Tulisan
ini disajikan berdasarkan pembicaraan dari bagian seminar 2 jam dalam Novena
Ekaristi Seminar tahun 2015 tahap pertama di kompleks Wisma Domus Pacis pada
tanggal 1 Maret 2015. Mgr. Yohanes Pujasumarta, Uskup Agung Semarang, memulai
pembicaraan yang bertemakan SAYA TUWA
SAYA SUMELEH (makin tua makin berserah diri). Kata sumeleh, yang dimaknai sebagai keyakinan berserah diri pada
penyertaan Tuhan, di dalam pembicaraan mendapatkan tambahan dari peserta dengan
4 kata lain: sumarah (berserah
diri), sumrambah (meluas), aja nesu
(jangan marah) dan sumringah (ceria).
Dengan “su”-lima (5 macam “su”) ini
orang mendapatkan pegangan beriman yang dapat menyingkirkannya dari tindakan
amoral yang dalam khasanah orang Jawa disebut “ma”-lima (5 macam “ma”): maling (mencuri), main
(berjudi), madat (menghisap
candu), minum (minum minuman
keras), madon (berzinah).
Pembicaraan tentang tema ini muncul dengan kerangka refleksi iman yang
mendasarkan diri pada keyakinan pada Allah Tritunggal.
Dalam Allah ada Kesetiaan
Tuhan itu begitu dekat menyertai
kita dalam keadaan apapun baik yang menggembirakan maupun yang menyusahkan.
Dari sini muncul sikap beriman atau terbuka pada penyertaan-Nya, yaitu dengan su-lima. Ini menjadi landasan orang
mengalami damai-sejahtera dalam hidupnya. Beriman berarti menjadikan Allah
sebagai dasar hidup. Kalau penyertaan ilahi ini di”amin”i, saya akan merasa “aman”.
Dengan kata-kata Ki Hajar Dewantara penyertaan total Allah ini bagi kita adalah
“Ing ngarsa sung tuladha, ing madya
mangun karsa, tut wuri handayani” (Di depan menjadi teladan, di tengah
menjadi motor, di belakang memberdayakan). Kita mempercayakan diri kepada Allah
yang setia dalam segala hal sebagaimana dikatakan oleh Santo Paulus: “Allah,
yang memanggil kamu kepada persekutuan dengan Anak-Nya Yesus Kristus, Tuhan
kita, adalah setia.” (1 Kor 1:9). Kesetiaan menjadi tanda utama dalam beriman
sebagaimana terucap dalam janji perkawinan dan janji tahbisan imamat serta
janji baptis yang setiap malam Paskah diperbarui. Mempercayakan diri pada Allah
dan melaksanakan kehendak Bapa (bukan kemaunan atau keinginan diriku) menjamin
orang mengalami damai-sejahtera sebagaimana kata-kata Yesus “Bukan setiap orang
yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga,
melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.” (Mat 7:21) Inilah
yang membuat orang dapat “su”-lima. Di dalam Syahadat Katolik
yang panjang kita percaya akan Allah Pencipta “segala sesuatu yang kelihatan
dan tak kelihatan.” Organ tubuh yang tak kelihatan pun ada banyak. Hawa yang
kita hirup pun tidak tampak. Maka beriman berarti percaya kepada Allah yang
terus bekerja. Kita banyak menghayati segalanya “tanpa pikir”. Kita berpikir
karena ada masalah. Dalam hal ini kita dapat teladan dalam kisah Ayub yang sumeleh (mempercayakan diri pada Allah).
Dalam Kristus ada Kekokohan
Sikap
“su”-lima
sungguh mendapatkan kekokohan dalam kesatuan orang dengan Kristus. Di dalam
Perayaan Ekaristi kita mendapatkan Kristus yang menyerahkan diri sebagai
santapan. Kita barangkali merasa tidak pantas menerimanya.Tetapi ketika akan
menerima kita berkata “Ya, Tuhan, saya tidak pantas Engkau datang padaku.
Tetapi berkatalah saja, maka saya akan sembuh”. Tubuh menjadi cara Tuhan
berkomunikasi dengan kita. Kesatuan dengan Tuhan juga menjadi penyembuh
kekeringan kita entah karena derita raga entah karena derita jiwa. Dengan “su”-lima
kita dapat bersama Yesus baik dalam kemuliaan seperti di gunung Tabor maupun
dalam derita di Golgota. Kita disertai oleh Tuhan baik ketika mengalami hati
terhibur serasa bersama Tuhan ataupun mengalami hati kering derita serasa
ditinggal Allah. Tuhan selalu menyertai kita sehingga dalam keadaan apapun kita
selalu mampu bersyukur karena adanya sikap “su”-lima.
Dalam Roh Kudus ada Perubahan
Di
dalam Perayaan Ekaristi peranan Roh Kudus mengubah roti dan anggur menjadi
Tubuh dan Darah Kristus. Roh Kudus adalah daya ilahi yang membawa perubahan.
Secara empiris (dalam pengalaman) bentuknya tetap. Tetapi dalam Roh Kudus yang
empiris menjadi ilahi karena ada perubahan substansial. Dalam Roh Kudus kita
menjadi anggota-anggota Tubuh Kristus dan menjadi serupa dengan Kristus
sehingga dapat menyebut Allah sebagai Bapa. Karena karya Roh Kudus semua orang
(lintas bangsa, lintas agama, dan lintas apapun) menjadi satu keluarga. Kalau
ulat pun diperhatikan oleh Allah sehingga menjadi kepompong dan akhirnya
menjadi kupu-kupu yang indah, apalagi kita anak-anak-Nya. Kita pun dengan daya
Roh Kudus dapat “su”-lima sehingga mengalami “metaporfosis” atau perubahan
hebat. Oleh karena itu dengan olah batin untuk sumeleh (berserah diri), sumarah (berserah diri), sumrambah (meluas), aja nesu (jangan marah) dan sumringah (ceria), kita dapat makin
beriman.
0 comments:
Post a Comment