Monday, July 21, 2008 dalam http://andrew-setiawan.blogspot.com; ilustrasi dari Blog Domus
1 Tesalonika 5: 18
Pendahuluan
Apakah
mudah mengucap syukur dalam segala hal? Tentang kemahiran bersyukur ini
seorang penulis Kristen bernama Andreas Harefa pernah melakukan sebuah
penelitian selama sepuluh bulan dengan melibatkan 500 peserta. Dalam
salah satu materi penelitiannya, ia meminta semua peserta berlomba
membuat daftar “25 Hal yang Saya Syukuri dalam Hidup”. Hasilnya
menunjukkan bahwa 5% peserta mampu menyelesaikan daftar syukur tersebut
dalam waktu 4 menit atau kurang [rekor tercepat adalah 2,5 menit].
Sedangkan 95% peserta lainnya memerlukan waktu yang lebih lama. Andreas
Harefa kemudian memberikan kesimpulan sementara bahwa tidak banyak orang
yang mahir mengucap syukur.
Ternyata,
mengucap syukur dalam segala hal itu sulit. Jangankan dalam kondisi
susah, kondisi normal pun mungkin kita masih sulit mengucapkan syukur.
Bila penelitian itu diadakan di gereja ini, maka termasuk kategori
manakah kita? Apakah kita akan termasuk dalam kategori orang yang mahir
bersyukur?
Berbicara
soal bersyukur, kurang lebih ada sekitar 138 bagian Alkitab yang
membahas tentang pengucapan syukur. Misalnya, Kitab Imamat berulangkali
menyinggung soal ajakan dan peraturan menaikkan korban syukur. Apalagi
Kitab Mazmur yang begitu banyak mengajarkan tentang pengucapan syukur
kepada umat Allah. Misalnya, Mazmur 92: 2, “Adalah baik untuk
menyanyikan syukur kepada Tuhan, dan untuk menyanyikan mazmur bagi
nama-Mu, ya Yang Mahatinggi.” Atau, Mazmur 136 yang berisikan Mazmur
Pengucapan Syukur, “Bersyukurlah kepada Tuhan, sebab Ia baik!” Dalam
Perjanjian Baru, ajaran dan ajakan untuk mengucap syukur juga masih
menggema. Kolose 3: 17 mengatakan, “Dan segala sesuatu yang kamu lakukan
dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu di dalam nama
Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita.”
Berikutnya, 1 Tesalonika 5: 18 memberi penekanan yang lebih jelas,
“Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.”
Dari
bukti-bukti ini kita sekarang melihat tentang panggilan untuk mengucap
syukur kepada kita. Pengucapan syukur mengambil bagian penting dalam
kehidupan umat Allah. Seakan-akan pengucapan syukur itu seperti nafas
yang tak ada hentinya dan tak boleh berhenti dari kehidupan kita. Ia
merupakan satu hal yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan umat Allah.
Khasiat Bersyukur
Sekarang
mari kita melihat khasiat bersyukur bagi kita. Ketika Tuhan meminta
kita untuk belajar bersyukur, itu sebenarnya bukan untuk kepentingan
Tuhan semata, tapi juga untuk kepentingan kita pribadi. Ada sejumlah
khasiat yang dapat kita alami ketika kita rajin-rajin mengucap syukur.
Khasiat-khasiat itu, antara lain:
1. Mendatangkan kesehatan
Orang
yang rajin mengucap syukur memang dapat mendatangkan kesehatan. Kenapa
demikian? Karena, orang yang mengucap syukur adalah orang yang merasa
dirinya cukup atau tidak dikuasai sifat ambisiusnya. Ia mampu berkata
pada dirinya, “Aku tak selalu mendapatkan apa yang kusukai, oleh karena itu aku selalu menyukai apapun yang aku dapatkan.”
Acapkali orang tidak bahagia karena dia selalu merasa kurang dan tidak
pernah merasa puas dengan kondisinya. Ia berusaha tapi tidak pernah
puas. Ia melakukan sesuatu tapi tidak pernah merasa cukup. Seperti kata
kitab Pengkhotbah, orang ini berusaha menjaring angin (Pengkh. 1: 14).
Akhirnya, ia akan kelelahan dan mudah jatuh sakit.
Tidak
demikian dengan orang yang rajin mengucap syukur. Karena ia bisa merasa
dirinya cukup, maka ia tidak lebih mudah jatuh sakit. Konon, pernah
dilakukan survei terhadap para lansia, baik yang tinggal di panti jompo
maupun yang tinggal di rumah bersama keluarga mereka. Menurut survei
itu, para lansia yang hidupnya selalu bersyukur umumnya lebih sehat
dibandingkan lansia yang suka mengeluh. Nah, bila Anda ingin hidup
sehat, maka jangan suka mengeluh, tapi berlatihlah untuk mengucap
syukur.
