diambil dari https://gemawarta.wordpress.com/2008/09/21
Bila pada hari Minggu lalu menghadiri perayaan Ekaristi, pasti ada yang berbeda pada misa minggu lalu itu yaitu warna liturginya adalah merah. Ya, itu karena pada 14 September lalu dirayakan Gereja sebagai Pesta Salib Suci. Yang istimewa, karena pada tahun ini 14 September jatuh pada hari Minggu, maka Pesta Salib Suci dirayakan sebagai Hari Raya, sehingga tahun ini kita tidak merayakan Minggu Biasa ke-24 karena sudah digantikan oleh Pesta Salib Suci tersebut.
Pesta Salib Suci yang dalam kalender liturgi Gereja Katolik Ritus Latin disebut “Exaltatione Sanctae Crucis” mengenangkan Salib Kristus yang diketemukan oleh Santa Helena pada tahun 326 pada saat ia berziarah ke Yerusalem. Di lokasi penemuan ini didirikan Gereja Makam Suci (Church of the Holy Sepulchre) yang hingga kini masih berdiri di Yerusalem. Pemberkatan Gereja Makam Suci ini dirayakan secara meriah pada tanggal 13 dan 14 September 335. Salib Suci sendiri diperlihatkan kepada umat pada tanggal 14 September 335 sehingga tanggal inilah yang digunakan hingga hari ini.
Nah siapakah Santa Helena? Ia adalah ibu dari kaisar Konstantinus, dilahirkan di Drepanum, dekat Izmit, Turki walaupun ada sumber lain yang menyatakan ia lahir di Bitynia, Asia Kecil sekitar tahun 250. Pada tahun 270, puteri pengusaha rumah penginapan ini, menikah dengan seorang jenderal Romawi yang kemudian berhasil menduduki takhta kekaisaran Romawi bagian Barat menggantikan Deokletianus: Flavius Valerius Konstantius, yang disebut juga Konstantius Klorus. Mereka tinggal di Naissus (sekarang: Nis, Serbia). Di sanalah pada tahun 274 Helena melahirkan Flavius Valerius Aurelius Constantinus atau Konstantinus I.
Suami Helena, Kaisar Konstantius Klorus meninggal dunia pada tahun 308 dalam suatu ekspedisi ke Britania. Setelah terlibat dalam beberapa peperangan Konstantinus I kemudian menjadi Kaisar Romawi Barat. Empat tahun kemudian, terdapat lima kaisar di Kekaisaran Romawi yang saling bersaing: Konstantinus, Maxentius, Licinius, Galerius dan Maximinus. Tatkala Galerius meninggal dunia, kekaisaran dibagi dalam empat bagian: Konstantinus memerintah di Gaul (Prancis), Britania (Inggris) dan Raetia (Swiss); Maxentius di Spanyol, Italia dan Afrika Utara; dan bagian Timur kekaisaran diperintah oleh Licinius dan Maximinus. Pada tahun 312, Maxentius menyerang Konstantinus. Dalam kegentingan di Jembatan Milvian yang melintasi sungai Tiber di sebelah utara Roma, Konstantinus mengalami suatu penglihatan ajaib: sebuah salib tampak di langit dengan pancaran cahaya yang kilau-kemilau dan kalimat dalam bahasa Yunani “En Toutoi Nika” yang artinya, “dalam tanda ini engkau akan menang” atau dalam bahasa Latin ”in hoc signo vinces.” Konstantinus kemudian menuliskan huruf Chi-Ro dalam abjad Yunani yang merupakan inisial kata ’Kristus’ pada perisai-perisai pasukannya dan kemudian menang dengan mudah atas Maxentius dan ia memasuki Roma dengan jaya.
Karena kemenangannya di bawah panji salib, Konstantinus I seketika itu mengabaikan seremoni pemujaan terhadap dewa-dewi Romawi. Kaisar Konstantinus dan Helena, ibunya, mulai menjadi pengikut Kristus.
