diambil dari http://167.205.67.209 November 6, 2017 no comments Admin STEI
Kata-kata apa yang melekat untuk generasi
milenial? Egois, suka selfie, tidak sopan, atau gadget oriented? Bila ini Anda tanyakan pada mereka
yang ‘berumur’, bisa jadi jawabannya satu, sebagian, atau malah seluruh
kata-kata tersebut. Benarkah?
Pada tahun 2013 silam, Majalah TIME pernah memuat tajuk “Me Me Me Generation” yang ditulis oleh Joel Stein. TIME menyebutkan
bahwa generasi millenial tumbuh ke arah yang keliru. Stigma yang dilekatkan
kepada mereka di antaranya narsis, penggila gadget, egois, dan manja.
“Semakin banyak orang usia 18 sampai 19 tahun yang masih
tinggal dengan orangtua,” tulis TIME.
Anda setuju? Mungkin jawabnya di dalam hati saja. Tapi,
bukan tanpa alasan stigma-stigma tersebut muncul. Manja di sini, contohnya,
mengacu pada mereka yang masih tinggal bersama orangtua pada usia di saat
mereka seharusnya sudah berkeluarga.
Menurut CNN.com, walau tingkat pengangguran pemuda AS
menurun, namun biaya hidup meningkat. Sementara itu, gaji karyawan rata-rata
stagnan. Akibatnya, generasi millenial berjuang lebih keras dalam membiayai
diri sendiri. Bagi mereka, menabung adalah prioritas belakangan. Mereka
‘terpaksa’ tinggal dengan orangtua mereka.
Lebih mengkhawatirkan, generasi milenial diasosiasikan
melekat dengan gadget.
Tidak sedikit kejadian ketika sang anak ‘sibuk’ mengutak-atik gadget, sementara
orangtuanya berada di dekatnya.
Well, yang perlu ditekankan di sini adalah hindari asumsi.
Bisa jadi, dalam konteks ini, si anak belajar atau bekerja melalui gadget-nya itu. Di
era ini, banyak pekerjaan bisa digabungkan ke dalam satu alat. Lain halnya bila
si orangtua anak tersebut mengajak bicara. Maka, sudah kewajiban anak untuk
mendengarnya tanpa disibukkan dengan hal lain.
Stigma lain yang sering disematkan kepada generasi
milenial adalah selalu ingin diperhatikan dan dihargai. Ini sebenarnya berakar
dari kebiasaan yang diterapkan oleh generasi sebelumnya. Psikolog terkenal Carl
Rogers menyarankan agar perusahaan bisa meningkatkan kepercayaan diri karyawan
mereka. Murid-murid sekolah didukung agar lebih spontan dan bebas. Penilaian
moral ‘baik dan buruk’ pun diterapkan ulang.
Dampaknya banyak perusahaan yang membanggakan karyawan
mereka. Hal ini bisa dilihat dari salah satu keyword yang paling dicari beberapa tahun
belakangan adalah ‘keterlibatan karyawan’ (employee engagement).
Ini, sama sekali, bukanlah hal buruk. Masalahnya ketika
generasi X dan baby
boomers hanya duduk di meja menunggu promosi dari bos,
generasi milenial justru berusaha agar kinerja mereka dihargai. Bagi sebagian
orang, terutama dari generasi baby boomers, ini dinilai sebagai bentuk narsisme.
Padahal, ini sesungguhnya merupakan bentuk usaha pengembangan diri.
Ini semua adalah persepsi. Satu hal yang jelas, generasi
milenial memiliki korelasi dengan generasi-generasi sebelumnya. Dengan kata
lain, ada proses yang terjadi. Maka, akan lebih bijak bila penilaian diberikan
melalui lebih dari satu sudut pandang.
Diolah dari berbagai sumber.
Featured image by Oren
Atias on Unsplash
0 comments:
Post a Comment