2. Menghindarkan dosa perzinahan
Perzinahan
pada umumnya terjadi karena salah satu pasangannya tidak merasa puas
dengan lawan pasangannya. Mungkin suami merasa tidak puas karena tiap
kali pulang istri hampir selalu mengeluhkan kondisi rumah: yang tidak
bersih, pipa bocor, air tidak menyala, bau kotoran anjing, anak belum
mandi, dan seterusnya. Sedangkan, istri mungkin merasa tidak puas karena
ia merasa tidak dibutuhkan oleh suaminya. Ia tidak merasa penting dalam
kehidupan suaminya. Tiap kali diajak bicara, suami tidak memerhatikan,
tetap saja nonton tv, menanggapi perkataan dengan tidak serius. Nah
akhirnya yang terjadi adalah suami dan istri sama-sama merasa tidak puas
dengan perlakuan pasangannya.
Perasaan
tidak puas inilah yang kerapkali menjadi celah untuk berselingkuh atau
berzinah dengan orang lain. Orang ini merasa bahwa rumput tetangga lebih
hijau, lebih segar, dan lebih menjanjikan. Sebaliknya, bila kita
bersyukur atas pasangan kita, maka dosa perzinahan tidak mudah merusak
kesetiaan pernikahan. Bersyukurlah atas pasangan kita!
3. Menghindarkan dosa iri hati
Bersyukur
atas apa yang kita punyai membuat kita tidak membandingkan dan
mempertandingkan milik kita dengan orang lain, sehingga tidak
menimbulkan iri hati. Tuhan Yesus memberikan perumpamaan yang
menyinggung persoalan iri hati dalam Matius 20. Dikisahkan di sana ada
seorang tuan yang menemukan beberapa orang pengangguran. Ketika bertemu
mereka, tuan itu mempersilakan mereka bekerja di kebun anggurnya dengan
gaji satu dinar sehari. Mereka sama-sama menyepakatinya.
Ada
yang mulai bekerja dari jam 9 pagi, ada yang jam 12, jam 3, dan
terakhir jam 5 sore. Seusai bekerja, mereka dibayar sesuai kesepakatan,
yaitu satu dinar. Ketika menerima bayaran itu, orang-orang yang bekerja
lebih dahulu dari orang yang bekerja jam 5 sore bersungut-sungut. Mereka
protes, “Kenapa pekerja yang masuk terakhir dan hanya bekerja satu jam
ini justru dibayar sama dengan kami?” Jelas ini pertanyaan dari orang
yang iri hati. Mereka tidak bisa melihat bahwa mereka telah ditolong
dari seorang pengangguran menjadi pekerja dan telah mendapatkan gaji.
Latihan
mengucap syukur akan menghindarkan kita dari dosa iri hati. Pengucapan
syukur membuat kita berkonsentrasi pada apa yang kita terima tanpa
membandingkan dan menandingkan dengan apa yang orang lain terima.
Demikianlah khasiat-khasiat dari pengucapan syukur. Ternyata, bersyukur itu indah!
Tips Bersyukur
Sekarang, bagaimana caranya agar kita dapat mengucap syukur senantiasa?
1. Tingkatkan kepekaan
Apakah
semua orang Kristen bisa bersyukur? Bisa. Apakah semua orang Kristen
mahir bersyukur? Belum tentu. Saya kira mengucap syukur merupakan sebuah
ketrampilan untuk peka terhadap karya Tuhan baik suka maupun duka, baik
lancar ataupun tidak. Tidak jarang orang berpikir jika segala sesuatu
berjalan sesuai keinginan atau lancar semuanya maka orang itu akan mudah
mengucapkan syukur. Pada kenyataannya tidak semua orang demikian. Masih
ada sebagian orang yang tidak mengucap syukur meski dalam keadaan
lancar. Apa alasannya? Sederhana, karena kulino, sudah biasa mendapatkannya sehingga ia lupa bahwa kelancaran itu datangnya dari Tuhan yang diberikan setiap detik.
Contohnya,
ketika sebagian kota Surakarta dilanda banjir pada bulan Desember 2007,
ada orang yang berkata demikian: “Syukurlah rumah kita tidak
kebanjiran.” Satu sisi ia memang mengucap syukur, tapi sisi yang lain
hal ini menunjukkan ketidakpekaan terhadap karya Tuhan dalam waktu
baik-baik saja. Rumah tidak kebanjiran itu sudah bertahun-tahun
dialaminya, dan ia tidak mensyukurinya. Ketika kebanjiran itu melanda,
maka barulah ia bersyukur. Sudah kulino tidak kebanjiranlah yang membuatnya lupa bersyukur.