Pada tahun 313 Konstantinus mengumumkan Maklumat Milan yang mengakhiri pelarangan terhadap Kristen dan memberikan kebebasan beragama bagi penduduk di wilayah Kekaisaran Romawi Barat. Semua orang Kristen yang masih dalam penjara dibebaskan, dan semua kekayaan Gereja yang dijarah dikembalikan, pula ia menghadiahkan banyak tanah kepada Gereja. Walaupun memang Maklumat Milan itu tidak menyatakan Kristen sebagai agama negara ataupun melarang sama sekali agama pagan Romawi yang memuja dewa-dewi, Maklumat Milan melepas penderitaan para pengikut Kristus yang selama bertahun-tahun dikejar dan dianiaya oleh Kaisar Romawi. Konstantinus walaupun di Gereja Ortodoks dan Katolik Timur, digelari sebagai Santo tetapi Gereja Katolik Latin sendiri tidak memberinya gelar Santo.
Kembali kepada Helena, di usia sekitar 63 tahun, berziarah ke Tanah Suci Yerusalem pada tahun 324 untuk mengucap syukur kepada Tuhan yang telah memberi banyak rahmat berkat kepada keluarganya. Dalam ziarah suci itu Helena berusaha mencari, dan akhirnya menemukan, salib Yesus. Pada tahun 326 Helena menemukan tiga salib dalam sebuah waduk batu, berikut titulus yaitu prasasti kayu di mana tertulis Iesus Nazarenus Rex Iudaeorum (INRI) yang berarti Yesus dari Nazareth Raja Orang Yahudi.
Dari ketiga salib yang ditemukan itu, yang manakah yang merupakan Salib Kristus. Konon, ketika ketiga salib dan titulus dipindahkan dari waduk batu, seorang perempuan yang sedang menghadapi ajal karena suatu penyakit yang mematikan, dibawa ke sana. Ia menyentuh ketiga salib satu per satu. Setelah ia menyentuh salib ketiga, sekonyong-konyong ia sembuh, dengan demikian menyatakan salib yang asli. Sumber-sumber lain juga menyebutkan mengenai penemuan alat-alat siksa Sengsara Yesus sesudahnya. Dan yang paling penting, adalah catatan Santo Ambrosius bahwa ketika Helena menemukan salib yang asli, “Helena tidak menyembah kayu, melainkan Raja, yaitu Dia yang tergantung pada kayu salib. Ia berkobar-kobar dalam kerinduan sejati untuk menyentuh jaminan hidup abadi.”
Santo Sirilus dari Yerusalem mengajukan beberapa bukti pendukung. Dalam suratnya kepada Kaisar Konstantius (putera dan penerus Konstantinus), Santo Sirilus memaklumkan, “Kayu salib yang menyelamatkan ditemukan di Yerusalem pada masa Konstantinus.” Dalam Pengajaran Katekese yang keempat, ia menulis, “Ia sungguh disalibkan demi dosa-dosa kita. Sebab, jika engkau menyangkalnya, tempat ini secara tak terelakkan membuktikan kesalahanmu; Golgota yang terberkati ini, di mana kita sekarang berkumpul demi Dia yang disalibkan di sini; dan sejak itu seluruh dunia telah dipenuhi dengan potongan-potongan kayu Salib.”
