diambil dari https://suaramuda1.blogspot.com Written By Bahrun Ali Murtopo on October 28, 2011
Peringatan Tahun Baru Jawa yang dikenal dengan “Malem 1 Suro” biasanya menjadi tradisi di Jawa dan Madura, terutama di bekas kekuasaan Mataram semasa pemerintahan Sultan Agung minus Jakarta, Banten, dan Banyuwangi (Blambangan).
Tahun Jawa yang dimulai 1 Suro ditetapkan oleh Sultan Agung, raja terbesar Mataram Islam yang berkuasa pada tahun 1613-1645. Sultan Agung menciptakan Kalender Jawa dengan memadukan Kalender Saka yang berasal dari India (penanggalan syamsiah-kamariah/candra-surya/luni-solar) dengan Kalender Hijriah asal Arab. Waktu itu Kalender Saka bertarikh tahun 1547 sementara Kalender Hijriyah bertarikh tahun 1035. Pada tahun 1625 Sultan Agung yang berusaha menyebarkan Agama Islam berusaha merangkul orang Jawa yang kala itu mayoritas memeluk agama Hindu-Budha yang menggunakan Kalender Saka.
Tahun Jawa yang dimulai 1 Suro ditetapkan oleh Sultan Agung, raja terbesar Mataram Islam yang berkuasa pada tahun 1613-1645. Sultan Agung menciptakan Kalender Jawa dengan memadukan Kalender Saka yang berasal dari India (penanggalan syamsiah-kamariah/candra-surya/luni-solar) dengan Kalender Hijriah asal Arab. Waktu itu Kalender Saka bertarikh tahun 1547 sementara Kalender Hijriyah bertarikh tahun 1035. Pada tahun 1625 Sultan Agung yang berusaha menyebarkan Agama Islam berusaha merangkul orang Jawa yang kala itu mayoritas memeluk agama Hindu-Budha yang menggunakan Kalender Saka.
Menurut tradisi dan kepercayaan Jawa, bulan Suro diwarnai oleh aura mistis dari alam gaib yang begitu kental melebihi bulan-bulan lainnya. Sama seperti dalam Tahun Masehi, setiap bulan memiliki keunikan dalam berbagai cara sudut pandang, demikian juga dalam Tahun Jawa.
Misteri 1 Sura terkait dengan salah satu pandangan dalam tradisi Jawa bahwa ada yang disebut dengan Sura Duraka. Disebut bulan Sura Duraka sebab pada bulan ini sering terjadi akumulasi kekuatan gaib yang bersifat negatif, sehingga melahirkan banyak korban bagi mereka yang tidak eling dan waspada. Akibatnya, muncul banyak musibah dan bencana melanda jagad manusia.
Pada umumnya, masyarakat melakukan ritual dengan kungkum, berebut air jamasan pusaka, tapa bisu, ziarah kubur, dan sejenisnya. Bagi umat Katolik, sebagai pengikut Yesus Kristus, semua tindakan itu tidak lagi diperlukan untuk menyambut 1 Suro. Kendati demikian, Gereja memberi ruang dan tempat yang selaras dengan iman Katolik bagi mereka yang masih menghayati tradisi Suran (menyambut 1 Suro). Maka, dilaksanakanlah inkulturasi iman Katolik. Salah satunya, melalui Perayaan Ekaristi. Perayaan Ekaristi adalah cara terbaik merajut inkulturasi iman Katolik dalam menyambut 1 Suro.
Titik temu antara ritual satu suro dengan ekaristi terletak pada pemahaman bahwa orang menyambut 1 Suro dengan berbagai ritual-kultural mereka pertama-tama demi memperoleh berkah! Bila “ngalap berkah” yang menjadi tujuan, maka, cara yang paling tepat dan benar bagi orang Katolik untuk “ngalap berkah” dalam menyambut 1 Suro adalah dengan mengikuti Perayaan Ekaristi.
Bahkan untuk ngalap berkah, adorasi pun dilangsungkan pada acara malam satu suro di Gereja HKYTM. Paus Benediktus XVI, juga menekankan makna Adorasi Ekaristi sebagai bagian hidup Gereja. “Hanya di dalam nafas sembah sujud melalui Adorasi, Perayaan Ekaristi sungguh menjadi hidup.... Komuni dan Adorasi tidak berada satu di samping yang lain, atau bahkan berlawanan, tetapi kesatuan yang tak terpisahkan.”
Dengan demikian umat Katolik yang masih merayakan tradisi Suran, bisa ngalap berkah Tyas Dalem Sang Kristus.
0 comments:
Post a Comment