Berapa
banyak di antara kita yang mengucap syukur karena kesehatan hari ini?
Ilmu kedokteran menjelaskan bahwa kita hidup bersama dengan begitu
banyak virus di sekitar kita. Mulai dari virus yang tidak berbahaya
hingga yang paling berbahaya. Mungkin virus yang membuat kita sakit flu
dianggap tidak berbahaya. Berapa banyak di antara kita yang bersyukur
kalau hari ini kita tidak sedang terserang flu? Jangan lupa pula, ada
bakteri TBC yang melayang-layang di sekitar kita dan siap merusak fungsi
paru-paru kita. Tapi berapa banyak di antara kita yang bersyukur kalau
hari ini paru-paru masih berfungsi dengan baik?
Ketika
saya menunggu papa yang sedang sakit di rumah sakit, saya seringkali
bertanya banyak hal kepada dokter-dokter di situ. Salah satu yang
ditanyakan saya adalah soal antibodi (senjata pertahanan tubuh) kita.
Sebelumnya dokter berkata bahwa infeksi yang ada di dalam tubuh papa
susah ditangani. Dengan polos saya berkata, “Lho katanya sudah diberikan
antibiotik?” Dokter itu lalu menjelaskan, “Antibiotik tidak cukup kuat
melawan infeksi dalam tubuh. Antibodilah yang memiliki peranan utama
untuk melawan penyakit. Dan sayangnya, antibodi papa makin lemah.”
Ketika dokter menjelaskan hal itu, saya berdecak kagum dengan ciptaan
Tuhan yang bernama antibodi. Berapa banyak di antara kita yang
mensyukuri kekuatan antibodi yang membuat kita tidak sakit hingga saat
ini?
Belajar
bersyukur tidak selamanya bergantung pada lancar atau tidaknya
kehidupan kita. Kepekaan terhadap setiap detail berkat Tuhanlah yang
dapat memampukan kita untuk mengucap syukur. Kepekaan adalah cara
pertama agar kita dapat bersyukur baik dalam keadaan senang ataupun
susah. Ada satu lagu yang sering dinyanyikan di GKI: “Bila hidupmu
dilanda topan b’rat, engkau putus asa hatimu penat. Berkatmu kau hitung
satu per satu, k’lak kau tercengang melihat jumlahnya.” Hitung berkatmu
satu per satu. Lagu ini mengajar kita untuk waspada terhadap yang
namanya kulino menerima berkat; lagu ini mengajar kita untuk meningkatkan kepekaan terhadap setiap detail berkat Tuhan.
2. Pikirkan yang masih ada
Sebagian
kita mungkin sudah rajin bersyukur dalam kondisi lancar, senang,
baik-baik. Kita masih mengingat bahwa semua yang baik-baik itu berasal
dari Tuhan. Tapi kadangkala kita masih mengalami kesulitan untuk
bersyukur apabila menerima kenyataan yang tidak sesuai harapan kita.
Kenapa demikian? Karena kita terlalu berfokus pada apa yang terhilang.
Kita memikirkan hal yang sudah tidak ada lagi pada kita. Kita terlalu
menghitung jumlah kehilangannya.
Ada
seorang pemuda yang baru putus cinta dengan pacarnya di mana pada waktu
bersamaan ia juga kena PHK. Ia sangat putus asa. Ia senantiasa
menghitung jumlah kehilangannya. Ia senantiasa berpikir, “Aku sekarang
tidak punya pacar dan pekerjaan.” Akhirnya, karena terlalu berfokus pada
apa yang tidak ada lagi pada dirinya, maka ia pulang ke rumah dengan
satu tekad: bunuh diri.
Bila
kita sedang mengalami situasi abnormal entah karena kehilangan
seseorang, kehilangan harapan, kehilangan kesehatan, atau kehilangan
sesuatu yang berharga, maka mari kita pikirkan hal-hal yang masih ada
pada kita, hal-hal yang masih dapat kita lakukan, hal-hal yang masih
dapat kita nikmati. Jangan pikirkan pada hal-hal yang defisit dalam
kehidupan kita karena masih ada begitu banyak hal lain yang dapat kita
kerjakan.
Seorang
Kristen yang bernama Andreas Harefa bersaksi demikian: “Bila kesusahan
hidup mendera, saya mengambil selembar kertas dan memaksa pikiran saya
untuk menemukan sejumlah hal yang pantas saya syukuri dalam hidup. Saya
mendaftarkan sejumlah prestasi dan penghargaan yang pernah saya raih;
menambahkan sejumlah hal yang berhasil saya miliki; menuliskan semua
tempat rekreasi dan kota-kota yang pernah saya kunjungi; mencatat satu
per satu anggota tubuh saya yang sehat; buku-buku yang sempat saya baca;
nama-nama orang yang pernah menolong saya atau yang pernah saya tolong;
bahkan juga kesusahan-kesusahan yang pernah saya lalui; dan seterusnya.