Karena kegembiraannya menemukan Salib Kristus, Helena meminta puteranya mendirikan sebuah gereja di atas bukit Golgota untuk menyimpan Salib Suci yaitu Gereja Makam Suci. Ia memotong sebagian salib untuk dikirim ke Roma dan Konstantinopel. Bersama Gereja Makam Suci adalah Kapel Penemuan Salib Suci, yang menandai lokasi waduk batu. Ia membangun pula dua buah gereja lain, yaitu Gereja Kelahiran Kristus (Church of The Nativity) di Betlehem untuk menandai Kelahiran Kristus dan Gereja Bukit Zaitun (Eleona Church on the Mount of Olives) untuk menandai tempat Kenaikan Kristus ke Surga. Di Konstantinopel ia mendirikan Gereja Para Rasul Suci (Church of the Holy Apostles). Di Roma sendiri terdapat Basilika Santa Croce in Gerusalemme yang berasal dari kapel dalam istana tempat tinggal Helena. Basilika ini menyimpan relik-relik yang dibawa dari Yerusalem, yaitu potongan Salib Suci, paku untuk menyalibkan tubuh Yesus, duri dari mahkota duri Yesus, dan sepertiga bagian dari titulus yang bertuliskan kata ’Nazarene’. Pada awalnya, Gereja ini berlantaikan tanah yang dibawa dari Yerusalem, sehingga menggunakan kata ’di Yerusalem’ pada namanya.
Santa Helena wafat pada tahun 330 dalam usia sekitar 80 tahun; jenazahnya dimakamkan dalam makam keluarga kaisar tetapi kemudian disemayamkan di Museum Pio-Clementino di Vatikan. Pesta Santa Helena sendiri dirayakan oleh Gereja Katolik pada tanggal 18 Agustus, sementara Gereja Ortodoks merayakan pestanya pada tanggal 21 Mei, sebagai satu kesatuan dengan pesta Konstantinus, putranya.
Tradisi merayakan penemuan Salib Suci berlanjut dan setiap tahun dirayakanlah Pesta Salib Suci di Yerusalem. Kekhidmatan perayaan ini menarik sejumlah besar biarawan dari Mesopotamia, Syria, Mesir dan dari provinsi-provinsi Romawi lainnya untuk datang ke Yerusalem. Setiap tahunnya, tidak kurang dari 40 uskup menempuh perjalanan jauh dari dioses mereka untuk menghadiri perayaan ini. Di Yerusalem pesta ini berlangsung selama 8 hari berturut-turut dan, pada masa itu, pesta ini menjadi suatu perayaan yang hampir sama pentingnya dengan Paskah dan Epifani. Pesta ini kemudian menyebar ke luar Yerusalem, mulai dari Konstantinopel (sekarang Istanbul) sampai ke Roma pada akhir abad ketujuh, dan akhirnya masuk ke dalam kalender liturgi Gereja Katolik sebagai suatu pesta wajib.
Tetapi perayaan di Yerusalem sendiri tidak berjalan baik. Sebagai tempat yang disucikan bagi tiga agama samawi, Yerusalem selalu menjadi tempat perebutan kekuasaan dan peperangan sejak dulu, bahkan hingga kini. Tentara Persia merebut Damaskus pada tahun 613 dan kemudian menguasai Yerusalem pada tahun 614. Gereja Makam Suci dirusak, dan potongan Salib Suci yang berada dalam Gereja dibawa pergi oleh pasukan Persia dibawah Raja Khusrau II. Kaisar Byzantine yaitu Heraclius mendapatkannya kembali setelah mengalahkan Khusrau pada tahun 628. Salib Suci dikembalikan ke Gereja Makam Suci setahun kemudian setelah Heraclius sempat membawanya ke Konstantinopel.
Sebuah kisah menceritakan bahwa Heraclius ingin mengembalikannya sendiri ke Yerusalem dalam perayaan meriah dan dengan membawa sendiri potongan salib itu ke Gereja Makam Suci yang berada di Kalvari. Ia mengenakan pakaian kebesarannya sebagai kaisar berhiaskan emas dan bertatahkan batu mulia menggendong Salib di pundaknya. Ketika Kaisar tiba di gerbang Yerusalem, tiba-tiba ia tak sanggup bergerak maju. Uskup Yerusalem, Zachary, yang menyambut kedatangan rombongan Kaisar mengatakan kepadanya bahwa dengan busana kebesarannya, Kaisar tidak menampakkan diri sebagai pengikut Yesus yang miskin dan rendah hati. Heraclius kemudian melepaskan jubah kekaisarannya dan sepatunya. Dalam jubah biasa dan bertelanjang kaki Heraclius dapat melanjutkan perjalannya membawa kayu Salib Kristus ke Kalvari, tanpa kesulitan.
