya. Mengapa? Mungkin karena biji ditaburkan pada waktu tak ada burung mengincar. Boleh jadi juga tanahnya segera digarap sehingga benihnya tertutup tanah dan mulai tumbuh dan burung-burung tak sempat memakannya. Siapakah yang menggarap tanah ini? Begitulah perumpamaan ini mengajak berpikir.
PERUMPAMAAN DAN KONTEKSNYA
Sampai di sini kita boleh bertanya, apakah yang hendak diajarkan Yesus? Pokok yang hendak disampaikan kiranya bukan terutama menyangkut perihal menabur, bukan pula terpusat pada sang penabur, baik dengan huruf p kecil maupun dengan huruf P besar, melainkan perihal tanah yang bakal digarap dan sudah ditaburi itu. Perumpamaan ini diceritakan untuk menggugah kebijaksanaan batin. Bila melihat benih yang jatuh di tanah yang begini atau yang begitu, bagaimana reaksi kita?
Pendengar diajak melihat bahwa pada dasarnya ada dua macam tanah. Ada tanah yang dapat memberi hasil dan ada tanah yang akan tetap mandul. Penyebab tanah mandul macam-macam: kehilangan benih, memang kersang, atau ditumbuhi semak berduri. Dalam konteks Injil Matius, tanah yang mandul ini ialah orang-orang yang tidak bersedia menerima Yesus dan pewartaannya. Mereka itu disebut kaum Farisi. Bersama kaum Saduki, mereka sebenarnya pernah dihimbau Yohanes Pembaptis agar menghasilkan buah sesuai dengan perubahan sikap (“pertobatan”) yang mereka niatkan ketika minta dibaptis olehnya (Mat 3:8). Yang diwartakan Yohanes Pembaptis kan kedatangan Yesus. Namun mereka menolak Yesus. Mereka itu tanah yang sudah disemai benih tetapi tidak bisa menikmati pertumbuhannya karena sudah kehilangan benih itu sendiri. Mereka itu juga tanah gersang, bahkan tanah yang hanya bisa ditumbuhi onak. Lalu siapa tanah yang subur? Dalam Mat 12:50 Yesus berkata, “Siapa saja yang melakukan kehendak Bapa-Ku di surga, dialah saudara-Ku laki-laki, saudara-Ku perempuan dan ibu-Ku.” Mereka yang menjalankan kehendak Bapanya menjadi tanah yang memberi hasil. Arti “menjalankan kehendak” itu ialah menuruti, mendengarkan. Jelas mendengarkan Bapa berarti menerima yang disampaikan oleh-Nya kepada manusia, yakni Yesus sendiri. Orang Farisi menolaknya, karena itu mereka jadi tanah mandul. Para murid menerimanya dan mereka menjadi tanah subur bagi benih sabda.
PENERAPAN PERUMPAMAAN
Perumpamaan itu berakhir dengan seruan “Siapa yang bertelinga, hendaklah ia mendengar!” (ayat 9). Dalam alam pikiran orang Semit, telinga itu jalan untuk memperoleh pengertian dan kebijaksanaan. Karena itu, mendengar pertama-tama berarti mengerti dan bertindak sesuai dengan kesadaran ini. Ayat itu mengajak orang menyadari bahwa memang ada tanah yang subur dan ada tanah yang tak menghasilkan apapun. Lahan buruk tidak bisa diperbaiki? Tentu saja kesimpulan ini mengusik batin. Usaha perbaikan sia-sia? Lalu apa yang bisa diperbuat? Kalau begitu, tentunya tindakan yang paling cocok bila melihat ada benih jatuh ke tanah yang tak bakal menguntungkan ya memindah benih itu ke tanah yang subur supaya bisa tumbuh dan berbuah. Kita juga dihimbau agar mengenali tanah yang baik supaya bisa menolong dengan sungguh. Itulah warta perumpamaan tadi.