Dan sejauh ini harus saya akui, saya akhirnya sering tercengang melihat
jumlahnya. Biasanya saya berhenti ketika daftar syukur saya mencapai
angka seratus. Itulah yang saya coba praktikkan selama berpuluh tahun. Lalu
saya merenung dan bertanya pada diri saya sendiri: tidak cukup
banyakkah berkat Tuhan yang nyata-nyata telah saya terima dan saya alami
dalam hidup saya? Lalu adilkah saya bila karena sebuah penderitaan
saja, semua berkat Tuhan itu saya anggap tidak bernilai?” Bila kita
sedang dalam masalah, pikirkanlah berkat-berkat Tuhan yang masih ada
pada kita.
Beberapa contoh penerapannya, antara lain: Saya bersyukur . . .
1. Untuk istri yang masak makanan yang sama dengan malam kemarin . . . karena istriku di rumah dan tidak bersama orang lain.
2. Untuk
suami yang malas-malasan di sofa, nonton tv, dan membaca koran . . .
karena ia bersamaku di rumah dan tidak bersama doi yang lain.
3. Untuk anakku yang suka protes tentang makanan . . . karena ia memiliki indera perasa yang baik.
4. Untuk pajak yang saya bayar . . . karena artinya saya masih bekerja.
5. Untuk rumah yang berantakan . . . karena saya punya kesempatan untuk melayani anggota keluargaku.
6. Untuk cucian yang banyak . . . karena saya masih memiliki baju.
7. Untuk dompet yang kosong . . . karena saya bisa belajar beriman.
8. Untuk sakit yang aku alami . . . karena waktunya istirahat buat saya.
9. Untuk orang yang melukai hatiku . . . karena aku punya kesempatan untuk belajar mengampuni.
10. Untuk kehilangan orang yang kukasihi . . . karena aku bisa belajar tentang kesementaraan hidup.
Inilah
contoh-contoh memikirkan hal-hal yang masih ada di tengah-tengah
kehilangan kita. Silakan Anda melanjutkan deretan syukur di
tengah-tengah masalah yang kita hadapi. Bila kita sulit memikirkan apa
yang masih ada pada kita, mari kita simak tayangan yang diperankan oleh
Ma Li dan Zhai Xiaowei. Selamat menonton. (You Tube: She without arm, he
without leg: http://www.youtube.com/watch?v=LnLVRQCjh8c).
Coba
bayangkan apabila kedua pemain balet itu senantiasa mengeluhkan
kehilangan tangan dan kakinya? Saya yakin bila mereka berfokus dan
tenggelam pada apa yang terhilang, maka mereka justru tidak dapat
mengembangkan apa yang masih ada dan yang masih dapat dikerjakan mereka.
Hari ini kita memang tidak kehilangan tangan dan kaki seperti mereka.
Tapi saat ini kita mungkin merasa kehilangan harapan dalam masalah
pernikahan, kehilangan harapan dalam masalah anak, kehilangan harapan
dalam masalah pekerjaan, kehilangan harta, kehilangan seseorang yang
dikasihi, kehilangan kemampuan untuk berbuat sesuatu, kehilangan
kesehatan. Apapun bentuk kehilangan itu, jangan fokuskan dan
tenggelamkan diri pada apa yang terhilang. Tetapi temukan hal-hal indah
lainnya, hal-hal yang masih dapat kita kerjakan, hal-hal yang masih ada
pada kita.
Penutup
Sebagai
penutup, saya ingin kembali menuturkan suatu kisah. Suatu pagi, kepala
seorang anak terbentur sudut meja. Sakitnya bukan main. Ayahnya
menghibur, “Syukur kepada Tuhan tidak sampai bocor. Lagipula itu bisa
sembuh.” Anak itu menyahut, “Apakah jika bocor dan tidak dapat sembuh
kita masih dapat bersyukur?” “Tentu,” jawab ayahnya. “Sekalipun kepalamu
sampai bocor, dan engkau meninggal karena luka itu, kita masih
bersyukur karena jiwamu selamat dalam Kristus.” Bila kita sudah berada
di dalam Kristus, maka selalu saja ada alasan untuk dapat mengucap
syukur. Baik suka maupun duka, baik sakit maupun sehat, baik kaya maupun
miskin, selalu saja ada alasan
untuk mengucap syukur. Sebab itu, tidak heran bila 1 Tesalonika 5: 18
berkata, “Mengucap syukurlah dalam segala hal . . .” Amin.