Gereja Makam Suci yang berada di Golgota kemudian terbakar sebagian pada pintu dan atapnya di tahun 966. Pada 18 Oktober 1009 Gereja Makam Suci dihancurkan hingga ke fondasinya, sebuah peristiwa yang kemudian menjadi salah satu pemicu perang yang berlangsung hingga dua abad. Kekaisaran Byzantin awalnya mengupayakan pembangunannya kembali lewat negosiasi. Restorasi Gereja Makam Suci sendiri selesai pada tahun 1048 walaupun tidak berhasil sepenuhnya tampil seperti semula. Di tengah pertikaian antara kelompok-kelompok yang berusaha menduduki Yerusalem, Gereja Makam Suci terus diusahakan untuk diperbaiki walaupun karena perang, usaha restorasi seringkali kemudian rusak lagi. Para Fransiskan melanjutkan usaha restorasi mulai pada tahun 1555 namun sebuah kebakaran di tahun 1808 mengakibatkan struktur rotunda Gereja runtuh. Pembangunan atap dimulai setahun kemudian yaitu tahun 1809-1810. Untungnya kebakaran ini tidak mencapai bagian makam, sehingga bagian terlama yang dapat dilihat sekarang adalah bagian makam yang dilapisi marmer yang berasal dari perbaikan di tahun 1555. Struktur kubah baru dibangun kembali pada tahun 1870. Renovasi besar-besaran baru dimulai pada tahun 1959 dan renovasi kubah dilakukan pada 1994-1997.
Area di dalam Gereja Makam Suci ini dikapling-kapling berdasarkan keputusan di tahun 1767, awalnya dibagi untuk Gereja Katolik, Armenia, Ortodoks Timur dan Ortodoks Yunani sebagai pemegang kapling terbesar. Di tahun 1852 dikeluarkan keputusan bahwa Gereja Ortodoks Koptik, Ortodoks Ethiopia dan Ortodoks Syria mendapatkan kapling yang lebih kecil. Menarik sekali bahwa jalan masuk ke Gereja ini sejak tahun 637 dipegang kepada dua keluarga muslim hingga hari ini. Keluarga Joudeh memegang kuncinya dan keluarga Nusseibeh menjaga pintunya. Dua kali sehari, seorang anggota keluarga Joudeh membawa kunci yang kemudian akan digunakan untuk mengunci atau membuka pintu oleh seorang anggota keluarga Nusseibeh.
Karena sejarah Salib Suci Kristus ini adalah bagian dari sejarah Gereja Purba, tidak heran bahwa Pesta Salib Suci ini bukan saja dirayakan oleh Gereja Katolik Latin di Roma, tetapi juga bersama-sama dengan Gereja Ortodoks Timur, Katolik Timur, Armenia, Ethiopia, Syria-Malankara, hingga pada sebagian Anglikan dan Lutheran. Bahkan di Gereja Ortodoks Timur, Pesta ini dirayakan hingga lebih dari seminggu, dengan tanggal 14 September sebagai hari puasa. Tanggal 13 September adalah permulaan dari pestanya di mana Salib ditahtakan di altar dan umat melakukan tuguran semalam suntuk hingga tanggal 14 September. Puncak perayaannya adalah tanggal 14 September dimana uskup atau imam membawa salib ke tengah-tengah umat yang berkumpul dan umat bersujud bersyukur dan pada akhir perayaan menerima berkat dalam salib. Salib kemudian ditahtakan dalam gereja hingga 8 hari kemudian.