Dalam ayat 18-23 perumpamaan tadi diterapkan pada kehidupan iman para pengikut Yesus:
- Orang dihimbau agar menjadi tanah yang subur yang memungkinkan benih tumbuh dan berbuah berlipat ganda. Juga diajarkan bagaimana menjaga agar sabda yang telah ditaburkan tidak hilang atau terhimpit.
- Bila disadari bahwa benih sabda terancam si jahat (ayat 19), maka orang perlu berjaga-jaga agar benih itu tidak gampang terampas. Secara tak langsung diajarkan agar siapa saja yang mau menjadi murid berani mengusahakan agar semakin banyak benih menemukan tanah yang baik dan tidak membiarkannya tinggal di tanah kersang atau lahan yang beronak duri dan berkeras kepala mengharapkan tanah seperti itu akan bisa membaiki.
- Tanah kersang dijelaskan sebagai penganiayaan dan intimidasi yang sering dialami kaum beriman. Apa yang bisa diperbuat? Pendengar diminta berpikir. Bisa jadi sikap paling bijaksana ialah secara proaktif mencegah terjadinya keadaan itu. Bila toh terjadi, keadaan sulit tak selalu perlu dihadapi secara frontal. Ada kalanya lebih baik menghindarinya. Beriman tidak identik dengan jadi pahlawan atau martir. Kita dihimbau agar menemukan kebijaksanaan dalam beriman. Dengan demikian kita akan pandai-pandai menghadapi “kekhawatiran dunia ini dan tipu daya kekayaan” yang menghimpit benih sabda (ay. 22).
Penjelasan Yesus berakhir dengan pernyataan bahwa tanah yang baik itu ialah orang yang “mendengar sabda dan mengerti” dan karena itu dapat berbuah berlipat ganda (ay. 23). Bagi mereka yang mengusahakan diri menjadi murid dan pengikut-Nya, ikhtiar yang sesuai kiranya terletak dalam usaha membuat tanah yang telah ditaburi benih betul-betul menjadi lahan subur. Bila perlu mencari tanah yang lebih baik. Mengerti juga berarti mengusahakan agar tokoh yang mereka ikuti, yakni benih yang tersemai dalam diri mereka, semakin menjadi bagian dalam kehidupan.
AGAR DIMENGERTI BANYAK ORANG
Perumpamaan dalam Injil kali ini disampaikan kepada banyak orang. Mereka diajak mendengarkan dan menarik kebijaksanaan daripadanya. Tetapi hanya kepada murid-murid Yesus sajalah arti perumpamaan yang khusus dijelaskan. Mereka ini, seperti dikatakan ay. 11, mendapat karunia mengetahui rahasia Kerajaan Surga. Ayat yang sama juga menegaskan, pada orang banyak karunia itu tidak diberikan. Apa maksudnya? Tentunya untuk membuat para murid semakin merasa bertanggung jawab mengusahakan agar orang banyak menjadi “tanah yang subur” bagi Kerajaan Surga. Mereka diajak agar ikut menjadikan Sabda Ilahi benar-benar terlaksana dan benar-benar menampilkan kekuatannya.
Dalam bacaan pertama (Yes 55:10-11) Sabda Ilahi digambarkan sebagai air yang turun dari langit tidak kembali ke atas, melainkan mengairi bumi, menyuburkannya, menumbuhkan tetumbuhan sampai memberi benih kepada penabur dan akhirnya bahan makanan (ayat 10). Sabda membawakan kehidupan dan tidak tinggal sebagai perkataan suci belaka – inilah yang dimaksud dengan “sabdaKu…tidak akan kembali kepadaku dengan sia-sia, melainkan akan melaksanakan apa yang Kukehendaki dan berhasil…” (ayat 11). Petikan dari Kitab Yesaya ini mengajak orang melihat daya Sabda Ilahi yang sesungguhnya: Sabda yang terlaksana, yang menjadi kenyataan. Rekan-rekan pewarta Sabda dapat banyak menarik manfaat dari penegasan ini dengan membantu orang banyak dapat melihat dan merasakan kenyataan itu.
Pastor Prof. Agustinus Gianto, SJ
~Dv
0 comments:
Post a Comment