Di awal tadi kita mengetahui bahwa Pesta Salib Suci ini bermula di Yerusalem, kemudian menyebar dan dirayakan umat Kristiani, mula-mula di Timur, yakni di Byzantium/Konstantinopel baru kemudian semakin dirayakan oleh jemaat di Roma dan akhirnya seluruh dunia. Awalnya juga hanya merayakan penemuan Salib Kristus oleh Santa Helena pada tahun 326, tetapi dewasa ini juga merayakan dua peristiwa yang berkaitan, yaitu pemberkatan Gereja Makam Kudus (Basilica of the Holy Sepulchre) tahun 335 dan peristiwa tahun 629 yaitu Kaisar Heraclius membawa kembali potongan Salib Kristus yang dibawa pergi dari Yerusalem oleh tentara Persia.
Pada peringatan Pesta Salib Suci 2008, Bapa Suci Benediktus 16 berada di Lourdes untuk merayakan 150 tahun penampakan Bunda Maria di Lourdes. Bapa Suci berada di Lourdes selama 4 hari dari tanggal 12 hingga 15 September. Pada audiensi umumnya di Vatikan 17 September siang, Bapa Suci mengungkapkan kesan-kesan perjalannya ke Paris dan Lourdes pada akhir pekan yang lalu, ia mengungkapkan kegembiraannya bahwa kunjungannya ke Lourdes bertepatan dengan perayaan Pesta Salib Suci. Bapa Suci menjelaskan bahwa Bunda Maria membuat tanda salib saat tampil pertama kalinya di hadapan Bernadette Soubirous di Grotto Massabielle. Seluruh pesan Bunda Maria di Lourdes, kata Bapa Suci, ditemukan dalam tanda salib yang dibuat oleh Bunda Maria. ”Bunda Maria menyatakan pokok iman Kristen: Tanda Salib adalah dasar iman kita, dan melakukannya dengan segenap jiwa kita memasuki kepenuhan misteri penyelamatan kita.”
Bapa Suci meneruskan dengan: ”Di Lourdes, dalam contoh Bunda Maria, sang rasul Kristus yang pertama dan sempurna, para peziarah belajar untuk menghargai salib-salib hidup mereka sendiri dalam terang yang dipancarkan Salib Kristus.” ”Allah sedemikian mencintai kita hingga Ia memberikan diriNya sendiri bagi kita, dan itulah pesan dari salib, dalam salib ada misteri kematian dan kejayaan,” sambung Bapa Suci, ”Salib mengingatkan kita bahwa tidak ada cinta kasih tanpa penderitaan, tidak ada rahmat kehidupan tanpa kesakitan.” Bapa Suci Benediktus 16 menutup renungannya saat audiensi ini dengan ”Banyak peziarah telah mengalami dan mempelajari kebenaran ini di Lourdes, yang adalah tempat menimba pengalaman iman dan harapan, karena Lourdes juga adalah tempat untuk belajar mencintai dan melayani sesama.”
Gereja merayakan Pesta Salib Suci sebab Kristus ditinggikan di salib. Yesus menderita dan wafat di salib demi keselamatan segenap umat manusia. Dengan salib-Nya Ia mengalahkan dosa dan menaklukkan maut. Sebab itu, salib bagi kita bukan lagi tanda penghinaan, melainkan tanda kemenangan. Salib menjadi pohon keselamatan, kehidupan dan kebangkitan kita. Salib akan bersinar di langit pada saat Kristus kembali dengan kemuliaan-Nya. Kita menandai diri dengan Tanda Salib sambil berharap akan mengambil bagian dalam kemuliaan dan kebahagiaan Kristus. Tetapi bersediakah kita mengikuti Kristus dengan memikul salib penderitaan dan penghinaan? Marilah kita mengenangkan kata-kata Santo Fransiskus Assisi yang selalu kita renungkan bersama saat kita mengenangkan Kristus dalam jalan salibNya, “Kami menyembah Engkau, ya Kristus, dan memuji-Mu, sebab dengan Salib Suci-Mu Engkau telah menebus dunia.”
0 comments:
Post a Comment